Novel Laskar Pelangi Bag 15 (Euforia Musim Hujan)
TAMBANG hitam terbentang cekung di atas permukaan air berwarna cokelat yang bergelora. Ujung tambang yang diikat dengan sepotong kayu bercabang tersangkut ke sebuah dahan karet tua yang rapuh di tengah aliran sungai. Tadi Samson yang telah melemparkannya dengan gugup. Hampir tujuh belas meter jarak antara tepian sungai dan dahan karet tempat kayu satu meter itu tersangkut. Berarti lebar sungai ini paling tidak tiga puluh meter dan dalamnya hanya Tuhan yang tahu. Alirannya meluncur deras tergesa-gesa, tipikal sungai di Belitong yang berawal dan berakhir di laut. Bagian membujur permukaan sungai tampak berkilat-kilat disinari cahaya matahari.
Sekarang ujung tambang satunya dipegangi A Kiong yang pucat pasi pada posisi melintang. Ia memanjat pohon kepang rindang yang berseberangan dengan pohon karet tadi dan menambatkan tali pada salah satu cabangnya. Badanku gemetar ketika aku melintas menuju pohon karet dengan cara menggeser-geserkan genggaman tanganku yang mencekik tambang erat-erat. Aku bergelantungan seperti tentara latihan perang. Kadang-kadang kakiku terlepas dari tambang dan menyentuh permukaan air yang meliuk-liuk, membuat darahku dingin berdesir. Kulihat samar bayanganku di atas air yang keruh. Kalau aku terjatuh maka aku akan ditemukan tersangkut di akar-akar pohon bakau dekat jembatan Lenggang, lima puluh kilometer dari sini.
SEMUA susah payah melawan larangan orangtua itu hanyalah untuk memetik buah-buah karet dan demi sedikit taruhan harga diri dalam arena tarak. Atau barangkali perbuatan bodoh itu justru digerakkan oleh keinginan untuk membongkar rahasia buah karet yang misterius. Kekuatan kulit buah karet tak bisa diramalkan dari bentuk dan warnanya. Pada rahasia itulah tersimpan daya tarik permainan mengadu kekuatan kulitnya. Permainan kuno nan legendaris itu disebut tarak. Cuma ada satu hal yang agak berlaku umum, yaitu pohon-pohon karet yang buahnya sekeras batu selalu berada di tempat-tempat yang jauh di dalam hutan dan memerlukan nyali lebih, atau sikap nekat yang tolol, untuk mengambilnya.
Di dalam tarak, dua buah karet ditumpuk kemudian dipukul dengan telapak tangan. Buah yang tak pecah adalah pemenangnya. Inilah permainan pembukaan musim hujan di kampung kami, semacam pemanasan untuk menghadapi permainan-permainan lainnya yang jauh lebih seru pada saat air bah tumpah dari langit.
SEIRING dengan semakin gencarnya hujan mengguyur kampung-kampung orang Melayu Belitong, aura tarak perlahan-lahan redup. Jika tarak sudah tak dimainkan maka Áitulah akhir bulan September, begitulah tanda alam yang dibaca secara primitif. Wilayah-wilayah tropis di muka bumi akan mengalami mendung seharian dan hujan berkepajangan. Sementara di Barat sana, orang-orang menjalani hari-hari yang kelabu menjelang musim salju. Pada sepanjang bulan berakhiran "-ber", seisi dunia tampak lebih murung, maka tidak mengherankan di beberapa bagian barat angka statistik bunuh diri meningkat.
Aku melongok keluar jendela, RRI mengumandangkan sebuah lagu lama sebelum siaran berita, Rayuan Pulau Kelapa. Alunan nada Hawaian yang tak lekang dimakan waktu mendayu-dayu membuat mata mengantuk. Sebuah siang yang syahdu, sesyahdu Howling Wolf saat menyanyikan lagu blues How Long Baby, How Long.
Tapi suasana agak berbeda bagi kami. Acara sedih di bulan-bulan penghujung tahun ini adalah urusan orang dewasa. Bagi kami hujan yang pertama adalah berkah dari langit yang disambut dengan sukacita tak terkira-kira. Dan tak pernah kulihat di wilayah lain, hujan turun sedemikian lebat seperti di Belitong.
Tujuh puluh persen daratan di Belitong adalah rain forest alias hutan hujan. Pulau kecil itu berada pada titik pertemuan Laut Cina Selatan di sisi barat dan Laut Jawa di sisi timur. Adapun di sisi utara dan selatan ia diapit oleh Selat Karimata dan Selat Gaspar. Letaknya yang terlindung daratan luas Pulau Jawa dan Kalimantan melindungi pantainya dari gelombang ekstrem musim barat, namun uapan jutaan kubik air selama musim kemarau dari samudra berkeliling itu akan tumpah seharian selama berbulan-bulan pada musim hujan. Maka hujan di Belitong tak pernah sebentar dan tak pernah kecil.
Hujan di Belitong selalu lama dan sejadi-jadinya seperti air bah tumpah ruah dari langit, dan semakin lebat hujan itu, semakin gempar guruh menggelegar, semakin kencang angin mengaduk-aduk kampung, semakin dahsyat petir sambar-menyambar, semakin giranglah hati kami. Kami biarkan hujan yang deras mengguyur tubuh kami yang kumal. Ancaman dibabat rotan oleh orangtua kami anggap sepi. Ancaman tersebut tak sebanding dengan daya tarik luar biasa air hujan, binatang-binatang aneh yang muncul dari dasar parit, mobil-mobil proyek timah yang terbenam, dan bau air hujan yang menyejukkan rongga dada.
Kami akan berhenti sendiri setelah bibir membiru dan jemari tak terasa karena kedinginan. Seluruh dunia tak bisa mencegah kami. Kami adalah para duta besar yang berkuasa penuh saat musim hujan. Para orangtua hanya menggerutu, frustrasi merasa dirinya tak dianggap. Kami berlarian, bermain sepak bola, membuat candi dari pasir, ber-pura-pura menjadi biawak, berenang di lumpur, memanggil-manggil pesawat terbang
yang melintas, dan berteriak keras-keras tak keruan kepada hujan, langit, dan halilintar seperti orang lupa diri.
Tapi lebih dari itu, yang paling seru adalah permainan tanpa nama yang melibatkan pelepah-pelepah pohon pinang hantu. Satu atau dua orang duduk di atas pelepah selebar sajadah, kemudian dua atau tiga orang lainnya menarik pelepah itu dengan kencang. Maka terjadilah pemandangan seperti orang main ski es, tapi secara manual karena ditarik tenaga manusia.
Penumpang yang duduk di depan memegangi pelepah seperti penunggang unta sedangkan penumpang di belakang memeluknya erat-erat agar tidak tergelincir. Mereka yang bertubuh paling besar, yaitu Samson, Trapani, dan A Kiong menduduki jabatan penarik pelepah dan mereka amat bangga dengan jabatan itu.
Puncak permainan ini adalah momen ketika para penarik pelepah yang bertenaga sekuat kuda beban berbelok mendadak serta dengan sengaja menambah kekuatannya di belokan itu. Maka penumpangnya akan melaju sangat kencang, terseret sejajar ke arah samping, meluncur mulus tapi deras sekali di atas permukaan lumpur yang licin, lalu menikung tajam dalam kecepatan tinggi.
Aku rasakan tingkungan itu membanting tubuhku tanpa dapat kukendalikan dan sempat kulihat cipratan air bercampur lumpur yang besar menghempas dari sisi kanan pelepah mengotori para penonton: Sahara, Harun, Kucai, Mahar, dan Lintang. Mereka gembira luar biasa menerima cipratan air kotor itu, semakin kotor airnya semakin senang mereka. Mereka bertepuk tangan girang menyemangati kami. Sementara Syahdan yang duduk di belakangku memegang tubuhku kuat-kuat sambil bersorak-sorai.
Syahdan bertindak selaku co-pilot, dan aku pilotnya. Kami meluncur menyamping dengan tubuh rebah persis seperti gerakan laki-laki gondrong pengendara sepeda motor tong setan di sirkus atau lebih keren lagi seperti gerakan speed racer yang merendahkan tubuhnya untuk mengambil belokan maut. Sebuah gaya rebah yang penuh aksi. Pada saat menikung itu aku merasakan sensasi tertinggi dari permainan tradisional yang asyik ini.
Namun, cerita tidak selesai sampai di situ. Karena sudut belokan tersebut tidak masuk akal maka tikungan tersebut tak Ákan pernah bisa diselesaikan. Para penarik bertabrakan sesama dirinya sendiri, terjatuh-jatuh jumpalitan, terbanting-banting tak tentu arah, sementara aku dan Syahdan terpental dari pelepah, terhempas, terguling-guling, lalu kami berdua terkapar di dalam parit.
Kepalaku terasa berat, kuraba-raba dan benjolan kecilkecil bermunculan. Air masuk melalui hidungku, suaraku jadi aneh, seperti robot, dan ada rasa pening di bagian kepala sebelah kanan yang menjalar ke mata. Rasa itu hanya sebentar, biasa kita alami kalau air memasuki hidung. Aku tersedak-sedak kecil seperti kambing batuk. Lalu aku mencari-cari Syahdan. Ia terbanting agak jauh dariku. Tubuhnya telentang, tergeletak tak berdaya, air menggenangi setengah tubuhnya di dalam parit. Ia tak bergerak.
Kami menghambur ke arah Syahdan. Aduh! Gawat, apakah ia pingsan? Atau gegar otak? Atau malah mati? Karena ia tak bernapas sama sekali dan tadi ia terpelanting seperti tong jatuh dari truk. Di sudut bibirnya dan dari lubang hidungnya kulihat darah mengalir, pelan dan pekat. Kami merubung tubuhnya yang diam seperti mayat. Sahara mulai terisak-isak, wajahnya pias. Aku memandangi wajah temanku yang lain, semuanya pucat pasi. A Kiong gemetar hebat, Trapani memanggil-manggil ibunya, aku sangat cemas.
Aku menampar-nampar pipinya.
"Dan! Dan ...!" Aku pegang urat di lehernya, seperti pernah kulihat dalam film Little House on The Prairie. Namun sayang sebenarnya aku sendiri tak mengerti apa yang kupegang, karena itu aku tak merasakan apa-apa. Samson, Kucai, dan Trapani turut menggoyang-goyang tubuh Syahdan, berusaha menyadarkannya. Tapi Syahdan diam kaku tak bereaksi. Bibirnya pucat dan tubuhnya dingin seperti es. Sahara menangis keras, diikuti oleh A Kiong.
"Syahdan ... Syahdan .., bangun Dan ...," ratap Sahara pedih dan ketakutan.
Kami semakin panik, tak tahu harus berbuat apa. Aku terus-menerus memanggil-manggil nama Syahdan, tapi ia diam saja, kaku, tak bernyawa, Syahdan telah mati. Kasihan sekali Syahdan, anak nelayan melarat yang mungil ini harus mengalami nasib tragis seperti ini.
Kami menggigil ketakutan dad Samson memberi isyarat agar mengangkat Syahdan. Ketika kami angkat tubuhnya telah keras seperti sepotong balok es. Aku memegang bagian kepalanya. Kami gotong tubuh kecilnya sambil berlari. Sahara dan A Kiong meraung-raung. Kami benar-benar panik, namun dalam kegentingan yang memuncak tiba-tiba di gumpalan bulat kepala keriting yang kupeluk kulihat deretan gigi-gigi hitam keropos dan runcing-runcing seperti dimakan kutu meringis ke arahku, kemudian ku-dengar pelan suara tertawa terkekeh-kekeh.
Ha! Rupanya co-pilot-ku ini hanya berpura-pura tewas! Sekian lama ia membekukan tubuhnya dan berusaha menahan napas agar kami menyangka ia mati. Kurang ajar betul, lalu kami membalas penipuannya dengan melemparkannya kembali ke dalam parit kotor tadi. Dia senang bukan main. Ia terpingkal-pingkal melihat kami kebingungan. Kami pun ikut tertawa. Sahara menghapus tangisnya dengan lengannya yang kotor. Makin lama tawa kami makin keras. Kulirik lagi Syahdan, ia meringis kesakitan tapi tawanya keras sekali sampai-sampai keluar air matanya. Air matanya itu bercampur dengan air hujan.
Anehnya, justru peristiwa terjatuh, terhempas, dan terguling-guling yang menciderai, lalu disusul dengan tertawa keras saling mengejek itulah yang kami anggap sebagai daya tarik terbesar permainan pelepah pinang. Tak jarang kami mengulanginya berkali-kali dan peristiwa jatuh seperti itu bukan lagi karena sudut tikungan, kecepatan, dan massa yang melanggar hukum fisika, tapi memang karena ketololan yang disengaja yang secara tidak sadar digerakkan oleh spirit euforia musim hujan. Pesta musim hujan adalah sebuah perhelatan meriah yang diselenggarakan oleh alam bagi kami anak-anak Melayu tak mampu.
Sekarang ujung tambang satunya dipegangi A Kiong yang pucat pasi pada posisi melintang. Ia memanjat pohon kepang rindang yang berseberangan dengan pohon karet tadi dan menambatkan tali pada salah satu cabangnya. Badanku gemetar ketika aku melintas menuju pohon karet dengan cara menggeser-geserkan genggaman tanganku yang mencekik tambang erat-erat. Aku bergelantungan seperti tentara latihan perang. Kadang-kadang kakiku terlepas dari tambang dan menyentuh permukaan air yang meliuk-liuk, membuat darahku dingin berdesir. Kulihat samar bayanganku di atas air yang keruh. Kalau aku terjatuh maka aku akan ditemukan tersangkut di akar-akar pohon bakau dekat jembatan Lenggang, lima puluh kilometer dari sini.
SEMUA susah payah melawan larangan orangtua itu hanyalah untuk memetik buah-buah karet dan demi sedikit taruhan harga diri dalam arena tarak. Atau barangkali perbuatan bodoh itu justru digerakkan oleh keinginan untuk membongkar rahasia buah karet yang misterius. Kekuatan kulit buah karet tak bisa diramalkan dari bentuk dan warnanya. Pada rahasia itulah tersimpan daya tarik permainan mengadu kekuatan kulitnya. Permainan kuno nan legendaris itu disebut tarak. Cuma ada satu hal yang agak berlaku umum, yaitu pohon-pohon karet yang buahnya sekeras batu selalu berada di tempat-tempat yang jauh di dalam hutan dan memerlukan nyali lebih, atau sikap nekat yang tolol, untuk mengambilnya.
Di dalam tarak, dua buah karet ditumpuk kemudian dipukul dengan telapak tangan. Buah yang tak pecah adalah pemenangnya. Inilah permainan pembukaan musim hujan di kampung kami, semacam pemanasan untuk menghadapi permainan-permainan lainnya yang jauh lebih seru pada saat air bah tumpah dari langit.
SEIRING dengan semakin gencarnya hujan mengguyur kampung-kampung orang Melayu Belitong, aura tarak perlahan-lahan redup. Jika tarak sudah tak dimainkan maka Áitulah akhir bulan September, begitulah tanda alam yang dibaca secara primitif. Wilayah-wilayah tropis di muka bumi akan mengalami mendung seharian dan hujan berkepajangan. Sementara di Barat sana, orang-orang menjalani hari-hari yang kelabu menjelang musim salju. Pada sepanjang bulan berakhiran "-ber", seisi dunia tampak lebih murung, maka tidak mengherankan di beberapa bagian barat angka statistik bunuh diri meningkat.
Aku melongok keluar jendela, RRI mengumandangkan sebuah lagu lama sebelum siaran berita, Rayuan Pulau Kelapa. Alunan nada Hawaian yang tak lekang dimakan waktu mendayu-dayu membuat mata mengantuk. Sebuah siang yang syahdu, sesyahdu Howling Wolf saat menyanyikan lagu blues How Long Baby, How Long.
Tapi suasana agak berbeda bagi kami. Acara sedih di bulan-bulan penghujung tahun ini adalah urusan orang dewasa. Bagi kami hujan yang pertama adalah berkah dari langit yang disambut dengan sukacita tak terkira-kira. Dan tak pernah kulihat di wilayah lain, hujan turun sedemikian lebat seperti di Belitong.
Tujuh puluh persen daratan di Belitong adalah rain forest alias hutan hujan. Pulau kecil itu berada pada titik pertemuan Laut Cina Selatan di sisi barat dan Laut Jawa di sisi timur. Adapun di sisi utara dan selatan ia diapit oleh Selat Karimata dan Selat Gaspar. Letaknya yang terlindung daratan luas Pulau Jawa dan Kalimantan melindungi pantainya dari gelombang ekstrem musim barat, namun uapan jutaan kubik air selama musim kemarau dari samudra berkeliling itu akan tumpah seharian selama berbulan-bulan pada musim hujan. Maka hujan di Belitong tak pernah sebentar dan tak pernah kecil.
Hujan di Belitong selalu lama dan sejadi-jadinya seperti air bah tumpah ruah dari langit, dan semakin lebat hujan itu, semakin gempar guruh menggelegar, semakin kencang angin mengaduk-aduk kampung, semakin dahsyat petir sambar-menyambar, semakin giranglah hati kami. Kami biarkan hujan yang deras mengguyur tubuh kami yang kumal. Ancaman dibabat rotan oleh orangtua kami anggap sepi. Ancaman tersebut tak sebanding dengan daya tarik luar biasa air hujan, binatang-binatang aneh yang muncul dari dasar parit, mobil-mobil proyek timah yang terbenam, dan bau air hujan yang menyejukkan rongga dada.
Kami akan berhenti sendiri setelah bibir membiru dan jemari tak terasa karena kedinginan. Seluruh dunia tak bisa mencegah kami. Kami adalah para duta besar yang berkuasa penuh saat musim hujan. Para orangtua hanya menggerutu, frustrasi merasa dirinya tak dianggap. Kami berlarian, bermain sepak bola, membuat candi dari pasir, ber-pura-pura menjadi biawak, berenang di lumpur, memanggil-manggil pesawat terbang
yang melintas, dan berteriak keras-keras tak keruan kepada hujan, langit, dan halilintar seperti orang lupa diri.
Tapi lebih dari itu, yang paling seru adalah permainan tanpa nama yang melibatkan pelepah-pelepah pohon pinang hantu. Satu atau dua orang duduk di atas pelepah selebar sajadah, kemudian dua atau tiga orang lainnya menarik pelepah itu dengan kencang. Maka terjadilah pemandangan seperti orang main ski es, tapi secara manual karena ditarik tenaga manusia.
Penumpang yang duduk di depan memegangi pelepah seperti penunggang unta sedangkan penumpang di belakang memeluknya erat-erat agar tidak tergelincir. Mereka yang bertubuh paling besar, yaitu Samson, Trapani, dan A Kiong menduduki jabatan penarik pelepah dan mereka amat bangga dengan jabatan itu.
Puncak permainan ini adalah momen ketika para penarik pelepah yang bertenaga sekuat kuda beban berbelok mendadak serta dengan sengaja menambah kekuatannya di belokan itu. Maka penumpangnya akan melaju sangat kencang, terseret sejajar ke arah samping, meluncur mulus tapi deras sekali di atas permukaan lumpur yang licin, lalu menikung tajam dalam kecepatan tinggi.
Aku rasakan tingkungan itu membanting tubuhku tanpa dapat kukendalikan dan sempat kulihat cipratan air bercampur lumpur yang besar menghempas dari sisi kanan pelepah mengotori para penonton: Sahara, Harun, Kucai, Mahar, dan Lintang. Mereka gembira luar biasa menerima cipratan air kotor itu, semakin kotor airnya semakin senang mereka. Mereka bertepuk tangan girang menyemangati kami. Sementara Syahdan yang duduk di belakangku memegang tubuhku kuat-kuat sambil bersorak-sorai.
Syahdan bertindak selaku co-pilot, dan aku pilotnya. Kami meluncur menyamping dengan tubuh rebah persis seperti gerakan laki-laki gondrong pengendara sepeda motor tong setan di sirkus atau lebih keren lagi seperti gerakan speed racer yang merendahkan tubuhnya untuk mengambil belokan maut. Sebuah gaya rebah yang penuh aksi. Pada saat menikung itu aku merasakan sensasi tertinggi dari permainan tradisional yang asyik ini.
Namun, cerita tidak selesai sampai di situ. Karena sudut belokan tersebut tidak masuk akal maka tikungan tersebut tak Ákan pernah bisa diselesaikan. Para penarik bertabrakan sesama dirinya sendiri, terjatuh-jatuh jumpalitan, terbanting-banting tak tentu arah, sementara aku dan Syahdan terpental dari pelepah, terhempas, terguling-guling, lalu kami berdua terkapar di dalam parit.
Kepalaku terasa berat, kuraba-raba dan benjolan kecilkecil bermunculan. Air masuk melalui hidungku, suaraku jadi aneh, seperti robot, dan ada rasa pening di bagian kepala sebelah kanan yang menjalar ke mata. Rasa itu hanya sebentar, biasa kita alami kalau air memasuki hidung. Aku tersedak-sedak kecil seperti kambing batuk. Lalu aku mencari-cari Syahdan. Ia terbanting agak jauh dariku. Tubuhnya telentang, tergeletak tak berdaya, air menggenangi setengah tubuhnya di dalam parit. Ia tak bergerak.
Kami menghambur ke arah Syahdan. Aduh! Gawat, apakah ia pingsan? Atau gegar otak? Atau malah mati? Karena ia tak bernapas sama sekali dan tadi ia terpelanting seperti tong jatuh dari truk. Di sudut bibirnya dan dari lubang hidungnya kulihat darah mengalir, pelan dan pekat. Kami merubung tubuhnya yang diam seperti mayat. Sahara mulai terisak-isak, wajahnya pias. Aku memandangi wajah temanku yang lain, semuanya pucat pasi. A Kiong gemetar hebat, Trapani memanggil-manggil ibunya, aku sangat cemas.
Aku menampar-nampar pipinya.
"Dan! Dan ...!" Aku pegang urat di lehernya, seperti pernah kulihat dalam film Little House on The Prairie. Namun sayang sebenarnya aku sendiri tak mengerti apa yang kupegang, karena itu aku tak merasakan apa-apa. Samson, Kucai, dan Trapani turut menggoyang-goyang tubuh Syahdan, berusaha menyadarkannya. Tapi Syahdan diam kaku tak bereaksi. Bibirnya pucat dan tubuhnya dingin seperti es. Sahara menangis keras, diikuti oleh A Kiong.
"Syahdan ... Syahdan .., bangun Dan ...," ratap Sahara pedih dan ketakutan.
Kami semakin panik, tak tahu harus berbuat apa. Aku terus-menerus memanggil-manggil nama Syahdan, tapi ia diam saja, kaku, tak bernyawa, Syahdan telah mati. Kasihan sekali Syahdan, anak nelayan melarat yang mungil ini harus mengalami nasib tragis seperti ini.
Kami menggigil ketakutan dad Samson memberi isyarat agar mengangkat Syahdan. Ketika kami angkat tubuhnya telah keras seperti sepotong balok es. Aku memegang bagian kepalanya. Kami gotong tubuh kecilnya sambil berlari. Sahara dan A Kiong meraung-raung. Kami benar-benar panik, namun dalam kegentingan yang memuncak tiba-tiba di gumpalan bulat kepala keriting yang kupeluk kulihat deretan gigi-gigi hitam keropos dan runcing-runcing seperti dimakan kutu meringis ke arahku, kemudian ku-dengar pelan suara tertawa terkekeh-kekeh.
Ha! Rupanya co-pilot-ku ini hanya berpura-pura tewas! Sekian lama ia membekukan tubuhnya dan berusaha menahan napas agar kami menyangka ia mati. Kurang ajar betul, lalu kami membalas penipuannya dengan melemparkannya kembali ke dalam parit kotor tadi. Dia senang bukan main. Ia terpingkal-pingkal melihat kami kebingungan. Kami pun ikut tertawa. Sahara menghapus tangisnya dengan lengannya yang kotor. Makin lama tawa kami makin keras. Kulirik lagi Syahdan, ia meringis kesakitan tapi tawanya keras sekali sampai-sampai keluar air matanya. Air matanya itu bercampur dengan air hujan.
Anehnya, justru peristiwa terjatuh, terhempas, dan terguling-guling yang menciderai, lalu disusul dengan tertawa keras saling mengejek itulah yang kami anggap sebagai daya tarik terbesar permainan pelepah pinang. Tak jarang kami mengulanginya berkali-kali dan peristiwa jatuh seperti itu bukan lagi karena sudut tikungan, kecepatan, dan massa yang melanggar hukum fisika, tapi memang karena ketololan yang disengaja yang secara tidak sadar digerakkan oleh spirit euforia musim hujan. Pesta musim hujan adalah sebuah perhelatan meriah yang diselenggarakan oleh alam bagi kami anak-anak Melayu tak mampu.
Laskar Pelangi Adalah Novel Karya Andrea HirataTanpa Bermaksud Merugikan Sang Penulis,Cuma Sekedar Sharing Saja. Jangan Lupa Silahkan Beli Novel Karya - Karya Beliau.
0 Komentar:
Post a Comment