Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Bagian 9
Malam itu gw terbangun setelah hampir dua jam terlelap di pangkuan Meva. Kami memutuskan pulang dan sampai di kosan sekitar jam sebelas malam.
"Nah ini dia anaknya," seorang teman penghuni kamar bawah menyambut kedatangan gw. "Charger gw mana? Hp gw udah berisik daritadi minta diisi batere nya."
"Oh iya gw lupa kembaliin," gw menepuk jidat. "Lo tunggu aja di sini. Gw ambil dulu di atas."
Temen gw mengangguk lalu kembali ke kamarnya. Gw dan Meva melanjutkan ke kamar atas, lalu gw turun mengembalikan charger punya temen gw dan kembali lagi ke kamar Meva.
"Sorry ya Va, gw nginep lagi di kamer lo malem ini," kata gw.
"Enggak papa nyantai aja lah," Meva sedang menulis sesuatu di sebuah buku kecil warna kuning. Padahal kamar ini cukup gelap buat nulis, karna masih mengandalkan lilin sebagai pencahayaan."Nah ini dia anaknya," seorang teman penghuni kamar bawah menyambut kedatangan gw. "Charger gw mana? Hp gw udah berisik daritadi minta diisi batere nya."
"Oh iya gw lupa kembaliin," gw menepuk jidat. "Lo tunggu aja di sini. Gw ambil dulu di atas."
Temen gw mengangguk lalu kembali ke kamarnya. Gw dan Meva melanjutkan ke kamar atas, lalu gw turun mengembalikan charger punya temen gw dan kembali lagi ke kamar Meva.
"Sorry ya Va, gw nginep lagi di kamer lo malem ini," kata gw.
"Lagi nulis apa sih?"
Meva menghentikan sejenak aktivitasnya, menatap gw lalu tersenyum.
"Ini diary gw," katanya kemudian melanjutkan menulis.
"Ooh.." gw cuma mengangguk sebagai tanda mengerti.
Gw nggak pernah tertarik membaca diary, apalagi menulis kejadian di hidup gw di dalamnya. Yg cocok kayak gitu emang cewek. Karena gw malu aja sama diri gw sendiri kalo suatu hari gw baca lagi riwayat hidup gw, rasanya gimana gitu.
"Apa yg lo tulis?" tiba-tiba saja pertanyaan itu meluncur dari mulut gw.
Meva diam sebentar.
"Tentang hari ini pastinya," jawab Meva dengan ekspresi bahagia. Belum pernah gw melihat ekspresi kegembiraan yg seperti ini darinya. "Ini akan jadi Natal terbaik di hidup gw."
"Oiya? Meskipun tanpa kado? Maaf, biasanya kan kalian bertukar kado kalo Natal? Yah, seenggaknya itu yg gw liat di film-film.."
"Emang mau tukeran kado sama siapa?" Meva balik tanya.
Ah, iya. Pertanyaan jenius tuh! Gw nyengir malu dengan pertanyaan bodoh gw tadi.
"Buat gw, Natal nggak mesti diliat dari sebanyak apa kado yg gw dapet. Lagian itu mah kebiasaan waktu kecil," Meva tertawa sendiri, mengingat masa kecilnya mungkin. "Yg penting buat gw adalah gimana gw memaknai hari ini, sebagai hari yg istimewa. Dan setelah bertahun-tahun, akhirnya gw nemuin feel itu. Hari ini, gw bisa ngerasain hangatnya kebersamaan Natal. Kan emang itu makna sebenernya dari Natal? Supaya orang-orang bisa saling mengasihi dan mengorbankan sebagian yg dipunyai demi orang lain yg membutuhkan. Seperti yg udah ditunjukkan Messiah kami.."
Meva seperti tersentak kaget. Lalu buru-buru mengklarifikasi.
"Maaf, maaf...gw ngga ada maksud apa-apa. Semoga lo nggak tersinggung sama yg gw omongin barusan," wajahnya merona merah, terlihat jelas tertimpa cahaya lilin yg malam ini nggak bergerak sedikitpun.
"Enggak papa kok, apa salahnya ngomong kayak tadi?" gw tersenyum.
Meva menarik napas lega.
"Ngomong-ngomong, kok kalender loe banyak coretannya sih?" gw menunjuk kalender meja yg tergeletak di sisi kasur. Kalender yg banyak bulatan-bulatan hitam di angka tanggalnya, dan beberapa coretan di bawah tiap kolom bulan.
"Oh itu... Gw emang biasa nentuin cita-cita gw di kalender."
Gw kernyitkan dahi.
"Maksudnya gini loh," Meva menjelaskan. "Tiap planning yg gw punya, gw tulis di kalender. Misalnya gw pengen beli sepatu baru, gw tentuin deh tanggal berapa gw harus udah punya sepatu itu. Jadi, mulai hari ini gw sisihkan duit gw biar pas tanggalnya nanti bisa kebeli tuh sepatu."
Gw mendengarkan penuh minat.
"Gitu juga sama kuliah gw," lanjutnya. "Gw tentuin tanggal berapa gw udah harus selesaikan tugas-tugas gw. Bahkan gw udah nentuin cita-cita gw tiga tahun ke depan. Liat nih."
Meva membuka diary nya dan menunjukkan halaman bertuliskan "Agustus 2004 - Wisuda".
"Pokoknya gw nggak mau kalo mesti ngulang taun terakhir gw kuliah," ucapnya semangat. Lalu dia membalik semua halaman di buku dan menunjukkan halaman terakhir. Di sana ada deretan angka yg ditulis dg ukuran besar, "2005". Dan di bawahnya ada satu kata, yg ditulis lebih kecil dari angka di atasnya.
"Menteri?" gw membaca kata itu penuh tanya.
"Iya, Menteri!" jawabnya masih semangat. "Masih inget kan soal pion catur yg bertransformasi jadi Menteri, yg pernah lo bilang ke gw?"
Gw mengiyakan.
"Gw udah tentuin, tahun pertama gw lulus kuliah, gw udah harus jadi 'Menteri'. Gw ngga mau selamanya jadi pion yg selalu diremehkan. Gw yakin gw bisa!" Meva tersenyum senang.
Wouw...gw nggak nyangka Meva akan bener-bener menerapkan yg gw ucapkan waktu itu soal pion catur.
"Menurut gw," kata Meva lagi sementara gw tetap jadi pendengar yg baik. "Cita-cita adalah impian yg bertanggal. Gw tinggal nyusun urutan langkah buat mencapai tanggal itu. Jadi, semakin gw menunda, semakin tanggal itu terdorong menjauh. Dan semakin gw malas, semakin cita-cita itu jadi nggak berarti. Gw nggak mau itu terjadi sama gw. Gw akan buktikan gw bisa ngejer deadline cita-cita yg udah gw tentuin sendiri."
Meva tersenyum puas dengan penjelasannya itu. Gw bisa melihat semangat yg berkobar dalam dirinya.
Malam ini lo udah melangkah satu petak ke depan Va. Masih ada beberapa petak lagi. Dan gw slalu yakin lo pasti bisa ke sana!
Semangat kerja yg meninggi di awal-awal pengangkatan gw jadi karyawan berimbas pada menurunnya daya tahan tubuh gw. Berbulan-bulan hampir selalu pulang malam karena lembur, akhirnya gw mulai jatuh sakit di awal Februari 2002. Tiap minggu nyaris selalu ada absensi gw yg kosong gara-gara sakit.
Demam, pusing, lemas dan gejala sakit lainnya. Bukan sakit yg parah memang, tapi gw suka kesel sendiri tiap mual menyerang. Tiap detik rasanya pengen muntah. Untunglah Indra kenal dekat dengan dr. Yusuf, dokter yg dulu memeriksa Meva di awal perjumpaan kami. Beberapa kali dokter muda itu menyambangi kosan gw karena gw nggak sanggup keluar saking lemesnya. Hasilnya lumayan baik. Gw bisa menambal absensi gw meski kadang-kadang juga gw paksakan berangkat meski dengan wajah pucat dan badan lemas. Alhasil gw cuma 'numpang' tidur di klinik kantor.
"Gimana keadaan lo? Udah baikan?" Indra yg baru balik kerja masuk ke kamer gw.
"Yah udah rada mendingan lah," gw membuka selimut yg menutupi tubuh gw. Rasanya kamer gw mulai berubah panas.
"Nih gw beliin bubur buat lo. Makan dulu gieh." Indra menaruh bungkusan plastik di samping gw.
"Thanks dul.."
"Eitts, pala gw sekarang ada rambutnya. Mau gw panjangin nih. Jadi jangan panggil gw dal-dul lagi," protesnya.
Gw nyengir.
"Lidah gw udah nempel nama itu, nggak bisa diubah," kata gw.
"Ah elu mah gitu. Ya udah gw mandi dulu yah. Cepet sembuh deh lo."
"Okay."
Lalu Indra kembali ke kamarnya. Gw bangkit duduk, dan mendadak kepala gw terasa berputar-putar selama beberapa detik. Susah payah akhirnya gw bisa menyantap bubur ayam dari Indra. Rasanya aneh memang (lidah gw mati rasa) tapi gw paksakan menghabiskan semangkuk bubur itu, karena memang cuma itu yg bisa gw makan.
"Hay Ri, gimana kabar lo?" Meva muncul di depan pintu. Masih dengan tas punggungnya tanda dia baru balik dari kampus.
"Kayak yg dua tahun nggak ketemu aja," jawab gw.
"Kan elo lagi sakit? Wajar lah gw tanya gitu," Meva menaruh tas nya di kasur dan duduk di lantai.
"Nah itu udah tau gw sakit? Ngapain nanya?"
"Ah, elo!! Perhatian dikit nggak boleh ya?" Meva ngambek.
"Nggak boleh." kata gw lagi. "Ngapain perhatiannya dikit? Yg banyak kek."
Meva mencibir.
"Ini nih, ngapain sih tas lo ditaroh di sini? Gw nggak bisa tidur nih." Gw melempar tasnya ke lantai.
"Yeeee kasar amat lo?" Meva langsung mengambil tasnya.
Gw rebahan di kasur. Ah, rasanya nyaman sekali. Tapi entah kenapa kamar ini seperti menyempit.
"Lo udah minum obat?" tanya Meva.
"Udah."
"Makan?"
"Udah."
"Mandi?"
"Mana bisa gw mandi?" gw mendelik. "Lo mau mandiin gw?"
"Yeeey malah ngarep! Ogah gw."
"Hehehe.. Masih panas badan gw, belum kuat mandi."
"Pake air anget lah?"
"Hadeuh...air anget dari mana? Kompor aja ngga ada."
"Ya udah ngga usah mandi."
Giliran gw yg mencibir sementara Meva nyengir bodoh.
Ini adalah hari ke dua gw absen kerja. Kemarin pagi pas bangun tidur gw mendadak demam. Lumayan panas, tapi hari ini sudah lebih baik dari kemarin.
"Muka lo pucat banget Ri," Meva mengamati wajah gw lekat.
"Namanya juga orang sakit Vaa..." gw menanggapi.
"Masih panas lagi," dia menyentuh leher gw dengan punggung tangannya.
"Namanya juga orang sakit Vaa.."
"Gw kompres yah?"
Meva bergegas ke kamarnya dan kembali dengan sebuah handuk kecil basah di dalam baskom kecil. Handuk itu dipasangkan di kening gw.
"Liat aja, ntar malem pasti udah adem lagi badan loe."
"Kalo belum adem?"
"Gw taro lo ke dalem kulkas. Pasti dingin."
"Iya laah! Namanya juga kulkas! Lo bukan nyembuhin, tapi matiin gw itu mah!"
"Sssst...orang sakit nggak boleh ngotot gitu," dia menempelkan telunjuknya di mulut gw.
"Tangan lo wangi banget?" tiba-tiba saja kalimat itu meluncur dari bibir gw. Yg kemudian buru-buru gw tambahkan. "Abis makan belum cuci tangan ya?"
"Enak aja, gw kalo makan pake sendok."
Gantian gw yg nyengir bego.
"Eh mata lo sembab banget tuh..." Meva mengamati kedua mata gw. Wajahnya sudah sangat dekat dengan wajah gw.
"Ehem.. Jujur aja, gw nggak begitu nyaman. Bisa kan lo liatnya dari jauh aja?"
Bukan apa-apa, tau sendiri lah namanya orang sakit. Nggak mandi dari kemaren, pasti bau banget nih gw! Malu sama Meva yg wangi. Hehehe..
"Emang napa? Lo grogi yah?" ujar Meva tetap pada posisinya. Dia lalu tertawa kecil.
Dia nggak tau apa pura-pura nggak tau sih?? Gw pegang kedua pipinya, bermaksud mendorongnya menjauh, ketika Indra tertegun di depan pintu.
"Sorry gw ganggu yah?" dia cengar-cengir penuh maksud.
Meva langsung berdiri, berusaha menguasai diri walau gw tahu dia salting, lalu mendehem pelan.
"Nah udah ada Indra. Gantian deh, gw mau mandi. Daah.." lalu bergegas keluar.
Indra melirik gw dengan tatapan penuh arti.
"Pantesan tiap sakit bisa langsung sembuh," katanya. "Ternyata ada obat khususnya toh."
"Errr....enggak. Tadi nggak ngapa-ngapain kok!" gw ngotot. "Lo dateng di saat yg ngga tepat."
"Iya gw ngerti kok. Makanya maaf yah.."
Berkali-kali gw klarifikasi tapi Indra tetap sok bego. Dan akhirnya malam itu gw abis tuh disindir si gundul..
Satu hal yg unik, gw lebih suka mengatakannya istimewa, dari diri Meva adalah dia sering tahu apa yg orang banyak nggak tahu dan menyukai apa yg orang nggak menyukainya. Satu lagi, dia juga memikirkan yg orang lain nggak memikirkannya.
Suatu sore di akhir Maret...
Hujan lagi-lagi turun deras. Gw kepalang basah ada di jalan jadi ya sudah terpaksa gw basah-basahan nyampe di kamar. Mandi dan berganti pakaian hangat, gw segera bersembunyi di balik selimut.
Masih dingin. Minum teh anget aja deh, lumayan ngangetin badan. Gw ambil gelas, ah sial. Air di galon belum gw isi ulang. Gw ke kamer Indra. Pintunya dikunci. Dia pasti masih molor. Lagi shif malem soalnya.
"Mevaa," gw ketuk pintu kamarnya. Mengecek keberadaan penghuni kamar di depan kamar gw.
"Masuuk aja Riii..." terdengar suara cewek dari dalam.
Gw masuk dan memburu dispenser. Sambil nunggu airnya panas gw melompat ke kasur dan menarik selimut sampai menutup kepala.
"Lo kenapa sih Ri?? Maen sradak-sruduk aja."
Gw buka selimut. Lupa gw kalo Meva juga ada di dalem kamer. Dia lagi baca buku.
"Dingin," jawab gw pendek.
Meva melirik sebentar lalu melanjutkan membaca.
"Ya udah tidur aja," komentarnya.
"Ini juga mau tidur. Ntar abis minum teh gw tidur deh."
Saat itu gw beneran kedinginan. Telapak tangan dan kaki gw serasa kebas.
"Gw tidur di sini yah?" kata gw.
Meva kernyitkan dahi. Sejenak gw pikir dia bakal ngusir gw.
"Lo kayak yg baru ngekos aja pake minta ijin segala," sahutnya.
"Itu artinya gw menghormati lo sebagai tuan rumah."
"Sok baik loe."
"Haha.. Gw emang baik kali."
"Alaaah...tuh aernya panas."
Gw liat lampunya memang sudah menyala. Langsung gw seduh tehnya.
"Matiin lagi dispensernya," kata Meva lagi.
Gw melakukan yg dimintanya tanpa berkomentar. Hujan di luar masih deras menderu atap kamar dan gw sedang asyiknya menikmati kehangatan teh yg menjalar ke seluruh tubuh ketika Meva bertanya.
"Ri, lo tau tentang lagu Gloomy Sunday nggak?"
Gw balikkan badan dan menggeleng.
"Apaan tuh? Nggak pernah denger gw," kembali ke posisi duduk semula membelakangi Meva dan meneguk lagi teh hangat.
"Lagu kematian," jawab Meva. "Banyak orang bunuh diri setelah dengerin lagu itu."
"Oh ya?" gw menanggapinya acuh. Hanya satu kata yg terlintas di benak gw : mitos.
"Kok reaksi lo biasa aja?"
"Lha, emang mesti gimana? Heboh gitu?"
"Ya enggak..." Meva menutup bukunya dan menaruhnya di atas bantal. "Kayaknya ekspresi lo datar aja denger orang mati?"
"Ya emang udah kayak gini, mau diapain lagi?" teh di dalam cangkir hampir habis.
"Ri..."
"Apa?"
"Lo percaya surga nggak sih?" kata Meva.
Gw diam sebentar.
"Maksudnya?" gw balik tanya.
"Maksud gw, lo percaya nggak kalo surga itu ada?" Meva menjelaskan.
"Pertanyaan lo aneh."
"Enggak. Ini samasekali enggak aneh. Gw mau tau pendapat lo."
"Surga ya? Emmmh....bentar ya gw pikir-pikir dulu."
"Yah, kelamaan mikir elo mah."
"Emang kenapa sih lo tanya kayak gitu? Bukannya semua agama meyakini ada kehidupan setelah manusia mati?"
"Tapi gimana kalo itu semua nggak pernah ada? Gimana kalo ini adalah satu-satunya kehidupan yg kita jalani, dan nggak ada kehidupan lagi setelah ini? Gimana kalo surga ternyata nggak pernah ada??"
Gw diam. Jujur aja, pertanyaan semacam itu sempat hinggap juga di otak gw. Tapi gw selalu nggak menemukan jawabannya.
"Seandainya ini memang satu-satunya kehidupan, apa yg akan lo lakukan?" ujar gw tanpa bermaksud apa-apa.
Giliran Meva yg diam.
"Gw percaya kok surga itu ada.." akhirnya dia bicara.
"Nah ya udah, sekarang tinggal mikirin aja gimana caranya biar bisa masuk surga. Gampang kan?"
"Tapi, apa kita bakal ketemu lagi di sana?"
"Maksud lo?" gw heran. "Ada apa sih sama lo Va, ngomongnya aneh banget hari ini."
Dia menatap gw sayu.
"Gw tau, saat-saat seperti ini nggak akan berlangsung selamanya," ucapnya pelan. Sejenak diam, membiarkan suara rintikan hujan yg jadi musik pengiring, lalu bicara lagi. "Gw tau Ri, suatu hari nanti kita pasti akan jalani hidup kita sendiri-sendiri. Tapi, apa nanti kita akan ketemu lagi di surga?"
"Pertanyaan lo terlalu jauh."
"Jawab pertanyaan gw."
"Iya, kita pasti ketemu di surga. Tinggal sms aja, ketemunya dimana," kata gw ngelantur.
Dan tanpa gw duga, Meva melompat, memeluk gw, lalu menangis.
"Apa saat kita ketemu di surga nanti, kita masih bisa seperti ini?"
"Hei..hei...lo napa Va?"
"Apa di surga lo masih akan kenal gw?"
"Meva...." gw dorong tubuhnya menjauh tapi pelukannya terlalu kuat. "Oke. Dengerin gw."
Meva masih menangis.
"Terlalu jauh mikirin hal itu. Lebih baik sekarang lo kejar aja dulu cita-cita lo. Udah, itu aja dulu deh. Ya?"
Meva malah makin jadi. Dia menangis kencang.
"Va, gw masih disini kok. Kita masih sama-sama kan? Udah ah, ngapain sih nangis.."
Tapi Meva tetap menangis.
Untuk pertama kalinya, gw memeluk Meva. Dia tetap hangat, sehangat kecupannya di kening gw kemarin. Dia tetap sosok yg nggak tertebak. Dan diam-diam gw berharap, semua akan tetap seperti ini. Gw nggak mau ini berakhir.
Please God...........
"Maafin gw," kata Meva. Dia melepaskan pelukannya dan usapi airmata di kedua pipinya.
Di luar hujan masih bergemericik. Tapi udah nggak sedingin tadi.
"Lo kenapa sih mendadak mellow?" tanya gw.
Meva menggeleng. Dia tertawa kecil untuk menghibur dirinya sendiri.
"Udah dua hari ini gw mimpi buruk," ujarnya pelan.
"Mimpi buruk apa?" selidik gw.
"Cukup buruk. Buruk banget malah.........."
"Mimpi apa sih?" gw penasaran.
"Tapi lo jangan marah ya?"
Gw mengangguk.
"Gw........mimpi lo meninggal, Ri."
Sejenak kami sama-sama terdiam.
"Terus?" kata gw lagi. Datar.
"Kok nanya 'terus'? Lo nggak sedih ya ada yg mimpiin lo mati?" Meva protes.
Gw tersenyum lalu berkata.
"Kenapa mesti sedih? Itu kan cuma mimpi? Lagian, semua orang pasti akan mati kok. Nggak usah dipermasalahkan lah," saat mengatakan ini bayangan Echi berkelebat di benak gw.
"Iya loe mah enak, tinggal mati, udah! Nah yg sedihnya kan yg ditinggalin!"
Gw tertawa pelan. Kenapa sih mesti ngebahas kayak ginian?
"Udahlah, mimpi itu cuma bunganya tidur Va.." kata gw. "Nggak perlu dipermasalahkan."
"Kenapa?"
Gw diam.
"Kenapa? Kenapa lo nggak bisa ngerasain takutnya gw kehilangan loe.....?"
Gw terhenyak. Meva lagi ngomong apa sih?
"Jangan ngomongin itu sekarang boleh ya? Gw jadi parno nih kalo udah ngebahas soal mati."
Meva menarik napas berat.
"Lo pernah nggak ditinggal orang yg paling lo sayang?" tanya Meva lagi.
Ah, akhirnya pertanyaan itu keluar juga.
"Maksudnya..ditinggal mati?" gw memastikan.
Meva mengangguk.
"Pernah," jujur aja berat sekali buat gw ngebahas ini. "Cewek gw. Dia meninggal hampir setahun yg lalu."
"Siapa namanya?"
"Penting ya?"
"Gw cuma mau tau."
"Echi."
"Oooh..." Meva mengangguk pelan. "Terus gimana, apa lo udah relain dia pergi?"
"Yaah...gimana yak, rela nggak rela, masalahnya dia nggak akan kembali lagi kan? Jadi ya udah deh ikhlasin aja."
"Jadi lo nggak terlalu kehilangan ya?"
"Bukannya gitu. Jelas gw kehilangan lah! Cuma kan namanya orang hidup harus move on..nggak boleh terlalu larut sama yg namanya kesedihan. Yah gw bisa ngomong gini juga karna gw udah ngerasain gimana sakitnya kehilangan."
Kami diam lagi.
"Seandainya, ini seandainya loh! Seandainya gw mati duluan, lo bakal kehilangan gw nggak Ri?"
"Ah, napa sih loe hari ini nanya yg aneh-aneh?"
"Udah jawab aja laah.."
"Emh, gimana yak? Buat ngebayanginnya aja udah sakit banget, apalagi kalo sampe kejadian.."
Meva tersenyum.
"Gini Ri, misalnya gw adalah cewek lo," katanya. "Terus gw mati. Nah, lo bakal mati juga demi gw nggak?"
Gak perlu waktu lama buat gw jawab.
"Masih banyak cewek yg seksi, bahenol dan cantik. Ngapain susah-susah mati buat lo?" kata gw ngasal.
"Aaah! Loe itu!! Gw udah seiya-iya nangisin loe, malah kayak gitu reaksi loe! Mengecewakan!" Meva ngambek. Wajahnya berubah cemberut. Sementara gw di depannya cuma cengar-cengir geli. "Awas aja, kalo nanti loe duluan yg mati, gw juga nggak akan nangisin loe!"
Gw tertawa lebar.
"Udah ah, serius, gw nggak suka ngomongin soal mati. Biarin aja ngalir apa adanya, nggak usah terlalu dipikirin, tapi juga ya jangan sampe dilupain sih."
Meva mendelik masih dengan ekspresi marah yg dibuat-buat. Justru gw malah pengen ketawa liatnya.
"Nyesel gw nanyain loe," gerutunya.
"Haha.. Iya, maaf. Abisnya lo gitu sih.."
"Gitu gimana???"
"Ya itu tadi. Masih muda juga udah ngomongin soal mati."
"Lah, emang apa salahnya? Usia muda nggak menjamin seseorang punya durasi umur yg lebih lama kan?? Banyak ah, contohnya yg mati di usia muda."
"Iyaa gw tau itu. Yg nikah di usia muda juga banyak kan?"
"Ah, loe beneran nggak bisa diajak serius!!" Meva mengambil bantal dan memukul-mukulkannya ke gw sambil ngomel nggak jelas. Gw cuma bisa meringkuk di balik tangan gw.
"Gw benci sama loe!" kata Meva lalu membanting bantal ke kasur. Dia masih cemberut.
"Yah marah nih..." canda gw. Gw yakin tadi dia nggak serius bilang gitu. "Beneran benci?"
"Marah!"
"Yakin?"
"Kesel!"
"Oiya??"
"Iya, iya. Gw sebel," Meva menurunkan taraf kemarahannya.
Gw senyum-senyum geli melihat kelakuan Meva sore ini.
"Sini deh Va," gw menarik tangannya mendekat.
".............................."
Ini kedua kalinya gw memeluk Meva. Masih sama seperti tadi, gw bisa merasakan kehangatan tubuhnya.
"Dengerin gw ya Va," bisik gw di telinganya. "Gw emang nggak tau apa-apa soal surga. Tapi satu hal yg gw yakin....enggak pernah ada airmata di surga. Surga itu tempatnya semua kebahagiaan berujung. Ketenangan, kedamaian dan kenyamanan."
"Lo yakin Ri?"
"Yakin banget," gw peluk dia makin erat. "Saat kita udah dapetin semua ketenangan, kebahagiaan, kedamaian dan kenyamanan dalam hidup kita..saat itulah kita ada dalam surga buat diri kita."
Ah, ngomong apa sih gw?
"Thanks ya Ri," bisik Meva.
Dan sore itu sebenarnya kami sama-sama saling menunjukkan ketakutan dalam diri kami. Sebuah ketakutan yg nyata. Takut bahwa salahsatu dari kami akan meninggalkan yg lain. Takut kehilangan. Dan saat itulah gw sadar, ternyata kami saling menyayangi............
Well, ngga ada sedikitpun yg berubah dari gw dan Meva. Hanya saja, sekarang gw sedikit lebih perasa. Gw bisa merasakannya, ada semacam keterikatan antara kami berdua. Tapi gw nggak terlalu ambil pusing. Gw biarkan semua berjalan apa adanya tanpa ada satu dari kami yg memaksakan ego. Biar sajalah.
"Ciiieeee.... Lisa!!" suara keras Meva membuat gw terlompat mundur dari pintu kamar.
"Ngagetin aja!" gw balas berteriak. Nasi bungkus di tangan gw nyaris terjatuh saking kagetnya. "Apa-apaan sih teriak-teriak nggak jelas?"
"Suiit..suiiit.... Ehem!"
Gw mengacuhkannya. Dia lagi gila kali, kata gw dalam hati. Gw masuk dan ambil piring, bersiap menyantap mie ayam favorit gw.
"Pantesan akhir-akhir ini lo keliatan girang banget," lanjut Meva.
"Maksudnya?" tanya gw acuh.
"Lisa!" dia berteriak lagi. "Dia pacar baru lo kan??"
Gw tersedak begitu mendengar ucapannya. Dan seperti gw duga, Meva menggenggam handphone gw.
"Dia bukan pacar gw," kata gw protes. "Cuma rekan kerja di kantor."
"Oh ya? Kok sms nya mesra amat yak? Dan di inbox lo juga cuma ada pesan dari Lisa."
Gw mulai merasa nggak nyaman ngomongin ini.
"Ngga sopan lo baca sms orang lain," gw kesal.
"Lo bukan orang lain buat gw, jadi gw sah-sah aja baca sms lo?."
"Oh ya? Berarti gw juga sah aja donk ngelakuin apapun ke loe?? Yah misalnya apa yaa..."
"Enggak! Itu beda!"
"Beda di mana nya??"
"Pokoknya sama. Lo mau menang sendiri nih."
"Beda..beda..beda!!"
Gw tertawa pelan.
"Oke, kembali ke topik pembicaraan," ujar Meva. "Udah berapa lama lo jadian sama cewek bernama Lisa?"
"Udah gw bilang kan...dia itu temen kerja doank. Nggak lebih! Lo jangan sembarangan ngegosip." gw masih asyik dengan mie di mulut gw.
"Kalo gitu, berarti Lisa suka sama lo."
"Darimana lo tau? Ketemu aja nggak pernah."
"Gw tau dari cara dia ngomong di sms loe. Mana ada sih cewek yg perhatian banget sama cowok, tanpa dia nggak suka sama tuh cowok? Gw cewek Ri, gw tau itu."
"Tapi lo juga perhatian sama gw," kata gw. "Berarti lo suka sama gw?"
Meva diam sejenak, lalu meledaklah tawanya. Gw cuma mencibir.
"Punya selotip?" tanya Meva. Dia nampak mengalihkan pembicaraan.
"Di laci lemari baju," jawab gw singkat.
Meva berjalan ke lemari, meninggalkan handphone gw di lantai. Gw ambil dan segera gw hapus semua pesan di inbox gw.
Lisa memang rekan kerja di kantor, dan gw jamin nggak lebih dari itu. Dia termasuk karyawan senior, satu tahun lebih awal bekerja di sana. Tadinya dia di HRD, kemudian sejak ganti tahun dia dimutasi ke Divisi Machining tempat gw selama ini. Jadilah kami saling kenal dan ketemu tiap hari. Namanya juga temen kerja, sering ngobrol di kantor pas jam kerja atau sms an sepulang kerja, gw rasa itu normal-normal aja ah. Nggak ada yg lebih dari itu. Gw anggap perhatiannya ke gw sebatas teman. That's all.
Meva duduk di sebelah gw.
"Kenapa diapusin semua?" dia mengintip layar handphone gw.
"Pengen aja," jawab gw.
"Gimana sih rasanya pacaran?" kata Meva lagi. Dia sedang mencari ujung selotip hitam di tangannya. "Gw belum pernah sekalipun pacaran soalnya."
"Bohong."
"Serius. Mana gw sempet pacaran, kalo semua cowok aja pada ngejauhin gw?"
"Nggak semua."
"Iya, kecuali loe. Terus, gimana rasanya? Pasti seneng ya punya pacar?" dia sudah menemukan ujung selotip, menariknya sedikit lalu mengguntingnya.
"Pertanyaan bodoh," kata gw dalam hati. Kalo diliat dari fisik, gw yakin nggak ada yg percaya kalo Meva ternyata nggak pernah pacaran. Dia cantik! (gw semangat banget ngomong ini)
"Sebenernya biasa aja sih, nggak ada sensasi khusus," kata gw.
"Masa? Lo pasti pernah ngelakuinnya kan?"
"Ngelakuin apa maksud lo?"
Meva meletakkan telunjuknya tepat di bibirnya.
"Kissing," lanjut dia. "Pasti lo pernah kan?? Jujur aja."
Gw tertawa kecil.
"Iya gw pernah," kata gw sedikit malu.
"Terus terus terus, gimana rasanya?? Kalo gw ngebayanginnya, kayaknya iiiih.....agak gimana gitu."
"Lo mau tau rasanya ciuman? Sini," gw tarik kepalanya biar mendekat ke gw.
Dan...
Plakk!
Meva menampar pipi kanan gw.
"Udah pernah gw bilang kan?? Jangan bikin gw kaget!!!" teriaknya. "Gw cuma mau tau aja, bukan praktek!"
"Becanda Va...gw becanda tadi!" kata gw kesal. Ini ke empat kalinya gw kena tampar Meva.
"Iya, tapi gw kaget! Makanya gw refleks nampar lo!"
"Nggak asyik ah."
Meva masih cemberut. Dia mengeluarkan sesuatu, seperti kalung, dari saku celananya. Menaruhnya melingkar di lantai, lalu menempelkan selotip hitam di bagian yg nggak tersambung.
"Lagi diapain tuh?" tanya gw.
"Ini kalung salib dari nenek gw."
Gw ingat. Itu memang kalung yg biasa dipakainya.
"Patah nih, mau gw sambung." Meva selesai merekatkan selotip di talinya.
"Kok bisa sih putus gitu?"
"Tadi ngga sengaja nyangkol di tas waktu di kampus."
Meva merentangkan kalungnya lalu mengenakannya di leher. Meva tersenyum manis.
"Gw cantik nggak Ri?" tiba-tiba dia bertanya.
Sejenak gw diam.
"Banget," kata gw.
Meva tersenyum lagi lalu beranjak keluar. Selama beberapa saat, wanginya masih tertinggal. Wangi yg khas.......
Next Novel Sepasang Kaos Kaki Bag 10
Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Adalah Novel Karya Ariadi Ginting a.k.a Pujangga.Lama.
0 Komentar:
Post a Comment