Novel Laskar Pelangi Bagian 34 (Gotik) Bagian Terakhir
AKUbangga duduk di sini di antara para panelis, yaitu para budayawan Melayu yang selalu menimbulkan rasa iri. Sebuah benda segitiga dari plastik di depanku menyatakan eksistensiku:
Syahdan Noor Aziz Bin Syahari Noor Aziz
Panelis
Aku terutama bangga pada sahabat lamaku Mahar Ahlan bin Jumadi Ahlan bin Zubair bin Awam, cicit langsung tokoh besar pendidikan Belitong, Zubair. la meluncurkan bukunya hari ini. Sebuah novel tentang persahabatan yang sangat indah. Ketika ia memintaku menjadi panelis, aku langsung setuju. Aku mengambil cuti di antara kesibukanku diBandungsekaligus pulang kampung ke Belitong.
Di antara hadirin ada Nur Zaman dan guruku, Bu Mus serta Pak Harfan.Adapula Kucai, sekarang ia adalah Drs. Mukharam Kucai Khairani, MBA dan selalu berpakaian safari. Dulu di kelas otaknya paling lemah tapi sekarang gelar akademiknya termasuk paling tinggi di antara kami. Nasib memang aneh.
Kucai selalu berpakaian safari karena cita-citanya untuk menjadi anggota dewan rupanya telah tercapai. la telah menjadi politisi walaupun hanya kelas kampung. la menjadi seorang ketua salah satu fraksi di DPRD Belitong. Kucai sangat progresif. la bertekad menurunkan peringkat korupsi bangsa ini dan ia geram ingin membongkar perilaku eksekutif yang sengaja membuat struktur baru guna melegalisasi skenario besar, yaitu merampoki uang rakyat. Bersama Mahar ia juga berniat mengem-balikan nama-nama daerah di Belitong kepada nama asli berbahasa setempat. Nama-nama itu selama masa orde baru dengan konyol dibahasaIndonesiakan. Proyek prestisius mereka lainnya adalah mematenkan permainan perosotan dengan pelepah pinang.
Tapi lebih dari semua itu aku rindu pada Ikal. Kasihan pria keriting yang pernah jadi tukang sortir itu. Kelelahan mencari identitas, insomnia, dan terobsesi dengan satu cinta telah membuatnya agak senewen. Kabarnya ia hengkang dari kantor pos lalu mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan. Barangkali untuk tujuan sebenarnya: membuang dirinya sendiri.
Setelah acara peluncuran buku, aku, Nur Za-man, Mahar, dan Kucai mengunjungi ibu Ikal untuk bersilaturahmi sekalian menanyakan kabar anaknya di rantau orang. Ketika bus umum yang kami tumpangi melewati pasar Tanjong Pandan, aku melihat seorang pria yang sangat gagah seperti seorang petinggi bank atau seperti petugas asuransi dariJakartayang sedang mengincar asuransi aset di provinsi baruBabel.
Pria itu bercelana panjang cokelat teduh se-nada dengan warna ikat pinggangnya. Kemejanya jatuh menarik di tubuhnya yang kurus tinggi dengan bahu bidang. Postur yang disukai para perancang mode. Sepatu pantofelnya jelas sering disemir. Rambutnya lurus pendek disisir ke belakang. Kulitnya putih bersih. Tak berlebihan, ia seperti Adrien Brody!
Sayangnya barang bawaannya sama sekali tak sesuai dengan penampilan gagahnya. Ia menenteng plastik kresek be-lanjaan, ikatan daun saledri, kangkung, kardus, dan alat-alat dapur. Ia berjalan tercepuk-cepuk mengikuti seorang ibu di depannya. Meskipun sangat repot dan kepanasan ta-pi ia berseri-seri. Aku kenal pria ganteng itu, iaTrapani. Tahun lalu aku mendengar cerita pertemuannya dengan Ikal di Zaal Batu. Ia mengalami kemajuan dan diizinkan pulang. Aku tak memberi tahu Nur Zaman, Mahar, dan Kucai. Aku memandang ibu dan anak itu berjalan beriringan sampai jauh. Air mataku mengalir. Nur Zaman, Mahar, dan Kucai tak tahu.
Aku terkenanglimabelas tahun yang lalu. Setelah tamat SMA, aku, Ikal,Trapani, dan Kucai memutuskan untuk merantau mengadu nasib ke Jawa. Hari itu kami berjanji berangkat dengan kapal barang dari Dermaga Olivir. Tapi sampai sore Trapani tak datang. Karena kapal barang hanya berangkat sebulan sekali maka terpaksa kami berangkat tanpa dia. Pada saat itu rupanyaTrapanitelah mengambil keputusan lain. la tak datang ke dermaga karena ia tak mampu meninggalkan ibunya. Setelah itu kami tak pernah mendengar kabarTrapani.
Sekarang kami duduk di beranda sebuah rumah panggung kuno khas Melayu, rumah ibu Ikal.
"Bagaimana kabarnya si Ikal itu, Ibunda?" ta-nya Mahar kepada ibu Ikal.
Ibu tua berwajah keras itu awalnya tadi sa-ngat ramah. Beliau menyatakan rindu kepada kami, namun demi mendengar pertanyaan itu beliau menatap Mahar dengan tajam.
Mahar tersenyum kecut. Wajah ibu Ikal keli-hatan kecewa berat. Beliau diam. Tangannya memegang sebilah pisau antip, mencengkeramnya dengan geram sehingga dua butir pinang terbelah dua tanpa ampun. Salah satu belahan pinang jatuh berguling dan terjerumus di antara celah lantai papan lalu diserbu ayam-ayam di bawah rumah, beliau tak sedikit pun peduli.
Si pemimpi itu pasti sudah bikin ulah lagi. Ma-har sedikit menyesal mengungkapkan pertanyaan itu.
Ibu Ikal meramu tembakau, pinang, kapur sirih, dan gambir yang bertumpuk-tumpuk di dalam kotak tembaga yang disebut keminangan. Lalu dua lembar daun sirih dibalutkan pada ramuan tadi sehingga menjadi bola kecil. Beliau menggigit bola kecil itu dengan geraham di sudut mulutnya seperti orang ingin memutuskan kawat dengan gigi, bersungut-sungut, dan bersabda dengan tegas:
"Terakhir ia mengirimiku sepucuksuratdan diselipkannya selembar foto dalam suratnya itu."
Beliau meludahkan cairan merah yang terbang melalui jendela rumah panggung sambil melilitkan jilbabnya dua kali menutupi dagunya sehingga seperti cadar. Beliau jelas sedang marah.
"Rupanya dia dan kawan-kawannya sedang mengikuti semacam festival seni mahasiswa. Wajahnya di foto itu di-coreng-moreng tak keruan tapi dia sebut itu seni?!!11
Kami menunduk tak berani berkomentar.
"Menurutnya itu seni lukis wajah, ya seni lukis wajah, apa itu... gotik! Ya gotik! Dia sebut itu seni lukis wajah gotik! Dan dia sangat bangga pada coreng-morengnya itu!"
Beliau menghampiri kami yang duduk tertunduk melingkari meja tua batu pualam. Kami pun ciut.
"Bukan main anak muda Melayu zaman seka-rang!!!"
Ibu Ikal mengepalkan tinjunya, kami ketakut-an, beliau mengacung-acungkan pisau antip, kami tak berkutik, suara beliau meninggi
"Dia sebut itu seni??? Ha! Seni!! Barangkali dia ingin tahu pendapatku tentang seninya itu!!!"
Beliau benar-benar muntab, murka tak terkira-kira. Untuk kedua kalinya beliau menyemburkan cairan merah sirih melalui jendela seperti anak-anak panah yang melesat.
"Pendapatku adalah wajahnya itu persis benar dengan wajah orang yang sama sekali tidak pernah shalat!"
Demi mendengar kata-kata itu Kucai yang te-ngah memamah biak sagon tak bisa menguasai diri. Dia berusaha keras menahan tawa tapi tak berhasil sehingga serbuk kelapa sagon terhambur ke wajah Mahar, membuat jambul pengarang berbakat itu kacau balau. Kucai berulang kali minta maaf pada ibu Ikal, bukan pada Mahar, tapi wajahnya meng-angguk-angguk takzim menghadap ke Nur Zaman.
Syahdan Noor Aziz Bin Syahari Noor Aziz
Panelis
Aku terutama bangga pada sahabat lamaku Mahar Ahlan bin Jumadi Ahlan bin Zubair bin Awam, cicit langsung tokoh besar pendidikan Belitong, Zubair. la meluncurkan bukunya hari ini. Sebuah novel tentang persahabatan yang sangat indah. Ketika ia memintaku menjadi panelis, aku langsung setuju. Aku mengambil cuti di antara kesibukanku diBandungsekaligus pulang kampung ke Belitong.
Di antara hadirin ada Nur Zaman dan guruku, Bu Mus serta Pak Harfan.Adapula Kucai, sekarang ia adalah Drs. Mukharam Kucai Khairani, MBA dan selalu berpakaian safari. Dulu di kelas otaknya paling lemah tapi sekarang gelar akademiknya termasuk paling tinggi di antara kami. Nasib memang aneh.
Kucai selalu berpakaian safari karena cita-citanya untuk menjadi anggota dewan rupanya telah tercapai. la telah menjadi politisi walaupun hanya kelas kampung. la menjadi seorang ketua salah satu fraksi di DPRD Belitong. Kucai sangat progresif. la bertekad menurunkan peringkat korupsi bangsa ini dan ia geram ingin membongkar perilaku eksekutif yang sengaja membuat struktur baru guna melegalisasi skenario besar, yaitu merampoki uang rakyat. Bersama Mahar ia juga berniat mengem-balikan nama-nama daerah di Belitong kepada nama asli berbahasa setempat. Nama-nama itu selama masa orde baru dengan konyol dibahasaIndonesiakan. Proyek prestisius mereka lainnya adalah mematenkan permainan perosotan dengan pelepah pinang.
Tapi lebih dari semua itu aku rindu pada Ikal. Kasihan pria keriting yang pernah jadi tukang sortir itu. Kelelahan mencari identitas, insomnia, dan terobsesi dengan satu cinta telah membuatnya agak senewen. Kabarnya ia hengkang dari kantor pos lalu mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan. Barangkali untuk tujuan sebenarnya: membuang dirinya sendiri.
Setelah acara peluncuran buku, aku, Nur Za-man, Mahar, dan Kucai mengunjungi ibu Ikal untuk bersilaturahmi sekalian menanyakan kabar anaknya di rantau orang. Ketika bus umum yang kami tumpangi melewati pasar Tanjong Pandan, aku melihat seorang pria yang sangat gagah seperti seorang petinggi bank atau seperti petugas asuransi dariJakartayang sedang mengincar asuransi aset di provinsi baruBabel.
Pria itu bercelana panjang cokelat teduh se-nada dengan warna ikat pinggangnya. Kemejanya jatuh menarik di tubuhnya yang kurus tinggi dengan bahu bidang. Postur yang disukai para perancang mode. Sepatu pantofelnya jelas sering disemir. Rambutnya lurus pendek disisir ke belakang. Kulitnya putih bersih. Tak berlebihan, ia seperti Adrien Brody!
Sayangnya barang bawaannya sama sekali tak sesuai dengan penampilan gagahnya. Ia menenteng plastik kresek be-lanjaan, ikatan daun saledri, kangkung, kardus, dan alat-alat dapur. Ia berjalan tercepuk-cepuk mengikuti seorang ibu di depannya. Meskipun sangat repot dan kepanasan ta-pi ia berseri-seri. Aku kenal pria ganteng itu, iaTrapani. Tahun lalu aku mendengar cerita pertemuannya dengan Ikal di Zaal Batu. Ia mengalami kemajuan dan diizinkan pulang. Aku tak memberi tahu Nur Zaman, Mahar, dan Kucai. Aku memandang ibu dan anak itu berjalan beriringan sampai jauh. Air mataku mengalir. Nur Zaman, Mahar, dan Kucai tak tahu.
Aku terkenanglimabelas tahun yang lalu. Setelah tamat SMA, aku, Ikal,Trapani, dan Kucai memutuskan untuk merantau mengadu nasib ke Jawa. Hari itu kami berjanji berangkat dengan kapal barang dari Dermaga Olivir. Tapi sampai sore Trapani tak datang. Karena kapal barang hanya berangkat sebulan sekali maka terpaksa kami berangkat tanpa dia. Pada saat itu rupanyaTrapanitelah mengambil keputusan lain. la tak datang ke dermaga karena ia tak mampu meninggalkan ibunya. Setelah itu kami tak pernah mendengar kabarTrapani.
Sekarang kami duduk di beranda sebuah rumah panggung kuno khas Melayu, rumah ibu Ikal.
"Bagaimana kabarnya si Ikal itu, Ibunda?" ta-nya Mahar kepada ibu Ikal.
Ibu tua berwajah keras itu awalnya tadi sa-ngat ramah. Beliau menyatakan rindu kepada kami, namun demi mendengar pertanyaan itu beliau menatap Mahar dengan tajam.
Mahar tersenyum kecut. Wajah ibu Ikal keli-hatan kecewa berat. Beliau diam. Tangannya memegang sebilah pisau antip, mencengkeramnya dengan geram sehingga dua butir pinang terbelah dua tanpa ampun. Salah satu belahan pinang jatuh berguling dan terjerumus di antara celah lantai papan lalu diserbu ayam-ayam di bawah rumah, beliau tak sedikit pun peduli.
Si pemimpi itu pasti sudah bikin ulah lagi. Ma-har sedikit menyesal mengungkapkan pertanyaan itu.
Ibu Ikal meramu tembakau, pinang, kapur sirih, dan gambir yang bertumpuk-tumpuk di dalam kotak tembaga yang disebut keminangan. Lalu dua lembar daun sirih dibalutkan pada ramuan tadi sehingga menjadi bola kecil. Beliau menggigit bola kecil itu dengan geraham di sudut mulutnya seperti orang ingin memutuskan kawat dengan gigi, bersungut-sungut, dan bersabda dengan tegas:
"Terakhir ia mengirimiku sepucuksuratdan diselipkannya selembar foto dalam suratnya itu."
Beliau meludahkan cairan merah yang terbang melalui jendela rumah panggung sambil melilitkan jilbabnya dua kali menutupi dagunya sehingga seperti cadar. Beliau jelas sedang marah.
"Rupanya dia dan kawan-kawannya sedang mengikuti semacam festival seni mahasiswa. Wajahnya di foto itu di-coreng-moreng tak keruan tapi dia sebut itu seni?!!11
Kami menunduk tak berani berkomentar.
"Menurutnya itu seni lukis wajah, ya seni lukis wajah, apa itu... gotik! Ya gotik! Dia sebut itu seni lukis wajah gotik! Dan dia sangat bangga pada coreng-morengnya itu!"
Beliau menghampiri kami yang duduk tertunduk melingkari meja tua batu pualam. Kami pun ciut.
"Bukan main anak muda Melayu zaman seka-rang!!!"
Ibu Ikal mengepalkan tinjunya, kami ketakut-an, beliau mengacung-acungkan pisau antip, kami tak berkutik, suara beliau meninggi
"Dia sebut itu seni??? Ha! Seni!! Barangkali dia ingin tahu pendapatku tentang seninya itu!!!"
Beliau benar-benar muntab, murka tak terkira-kira. Untuk kedua kalinya beliau menyemburkan cairan merah sirih melalui jendela seperti anak-anak panah yang melesat.
"Pendapatku adalah wajahnya itu persis benar dengan wajah orang yang sama sekali tidak pernah shalat!"
Demi mendengar kata-kata itu Kucai yang te-ngah memamah biak sagon tak bisa menguasai diri. Dia berusaha keras menahan tawa tapi tak berhasil sehingga serbuk kelapa sagon terhambur ke wajah Mahar, membuat jambul pengarang berbakat itu kacau balau. Kucai berulang kali minta maaf pada ibu Ikal, bukan pada Mahar, tapi wajahnya meng-angguk-angguk takzim menghadap ke Nur Zaman.
Laskar Pelangi Adalah Novel Karya Andrea HirataTanpa Bermaksud Merugikan Sang Penulis,Cuma Sekedar Sharing Saja. Jangan Lupa Silahkan Beli Novel Karya - Karya Beliau.
0 Komentar:
Post a Comment