Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Bagian 26
Seandainya pernah kenal dan hidup bersama Meva adalah sebuah mimpi, maka gw yakin itu adalah mimpi paling indah yg pernah gw temui di hidup gw. Kadang gw berharap nggak akan pernah terjaga dari mimpi indah ini. Tapi gw tau, semua hal di dunia ini ada masanya. Bukankah ketika kita memulai sesuatu, justru sebenarnya kita sedang maju satu langkah untuk mengakhirinya? Waktu hanya sebuah pilihan dari Tuhan untuk manusia. Ada yg bisa menggunakannya dengan bijak, tapi banyak juga yg nggak demikian. Satu yg pasti, waktu nggak pernah berputar mundur, meski hanya sedetik. Dan gw seharusnya lebih bisa menerima apa yg sudah jadi pilihan gw. Tapi kadang hati kecil ini seperti nggak mau berhenti merongrong untuk terus menyesalinya.
Airmata yg pernah gw teteskan untuk seorang Meva, adalah bukti betapa sebenarnya gw belum sanggup mengosongkan sebelah hati gw yg selama empat tahun ini terisi oleh sosoknya. Gw sudah sangat terbiasa mendengarkan celotehannya. Lengan gw mungkin sudah ratusan kali dicubit setiap gw menggodanya. Maka sangat aneh rasanya ketika pagi-pagi gw terjaga dan mendapati kamar gw begitu sepi. Bukan hanya kamar gw, tapi jauh dalam hati gw hari-hari ini gw merasakan kekosongan yg menyakitkan. Kekosongan yg hanya akan terobati dengan kehadirannya di samping gw.
Gw kangen ucapan selamat pagi yg khas dari Meva. Gw kangen tingkah usilnya kalo lagi nggak ada kerjaan. Gw kangen tatapan matanya. Gw kangen semua hal yg ada pada dirinya...
Gitar tua warisan Indra, yg biasanya kami mainkan setiap mengisi waktu malam, sekarang hanya tersudut diam di pojok kamar. Beberapa kali pernah gw mainkan lagu yg sering kami nyanyikan bersama, tapi semenjak kepergian Meva gitar ini seperti kehilangan nadanya. Senar-senar yg gw petik nggak mampu lagi menghadirkan nada indah. Lirik yg gw nyanyikan pun menguap begitu saja tanpa makna yg jelas.
Kemudian gw melangkah ke beranda. Berdiri menatap langit malam dengan ribuan bintangnya. Tapi nggak pernah lagi gw temui indahnya malam seperti dulu. Bintang-bintang itu seperti redup dan tenggelam dalam gelapnya langit malam. Mereka seperti enggan memancarkan lagi sinar terindahnya.
Tapi gw masih bisa melihatnya. Gw bisa melihat mereka. Dua orang yg sedang asyik melewatkan malam dengan bermain catur di beranda. Seorang laki-laki, seperti yg selalu gw lihat setiap gw bercermin. Seorang lagi wanita, dengan stoking hitamnya yg khas. Mereka nampak sangat menikmati momen itu. Berbincang dan tertawa lepas setiap satu dari mereka mengeluarkan banyolannya.
Tanpa sadar gw tersenyum kelu menatap mereka.
Lalu sosok keduanya berangsur-angsur menjadi tipis dan transparan, sebelum akhirnya benar-benar menghilang dari benak gw......
"Kejadiannya selalu sama," suara Indra membuyarkan lamunan gw. "Ada yg pergi untuk kembali, tapi ada juga yg pergi dan nggak mungkin kembali."
Gw termenung sesaat.
"Tapi sebelum pergi Meva bilang dia akan balik lagi," gw mencari pembenaran dari harapan dalam hati gw. Meskipun gw sendiri nggak yakin dengan hal itu.
Indra mendesah pelan. Dia hembuskan asap rokok dari mulutnya dan membiarkannya berbaur dengan asap putih dari rokok gw.
"Setelah dia pergi, kalian masih sering berhubungan?" tanyanya ingin tau.
Gw mengangguk. Sangat pelan dan lemah.
"Beberapa bulan pertama, kita masih sering telpon-telponan. Tapi kayaknya dia makin sibuk setelah mulai keterima kerja, jadi yah praktis waktu buat kita contact semakin berkurang..." sedikit terenyuh gw ceritakan keadaan gw dan Meva sekarang.
"Dan lo, sampe sekarang masih belum berani ungkapin perasaan lo ke dia?"
Gw menggeleng. Kali ini lebih lemah dari anggukan gw sebelumnya.
"Gw selalu pengen Meva dapet yg terbaik buat hidupnya. Gw nggak mau kalo nantinya pengakuan gw cuma akan mengganggu apa yg dia dapat sekarang..."
"Kalo itu memang pilihan lo berarti mulai sekarang lo harus siap kehilangan dia," tandas Indra.
Gw tersentak. Mendadak tubuh gw terasa panas. Gw seperti baru dibangunkan dari mimpi indah yg melenakan.
"Lo harus menata ulang hati lo lagi," lanjut Indra. "Gw nggak minta lo lupain Meva, tapi mulai sekarang lo harus bisa membedakan antara masa lalu dan realita. Jangan sampe lo jatuh terlalu lama dalam kehilangan. Bukan cuma Meva, tapi lo juga berhak dapet yg terbaik buat hidup lo."
Gw tertunduk lesu. Tiap hari nafas gw jadi semakin berat. Nggak pernah bisa dipungkiri, gw mencintai Meva lebih dari yg pernah gw bayangkan sebelumnya. Dan sekarang, rasa ini perlahan mulai terasa menyakitkan.
"Gw tau sayang lo tulus ke Meva," kata Indra lagi. "Tapi sekarang pilihannya cuma dua, lo kejar Meva sampe dapet atau lo bener-bener tinggalin semuanya dan mulai menata hidup lo."
"......."
"Kalo gw sih, bakal gw kejar tuh Meva," Indra menyenggol lengan gw lalu tersenyum penuh makna. "Kapan lagi coba dapet cewek kayak dia?! Bego aja kalo sampe lo tinggalin."
Gw nyengir lebar. Entahlah, yg gw lakukan selama ini adalah sebuah kebodohan tau bukan, gw nggak mengerti. Yg gw tahu cuma satu hal, sekarang lah saat nya gw untuk membuat satu pilihan terakhir. Pilihan yg akan sangat membuktikan seberapa dalam sebenarnya sayang gw ke Meva.....
“Jadi ini pilihan yg lo ambil?” tanya Indra dari belakang gw.
Gw terdiam. Tangan gw tertahan di reseleting tas yg baru saja gw tutup. Gw berdiri dan balikkan badan menghadap Indra.
“Lo udah yakin sama pilihan lo?” lanjutnya memastikan.
Gw mengangguk pelan.
“Nah, itu baru namanya temen gw! Yakinlah sama pilihan lo. Dan kejar apa yg harus lo kejar! Oke?” dia menghampiri dan menjabat tangan gw penuh semangat.
Indra memandang berkeliling kamar gw yg sekarang sudah sangat rapi. Tanpa perabot yg berserakan, dan tanpa kasur dan bantal yg terhampar tak berdaya di tengah ruangan.
“Gw bakal kangen banget sama kamer ini,” katanya kemudian.
“Apalagi gw Dul.”
“Gw inget banget saat-saat pertama dateng di kosan ini. Gw kangen sama masa-masa itu. Pengen deh gila-gilaan lagi bareng anak-anak..”
“Hahaha…mengenang masa muda ya Pak?!”
“Errr gw belum tua banget kali. Belum juga kepala tiga. Masih belum pantes dipanggil ‘Bapak’.”
“Terus anak lo mau dikemanain kalo lo masih belum cocok dipanggil Bapak?” ejek gw.
Dan kami pun tertawa lebar.
“Hemmm…..ini salah satu tempat bersejarah ya buat kita. Ini tempat kita merangkai mimpi kita. Tapi ketika semua impian itu sudah kita capai, pada akhirnya kita harus meninggalkan tempat ini.”
Gw bersandar pada dinding kamar yg terasa dingin di punggung gw. Gw menyulut sebatang rokok dan dengan cepatnya ruangan kecil ini sudah dipenuhi kepulan asap putih tipis dari mulut gw.
“Buat gw ini bukan sekedar tempat merangkai mimpi,” sahut gw. “Ini juga tempat ketika gw pernah bermimpi indah…” dan gw mulai mengenang kembali hari-hari gw di sini bersama Meva.
“Yaah satu per satu kita akhirnya ninggalin tempat ini. Setelah gw, Meva, dan sekarang elo Ri. Dan akhirnya tempat ini jadi saksi ‘kejayaan’ kita.” Dia tersenyum kosong.
Gw mendesah pelan. Bukankah dari dulu juga seperti itu?, gw bertanya dalam hati. Pada akhirnya semua akan berujung ke satu titik bernama perpisahan, meskipun nggak semuanya adalah perpisahan yg hakiki. Echi dan nyokap gw….adalah bukti tak terbantahkan. Lalu Indra, Lisa, dan kemudian Meva….
“Semoga gw nggak pernah menyesali pilihan gw ya Dul,” gw sedikit ragu.
“Gw selalu di belakang lo, pokoknya gw dukung apapun pilihan lo.”
“Thanks sob,” gw embuskan lagi asap putih dari mulut gw. “Sejak awal, gw yakin Meva pantas mendapatkan yg terbaik buat hidupnya. Dia layak sampe di kotak terakhirnya untuk bertransformasi jadi menteri…” gw berjalan ke jendela, menyibak gordennya dan mendapati pintu kamar di seberang tertutup rapat.
“…………”
“…Dan gw, gw nggak mau kalo kehadiran gw hanya jadi pion kecil yg manghalangi langkahnya menuju kotak terakhir…”
“…………”
“Yakinlah Tuhan selalu tau yg terbaik buat kita,” Indra menyemangati gw. “Selamat berjuang di tempat baru ya!!”
Gw mengangguk mantap.
“Kapan-kapan kalo senggang mampirlah ke rumah gw,” ujar Indra. “Pintu rumah gw selalu terbuka lebar buat sahabat terbaik gw. Lagian Jakarta – Karawang nggak jauh-jauh amat kok. Ntar kita undang juga temen-temen yg laen buat reunian di kosan ini.”
“Oke. Kabari gw yah kalo ada acara sama anak-anak.”
Gw tersenyum lebar, dan sebelum gw semakin mendramatisir perpisahan kecil ini gw angkat tas gw keluar kamar sementara Indra bantu mengangkat tas yg lain. Tiba di depan kamar kami sama-sama terdiam. Indra menghampiri pintu kamarnya dulu, yg saat itu tertutup ditinggalkan penghuninya kerja. Nampaknya dia ingin sedikit bernostalgia dengan kamarnya. Sementara gw melangkah pelan menuju pintu kamar di seberang kamar gw. Pintu yg selalu tertutup selama hampir setahun ini.
Setelah kepergian Meva memang nggak ada lagi yg menghuni kamar ini. Gw sengaja membayar uang sewa kamar ini supaya nggak ada yg menghuninya. Gw nggak mau kenangan gw tentang Meva ‘rusak’ dengan kehadiran penghuni baru. Gw mau apa yg sudah ada biarkan apa adanya, sampai akhirnya gw meninggalkan tempat ini.
Gw berdiri terpaku di depan pintu. Rasanya nafas gw sedikit sesak kalau mengingat hari-hari itu..
Perlahan gw putar handle dan nampaklah sebuah ruangan gelap dengan aroma debu yg cukup menyengat. Setelah mata gw terbiasa dengan kegelapan ruangan ini gw melangkah masuk. Ini masih kamar yg sama dengan yg terakhir kali gw masuki ketika terakhir bertemu Meva. Tata letak perabotnya, nggak ada yg bergeser seinchi pun. Hanya saja ruangan ini sudah nyaris tenggelam oleh debu tebal yg nggak pernah dibersihkan. Gw tertegun.
“Aaaaaaaaaaarrrrrrrrriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii…! !!”
Sebuah suara yg sudah sangat akrab di telinga gw, seperti berdengung di dalam kepala gw. Perlahan sosoknya hadir di hadapan gw. Berdiri sambil tersenyum mengejek seperti yg biasa dilakukannya.
Dada gw terasa sesak. Gw alihkan pandangan ke sudut lain kamar, dan saat itulah gw melihatnya lagi. Entah kenapa kemanapun gw melihat, selalu ada Meva di sana….
***
“Lo bakal kangen nggak sama gw kalo gw pergi?” suaranya lembut menggelitik telinga gw.
“Kangen? Mmmh……kangen enggak yaaaa?” jawab gw sambil becanda sementara Meva menunggu jawaban gw dengan raut wajah yg sulit dijelaskan.
“Kangen nggak??” ulangnya.
“Kangen aja deh!” gw tertawa kecil.
“Kok pake ‘deh’ sih?? Nggak ikhlas banget kangennya!!” protesnya.
Gw nyengir bego.
“Tapi lo bakal balik lagi ke sini kan?” gantian gw yg tanya.
“Mmmh…balik enggak yaa?” melirik gw nakal. “Balik aja deh!” dan menirukan gaya bicara gw barusan.
Gw jitak kepalanya.
“Sakiiiit!” Meva balas mencubit gw.
“Jawab yg serius napa??”
“Kan elo juga jawabnya gitu!! Eh, ngomongnya biasa aja yak nggak usah pake nyolot gitu!!! Jelek tau nggak???”
“Yg nyolot siapa yaaaa??????”
Meva memasang raut wajah marah. Tapi entah kenapa justru gw malah pengen ketawa liatnya.
“Udah ah buruan berangkat, entar keabisan bus lho,” kata gw dengan nada normal.
“…………”
“Kok diem?”
Meva menatap gw curiga.
“Kok kayaknya lo seneng banget nih gw pergi??” tanyanya menyelidik.
“Iya lah seneng. Kalo lo pergi kan itu artinya eggak bakal ada yg gangguin gw lagi tengah malem buat curhat. Enggak ada lagi yg teriak pagi-pagi di kuping gw. Enggak ada lagi yang……”
“…………”
“…heh, kok nangis?” gw perhatikan Meva yg menunduk sambil usapi pipinya.
Meva masih menunduk. Gw jadi serba salah sendiri. Gw tarik tangannya untuk memastikan dia nangis beneran atau enggak.
“Va..? Lo enggak kenapa-kenap….”
“Dasar K-E-B-O-O-O-O-O-O-O-O!!!!” Meva teriak di telinga gw. “Jadi cowok enggak sensitif bangeeet!!”
Gw jitak lagi kepalanya saking kagetnya. Kali ini Meva balas menjambak rambut gw.
“S-A-K-I-T!!” teriaknya.
“Ih, apa-apaan sih lo?” gw usapi kuping gw yg berdengung gara-gara teriakannya. “Mentang-mentang mau pergi jadi bales dendam gitu??”
“Hehehehe… Peace!” Meva nyengir bloon sambil mengacungkan dua jari tangannya. “Udah yuk berangkat, anter gw ke terminal.”
“Ogah! Berangkat aja sendiri!”
“Yaaah kok marah gitu siiih………”
“Bodo ah.”
“Hehehehe. Udah ah gitu aja ngambek. Kapan lagi coba nganter gw balik?” Meva mengangkat tas besarnya dan dengan sembarangan menyerahkannya ke gw. “Buru lah jalan.”
Errrr ni cewek seenak jidatnya aja!
Meva mengunci pintu kamarnya, lalu kami bersama-sama berjalan menuruni tangga. Dan itulah terakhir kalinya gw melihatnya di kosan ini..
***
Hari ini hampir setahun setelah kepergian Meva. Pada awalnya kami memang masih berhubungan lewat telepon. Tapi semakin ke sini semakin jarang kami lakukan. Entahlah, yg gw tahu Meva sedang mulai disibukkan aktifitas kerjanya. Meski miris, tapi gw coba menerima ini sebagai proses perjalanan hidup yg harus dilalui. Toh seperti yg sudah gw pilih hari ini, melihat Meva menjadi seorang ‘menteri’ adalah jauh lebih membahagiakan dari hal membahagiakan apapun di dunia ini. Gw harus mulai bisa menerima jarak yg ada diantara kami. Benar seperti yg dibilang Indra, gw pun harus mulai membangun hidup gw.
Gw punya kehidupan sendiri yg harus gw tata. Sudah saatnya gw menjalankan langkah pertama gw. Gw yakin akan ada yg lebih membahagiakan dari ini di kotak terakhir gw nanti. Meski tanpa Meva, mungkin…?
“Ayo Ri….” Suara Indra membuyarkan lamunan gw. “Kita berangkat sebelum tambah malem.”
Gw menoleh ke sudut kamar, ke tempat tadi gw melihat Meva.
Nggak ada siapapun di situ…
“Eh, ayo…” gw melangkah keluar. Di luar sini gw bisa merasakan udara segar masuk ke hidung gw. Indra berdiri tersenyum dan menepuk pundak gw.
“Meva pasti akan dapet yg terbaik di sana,” katanya. “Dan sekarang giliran lo yg mendapatkan hal itu. Gw selalu ada buat lo, kapanpun lo butuh gw lo bisa hubungi gw. Jarak antara Jakarta dan Karawang bukan suatu penghalang. Saat apapun lo butuh gw, gw akan selalu bantu lo sebisanya.”
“Makasih banyak buat semuanya Ndra,” gw menjabat tangannya kemudian memeluknya sesaat.
Kami sama-sama tersenyum.
“Sebentar,” gw menoleh ke pintu kamar Meva.
Pintunya masih terbuka. Gw raih handle nya dan menariknya hingga menutup. Entah kenapa kali ini gw seperti menarik sebuah pintu dari baja yg enggan bergeser. Bukan, bukan karena tebalnya debu yg sedikit menahan laju pintu ini, tapi karena banyaknya kenangan yg ada di sini, yg membuat tangan gw seperti kaku dan tertahan untuk menutupnya.
“Ri,” panggil Indra. “Lo tau kenapa kenangan itu terasa indah?”
“…………”
“Karena dia nggak akan terulang lagi. Itu yg membuatnya jadi berarti…”
“…………”
Gw tarik nafas berat. Dan perlahan akhirnya gw tutup pintu itu.
“Selamat tinggal,” ucap gw lirih seiring gerakan pintu yg akhirnya benar-benar menutup.
Dan malam ini, gw biarkan semua kenangan tentang Meva tertinggal di balik pintu kamarnya. Suatu hari nanti, ketika gw buka lagi pintu itu, gw berharap gw sudah benar-benar siap dan mengerti bahwa perbedaan nggak seharusnya jadi suatu penghalang dan titik mati buat seseorang menyatakan cintanya. Suatu hari nanti ketika gw buka lagi pintu itu, gw berharap ada Meva yg hadir untuk menyambut kedatangan gw.
Suatu hari nanti………………
Next Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Bagian 27 (Bagian Terakhir)
Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Adalah Novel Karya Ariadi Ginting a.k.a Pujangga.Lama.
0 Komentar:
Post a Comment