Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Bagian 13
Sabtu pagi-pagi bener Meva udah gedor kamer gw, ngingetin janji gw nemenin dia ke Jakarta. Saking semangatnya dia kayak lagi ngajak Perang Dunia ke 3. Dan setelah berdebat sengit selama setengah jam soal waktu keberangkatan akhirnya tepat jam tujuh gw dan Meva berangkat pake bus jurusan Priok. Berhubung mata lagi sepet-sepetnya gw tidur deh selama perjalanan, nggak peduli si Meva mau ngoceh kayak apa juga. Gw anggep radio rusak aja. Salah dia sendiri kan ngajak gw pas ngantuk-ngantuknya?!
Gw bangun gara-gara kepala gw kejedot jendela. Si Meva malah ketawa-ketawa puas liat gw sakit.
"Nggak di kosan nggak di tempat umum kerjaannya ngebooo mulu," komentarnya.
"Ngantuk Va..semalem kan gw begadang," sergah gw. Baru sadar kalo badan gw basah oleh keringat. Selain panas, busnya juga hampir penuh penumpang. Gw dan Meva kebagian di bangku ujung dekat pintu belakang. "Panas banget yak?"
"Buka aja kacanya."
Gw menggeser kaca jendela di samping gw. Bus berhenti di loket pintu tol Pondok Gede.
"Berapa lama lagi sih?" tanya gw.
"Sekitar limabelas menit ke Priok. Abis itu ganti bus yg jurusan Blok M."
"Yah masih lama donk?" gw mendesah kecewa. Akhirnya gw putuskan mencoba tidur lagi walaupun ternyata sia-sia. Panasnya bener-bener menyengat.
Dan bukan Jakarta namanya kalo nggak macet. Setengah jam setelah lewat tol Pondok Gede tadi, baru deh nyampe terminal Tanjung Priok. Gw udah kayak orang mandi aja. Kaos gw basah kuyup. Meva juga kepanasan sebenernya. Buliran peluh bercucuran membasahi bulu-bulu halus di lehernya. Tapi dia samasekali nggak mengeluh kepanasan. Nih anak kayaknya lagi semangat 45.
Butuh sejam sebelum akhirnya kami tiba di terminal blok M. Dari situ lanjut lagi pake mikrolet, nggak tau jurusan mana. Yg gw tau adalah akhirnya kami berdiri di depan sebuah rumah model kuno zaman Belanda. Di sini sejuk banget. Mungkin karena letak rumahnya yg cukup jauh dari jalan raya jadi nggak begitu kena polusi.
"Ini dia, akhirnya nyampe juga!" Meva membuka pagar besi bercat kuning yg sudah aus termakan usia. "Selamat datang di rumah gw."
Gw memandang berkeliling. Ada satu pohon besar di tengah halaman yg dipasangi ayunan di dahannya. Gw perkirakan usia ayunan itu sudah lebih dari sepuluh tahun dan sangat jarang digunakan karena tali rantainya sudah berkarat parah. Sayup-sayup terdengar lagu gambang kromong yg diputar dari dalam rumah.
"Woy, malah bengong." Meva membuyarkan lamunan gw. "Masuk yuk?"
Kami sampai di depan pintu dan sebelum Meva sempat mengetuknya pintu sudah terbuka. Seorang wanita tua berusia 60an berbaju cokelat muncul dan melempar senyum ke arah kami.
"Hay Oma," Meva memeluk neneknya.
"Kamu tambah gemuk aja Va," Oma berseru gembira.
"Masa sih? Baru juga sebulan nggak ketemu udah dibilang gemuk," Meva meraba-raba perutnya. "Emang gw gemukan ya Ri?" tanyanya ke gw.
Gw asal ngangguk aja.
"Ah enggak ah! Kalian berdua sekongkolan nih bilangin gw gemuk!" dia memprotes sendiri.
"Va..itu...?" Oma menunjuk ke gw.
"Oh...kenalin ini temen Meva, namanya Ari," dia menarik gw mendekat dan menyalami Oma nya.
"Temen kuliah?" tanya Oma.
"Bukan. Temen di kosan." Meva nyengir malu.
"Oooh," Oma menganggukkan kepala. "Ya udah masuk sini..."
Dan akhirnya gw bisa selonjoran juga. Gw duduk di sofa tua di ruang tamu sementara Meva melempar tas nya sembarangan ke sofa lalu bergegas ke dalam. Oma duduk di seberang gw. Seperti penghuninya, perabot-perabot di rumah ini terbilang tua. Kuno tepatnya. Banyak aksesoris rumah khas zaman Belanda yg dipajang di ruangan ini.
"Mau minum apa Ri?" Meva muncul dari balik tembok.
"Jus alpukat deh," jawab gw.
"Gila aja, lo kira ini kafe? Mana ada jus alpukat!"
"Kalo gitu jus melon deh."
"Nggak ada, dodol!"
"Ya udah es teh manis aja. Ada?"
Meva menggeleng.
"Adanya aer putih doank," jawabnya bodoh.
"Terus ngapain donk lo nawarin kalo nggak ada pilihannya?"
Meva cengar-cengir.
"Kan basa basi? Biar lebih akrab aja gitu.."
Gw mendengus kesal.
"Ada kopi di lemari tuh Va," kata Oma.
"Lemari mana?"
"Yg tengah tuh, samping tivi.."
Bergegas Meva kembali ke dalam. Sementara menunggu gw dan Oma ngobrol-ngobrol basa basi gitu. Tentang asal dan kerjaan gw.
"Hayoo lagi ngomongin gw yak?" kata Meva dengan pedenya yg muncul membawa segelas air dingin. Padahal kan tadi katanya ada kopi yaa??
"GR loe," jawab gw pelan.
"Kamu udah ke Mamah, Va?" tanya Oma.
"Belum. Ini baru mau ke sana, istirahat dulu bentar deh. Oiya tante mana Ma?"
"Belum dateng. Mungkin nanti sore.. Kamu mau minta duit ya?"
"Hehehe...tau aja nih si Oma. Lagian kalo bukan minta duit, ngapain lagi coba Meva ke sini?"
"Ya udah tunggu aja tante kamu dateng."
"Oke."
Kami bertiga akhirnya ngobrol-ngobrol ringan. Ditemani musik khas gambang kromong yg mengalun pelan dari kamar Oma, suasana siang itu bener-bener bikin ngantuk. Udah dasarnya ngantuk, ditambah lagi suasana mendukung, ya udah deh akhirnya gw tanpa sadar tertidur di tengah obrolan kami bertiga.....
"Ri..bangun Rii..." sebuah tepukan di pipi membuat gw terjaga.
Meva sedang berdiri di depan gw sambil satu tangannya berkacak pinggang.
"Ni anak kebonya minta ampun!" dia gelengkan kepala beberapa kali. "Nggak di kosan nggak di rumah orang, kerjaannya ngeboooo mulu!"
"Ngantuk gw Va.." gw benahi posisi duduk gw.
"Mata lo ada lem nya yak? Kayaknya gampang banget tuh mata nutup," dia lanjutkan ngomelin gw.
Gw menguap malas.
"Oma mana?" tanya gw.
"Di kamer. Lo nya nggak sopan sih ada orangtua ngajak ngobrol malah molor."
"Iya iya maap.."
Meva mencibir.
"Ya udah buruan cuci muka," lalu menarik tangan gw menuju dapur. Ada wastafel di sana. "Abis ini ke rumah nyokap gw."
"Kok nggak bareng di sini? Katanya ini rumah lo?"
"Sapa bilang? Ini rumah nenek gw."
"Tadi pas baru dateng, lo bilang kayak gitu. Ah, nevermind lah. Kita ke mana nih?"
"Grogol," jawab Meva pendek.
Selesai cuci muka kami kembali ke ruang tamu. Setelah pamitan ke Oma, gw dan Meva berangkat pake bus. Gw nggak hafal kota Jakarta jadi gw ngikut Meva aja. Selama perjalanan Meva nggak banyak ngomong. Dia lebih banyak melamun menatap keluar jendela. Tiba-tiba saja dia berubah jadi pendiam.
Dan Meva benar-benar nggak bicara sampai kami tiba di depan sebuah pintu teralis besi. Seorang wanita berseragam membuka gemboknya dan mempersilakan kami masuk. Ruangan ini terletak agak terpisah dari ruangan-ruangan lainnya.
"Dua malam yg lalu mamah kamu kumat, jadi kami pindahkan ke tempat favoritnya," kata wanita berseragam itu pada Meva.
Meva hanya membalas dengan senyuman lalu mendahului gw masuk ke ruangan. Sebuah ruangan kecil yg pengap dengan satu tempat tidur yg sangat kotor tanpa sprei. Orang waras manapun pasti enggan berada di ruangan ini.
"Mah..." Meva berjalan cepat menuju seorang wanita di sudut ruangan. "Mamah apa kabar?" dan langsung memeluknya.
Langkah gw terhenti di depan pintu. Menatap lekat-lekat wanita paro baya yg sedang dipeluk Meva. Seolah tidak peduli dengan kotor dan baunya wanita itu, Meva memeluknya penuh cinta.
Gw disuguhi pemandangan yg mengejutkan sekaligus mengharukan di depan mata gw. Seorang wanita muda, cantik dan rapi, tengah memeluk wanita yg tampak jauh lebih tua dari usia sebenarnya. Berpenampilan serba kusut, rambut panjang yg tidak pernah disisir hingga mengeras, wajah yg keriput dan berminyak serta jari-jari kasar yg hitam. Sangat kontras dengan Meva.
"Mah," lanjut Meva. "Mamah baik-baik aja kan?"
Wanita itu tetap diam. Nggak berusaha melepaskan diri dari pelukan Meva tapi juga nggak menyambutnya. Dia menatap kosong atap bangsal yg berjamur.
"Meva kangen sama Mamah..." Meva masih memeluknya erat.
Jadi, inikah dia? Wanita tua gila ini adalah mamahnya Meva? Ya, sudah jelas wanita itu gila. Gw langsung menyadari adanya keganjilan begitu Meva tadi menggandeng gw masuk melewati gerbang Rumah Sakit Jiwa ini. Tadinya gw pikir akan menemui seorang dokter wanita pengurus pasien di sini, tapi nyatanya...
Hemmmpph......napas gw seperti tertahan di kerongkongan. Bener-bener sesuatu yg nggak terduga. Gw cuma bisa terpaku, memandang Meva di sudut sana yg kini menitikkan airmata. Entah bahagia entah sedih..
"Mah, ini Meva Mah..." Meva melepas pelukannya, lalu membelai rambut wanita itu. Jelas sekali jari-jarinya yg lentik cukup kesulitan mengikuti bentuk rambut yg mengeras. "Mamah udah makan belum?"
Wanita itu akhirnya menatap Meva.
"Makan?" ucapnya pelan.
"Sebentar," Meva merogoh saku celana jeans nya dan mengeluarkan sebatang permen lolipop. "Ini permen kesukaan Mamah. Masih dingin lho, tadi Meva ambil dari kulkas di rumah."
Meva membuka bungkusnya lalu menyerahkannya ke mamahnya yg sangat antusias menerima permen dari Meva. Meva tertawa pelan. Bahagia tapi airmatanya nggak berhenti menitik.
"Mamah cantik banget hari ini," diusapnya pelan pipi wanita tua itu.
Meva menatapnya penuh sayang.
"Mamah, Meva kangen banget sama Mamah..."
Dia mengacuhkan Meva.
Hati gw mencelos. Sangat tidak bisa dibayangkan rasanya ada di posisi Meva sekarang.
"Mamah kapan pulang ke rumah? Kita bikin puding bareng lagi ya?"
Rasanya seperti bukan melihat Meva yg gw kenal. Seolah terbalik, Meva mengusapi pipi wanita itu, layaknya usapan seorang ibu pada bayinya yg baru lahir. Penuh kasih dan harapan.
"Oiya Mah, coba tebak Meva ke sini sama siapa?" Meva memandang gw dan melambaikan tangannya mengajak gw mendekat.
Gw jongkok berlutut di samping Meva.
"Kenalin Mah, ini Ari..."
Kedua mata wanita itu menatap gw tajam, dan sedetik kemudian dia berteriak histeris. Melempar gw dengan permen di tangannya lalu mulai mengoceh. Wanita berseragam yg menunggu di depan pintu berteriak memanggil dua rekannya, dan beberapa detik kemudian mereka menyergap nyokapnya Meva, menahan tendangan dan pukulan yg diarahkan sporadis ke udara. Mendadak gw jadi ngeri.
Meva langsung menggandeng gw keluar.
"Sampe ketemu lagi Mah..." ucapnya setengah berteriak mengatasi raungan nyokapnya di dalam. Dia menyeka airmatanya, lalu mendahului gw berjalan keluar...
Kalau ada yg bertanya, lagu apa yg paling berkesan dalam hidup gw, maka jawabannya adalah 'Endless Love'.
Pagi itu gw terbangun ketika matahari pagi sudah menampakkan diri di ufuk timur. Gw masih di Jakarta, dan yg pertama gw ingat pagi itu adalah Meva. Kemarin sore kami menikmati perjalanan pulang dalam kebisuan. Begitu sampai di rumah Meva langsung mengurung diri di kamarnya. Jadilah gw menghabiskan malam ngobrol bareng Oma dan Tante Ezza, tantenya Meva. Mereka bilang Meva memang selalu begitu tiap kali menjenguk mamahnya. Tapi mereka meyakinkan gw kalau Meva akan baik-baik saja.
Dan benar, pagi ini gw menemukan dia sedang duduk di ayunan di halaman depan. Dia langsung tersenyum lebar melihat gw.
"Tumben pagi-pagi kebo udah bangun," katanya menyapa dengan nada ceria.
Gw duduk di sebuah batu besar di sisi tembok, setengah meter dari tempat Meva.
"Ini udah siang kali Va," kalo nggak salah liat tadi di ruang tengah jam dinding menunjukkan jam setengah tujuh pagi.
Pagi ini cukup sejuk. Nggak nyangka juga, soalnya yg gw tau Jakarta kan terkenal panas dan polusinya. Mungkin karena di halaman ini banyak tanaman jadinya berasa adem.
"Kok sepi? Tante sama Oma kemana?" gw memandang berkeliling.
"Paling juga Oma lagi ngerajut di kamernya. Oma gw ahli lho, gw pernah dibuatin sweater rajutan tangannya waktu kecil dulu. Kalo tante, kayaknya lagi belanja di pasar."
Baru saja selesai ngomong, pintu pager terbuka dan masuklah Tante Ezza dengan membawa beberapa sayuran dalam kantong putih.
"Tante pasti mau masak makanan favorit gw kalo di rumah," Meva berkomentar menatap tantenya yg sempat melempar senyum sebelum masuk ke rumah.
"Oiya? Emang apa menu favorit lo?"
"Soto betawi. Enak banget tuh, apalagi buatan tante gw. Ntar lo coba juga deh.." Meva bercerita dengan antusias. "Terus sama keripik bayem. Buat cemilan gitu," dia tertawa pelan.
Seneng rasanya liat Meva ceria kayak gini. Kontras sekali dengan sikapnya yg kemarin. Hari ini dia terlihat sangat siap menghadapi apapun. Tapi gw tetap menahan diri untuk mulai membahas soal kemarin. Gw takut merusak mood nya.
"Lo tadi tidur di kamer mana?" tanya Meva.
"Yg di tengah tuh, yg acak-acakan gitu dalemnya."
"Hahaha... Itu dulunya kamer gw. Yah lo tau sendiri lah gw paling males soal beberes kamer."
"Udah gw duga."
Meva tertawa lagi. Bener-bener nggak nampak kesedihan yg kemarin sempat mengurungnya begitu dalam. Pagi ini cocok banget dengan keceriaan Meva. Dari dalam rumah terdengar alunan musik yg diputer Tante Ezza, menambah harmonis suasana. Yg diputer lagu-lagu lama semacem Boullevard dan First Love.
"Eh Ri, maaf ya soal kemaren.." kata Meva.
Gw tersenyum lebar.
"Enggak papa kok Va gw ngerti," ujar gw. "Nggak usah dipikirin soal gw mah."
Meva nampak diam sesaat. Dia berhenti berayun.
"Lo nggak malu kan, kenal sama cewek yg punya nyokap gila kayak gw?" tanyanya iba.
"Waduh, ngapain mesti malu? Biasa aja kali. Lo nya juga nggak usah ngerasa nggak enak gitu lah sama gw."
"Enggak Ri.. Gw cuma malu aja sama lo."
"Malu napa?"
"Yaa..malu. Temen-temen sekolah gw aja dulu sering banget tuh ngejekin dan ngerendahin gw cuma karna keadaan nyokap gw yg nggak senormal orangtua mereka..." kedua matanya menerawang jauh ke masa lalunya. "Padahal kan nyokap gw sama nyokap mereka juga sama-sama manusia? Kenapa mereka terlalu mempermasalahkan kelainan nyokap gw..."
"Yaah tiap orang punya statement berbeda soal itu. Yg jelas, gw nggak pernah mempermasalahkan itu. Gw terima semua orang apa adanya mereka, apapun latar belakang keluarganya."
"Huuh...padahal dulu nyokap gw juga normal, nggak kayak gitu.."
Sejenak angin bertiup dingin menerpa tengkuk gw.
"Sorry, jadi curhat gini.." Meva nyengir malu.
"No problem. Kalo mau cerita, silakan. Gw pendengar yg baik kok."
"Thanks. Lo emang selalu jadi pendengar yg budiman, yg rela kupingnya panas dengerin radio rusak kayak gw."
Gw tertawa. Gw hampiri Meva lalu mulai mendorong ayunannya pelan.
"Sejak kapan nyokap lo kayak gitu?" gw beranikan diri bertanya.
"Beberapa tahun setelah kita balik ke Indonesia. Nyokap gw stress berat gitu. Sempet sembuh beberapa bulan, tapi kambuh lagi. Ya sudahlah, panti rehab tempat yg cocok buat nyokap gw."
Dan CD player di dalam rumah sudah sampai di lagu Endless Love. Suara merdu Diana Ross mengalun indah.
Meva turun dari ayunan dan berdiri menghadap gw.
"Gw sayang banget nyokap gw," lanjut Meva. "Sampe kapanpun gw akan tetep sayang dia, gimanapun keadaannya. Gimanapun orang mencemooh, gw tetep bangga sama nyokap gw."
Dia tersenyum lalu memeluk gw.
"Thanks ya Ri," bisiknya pelan. "Udah jadi penyemangat hidup gw..."
Gw nggak tau mesti ngomong apa. Ya udah gw belai aja rambutnya. Meva malah nyenderin kepalanya di pundak gw. Dia kayaknya nyaman banget tuh. Dan tanpa sepatah katapun yg keluar, diam-diam gw menikmati hangatnya pelukan Meva pagi ini..
you'll be the only one..
oh no I cant deny..
this love I have inside..
and I'll give it all to you..
my love...
my endless love......
"Emh..sorry.." Meva melepas pelukannya dari gw.
"It's oke. Mau dua jam lagi juga boleh kok," canda gw.
"Dih maunya..!" dia dorong wajah gw. "Lo mah suka gitu, ngerusak suasana aja."
Gw tertawa lebar.
"Masa siih? Gw kok malah ngerasa lagi ngebangun suasana yak?"
Meva mencibir.
"Ngomong-ngomong..hari ini kayaknya cerah. Bagus nih buat jalan-jalan. Mumpung lagi di Jakarta," kata gw.
Si Meva malah ketawa.
"Lo kayak nggak pernah ke Jakarta aja," ucapnya. "Gw malahan sumpek. Makanya gw kuliah di Karawang. Enak di sana, adem dan nggak macet."
"Iya emang gw belum pernah ke sini. Ini kan yg pertama kalinya gw maen ke Jakarta, Va."
"Orang utan sih loe. Di Kalimantan maenannya ama anak monyet mulu yak?" Meva terkikih pelan.
"Yaelah jahat bener omongan lo Va.."
"Hahaha. Maap deh gitu aja sewot."
Meva duduk lagi di papan ayunan dan mulai berayun pelan.
"Eh lo kan udah maen nih ke rumah gw," ujarnya. "Ntar gantian gw donk yg ke rumah lo? Yayaya?"
"Ke rumah gw? Ngapain?"
"Ya maen-maen aja. Boleh kan?"
"Jangan. Rumah gw banyak ranjaunya."
"Ah, bisa aja ngelesnya! Pelit amat loe!"
"Bukan gitu...masalahnya jauh Va, dari sini ke rumah gw. Kudu nyebrang samudra, daki gunung, lewati jalan terjal.."
"Jiaah, pake dilebihin gitu! Ayo doonk Ri...boleh ya? Kapan nih? Kapan?" Meva keliatan semangat banget nih kayaknya.
"Kapan-kapan."
Meva cemberut. Sambil berayun dia menarik kaos gw sampe gw nyaris terjatuh. Meva malah tertawa senang liat gw terjerembab.
"Ayo, kapan donk gw diajak ke rumah lo?" cecarnya.
"Iya iya entar cari waktu yg tepat. Ke sana nggak cukup sehari dua hari tau."
"Yeeey...akhirnya!" Meva tepuk tangan. "Entar ajak gw ke tempat wisata di sana ya?"
"Iya liat entar aja."
"Eh tapi gw nggak punya duit buat ongkosnya. Lo yg bayarin yak? Yayaya?"
"Busett dah kejem bener lo Va. Udah maksa, minta diongkosin pula."
"Hehehe.." Meva nyengir lebar.
Sejenak kami diam. Gw cuma memperhatikan Meva berayun. Rambut panjangnya bergerai terbawa gerakannya. Gw baru sadar ternyata Meva mengecat cokelat rambutnya. Yg diwarnai bagian belakang dan sedikit di sampingnya jadi nggak terlalu keliatan kalo dikuncir.
"Sejak kapan lo jadi bule, Va?"
"Hmm?" Meva menyentuh rambutnya. "Barusan semalem kok pas di kamer."
Yaelaah..! Jadi semalem ngurung diri di kamer karna ngewarnain rambut?? Gw udah parno aja kemaren, takut dia kumat. Eh taunya...
"Eh semalem lo nggak ngapa-ngapain kan?" tanya gw lagi.
"Maksudnya?" Meva balik tanya.
"Yaa gw khawatir aja, keadaan kemaren bikin lo kumat."
"Oh, maksudnya 'maenan jarum' gitu?"
Gw mengangguk.
"Tenang aja lah Ri..gw udah nggak pernah ngelakuin hal bodoh itu lagi kok," dia hentikan ayunannya. Berdiri, lalu melepas stoking hitam di kakinya. "Lo liat? Bekas lukanya juga udah sembuh."
Ini kali pertamanya gw liat Meva melepas stoking yg selalu dipakainya. Terakhir gw liat ya pas pertama ketemu, waktu bekas sayatannya masih seger. Tapi sekarang, entah apa yg dipake Meva selama ini, kedua betisnya jenjang dan halus. Beda banget sama dulu.
"Liatinnya biasa aja siih," Meva menepuk pipi gw.
"Eh ngg... gw biasa aja kok! Lo nya aja yg ke GR an."
"Yaah dasar cowok."
Gw tertawa pelan.
"Pake lagi lah, gw nggak biasa liat lo telanjang kaki gitu. Kan julukan lo wanita berkaos kaki hitam? Hehehe."
Meva menuruti permintaan gw.
"Ya harus gw akuin, kadang gw pengeen banget ngelakuin itu lagi," Meva bercerita sementara gw mengernyit ngeri. "Tapi gw tahan aja deh. Gw coba alihkan pikiran gw, misalnya nyibukkin diri sendiri."
"Baguslah."
"Udah gitu aja komen loe? Kasih selamat kek."
"Huh.. Iya. Selamat ya atas keberhasilannya," lama-lama gedek juga ngobrol sama Meva.
Meva senyum lebar.
"Mau balik ke Karawang jam berapa?" tanyanya.
"Lha kok tanya ke gw? Serah lo aja deh kan lo tuan rumahnya? Asal jangan kemaleman aja. Besok gawe, mana belum diangkatin lagi jemurannya."
"Tenang aja kayaknya hari ini cerah, nggak akan ujan."
Gw mengangkat bahu.
"Ya udah jadi kita mau jalan ke mana nih hari ini?" kata gw.
"Lo beneran mau jalan? Kita ke Ancol aja, gimana?"
"Boleh tuh. Jauh nggak dari sini?"
"Jauh lah. Nanti kita berangkatnya sekalian pamit pulang, biar nggak bolak-balik."
"Oke. Gw ngikut lo aja lah."
"Oiya gw bawa kamera deh, lumayan buat kenang-kenangan. Kapan lagi kan kita ke Ancol bareng..."
Tante Eza muncul dari jendela dapur, ngasihtau sarapan udah mateng. Gw dan Meva bergegas masuk buat sarapan. Setelah mandi dan siap-siap (nggak lupa juga Meva minta duit ke tantenya), kami berdua pamit pergi sekitar jam sepuluh an.
"Duduk bentar lah gw puyeng banget," Meva duduk di pinggir jalan.
Gw tertawa mengejek.
"Baru naek sekali aja udah tepar," kata gw.
"Gw beneran puyeng niih Ri..." Meva pegangi perutnya. "Mana mual lagi."
"Huh, lo juga sih biasa maen komidi puter pake naek halilintar segala," ejek gw. Yes..ada kesempatan ngecengin ni anak.
"Minta minum dong," dia merebut plastik minuman dari tangan gw dan langsung menenggaknya.
Gw dan Meva lagi di dufan. Dateng tadi langsung ngantri giliran keliling istana boneka. Meva kayaknya seneng banget tuh liat parade boneka gitu, padahal apa bagusnya sih? Lanjut ke rumah miring. Entah apa penyebabnya kok di dalem rumah ini tubuh gw kayak berat banget yak. Tapi lumayan menantang juga, gw nyaris jatoh di dalem tadi. Abis itu ngantri lumayan panjang buat maen arung jeram. Yg ini lebih menantang juga. Cuma Meva dan empat cewek lain barengan gw pada lebay banget teriak-teriak gitu. Alhasil mulut mereka pada kemasukan air tuh. Hahaha..
Dan antrian bener-bener panjang di wahana halilintar ini. Inilah wahana sesungguhnya! (lebay yak bahasanya) Penantian ngantri satu jam lebih terbayar lunas sepuluh menit di atas kereta. Dan hebatnya, di atas tadi semua pada kompak teriak-teriak termasuk gw juga. Haha.
Emang sih puyeng juga, tapi asyik kok.
"Kita naek lagi yuk?" ajak gw ke Meva.
"Ogah! Lo nggak liat apa gw nyaris mati kek gini??" Meva protes.
"Haha.. Kasian banget lo."
"Udah ah istirahat dulu. Puyeng. Capek ngantrinya aja di sini tuh. Maennya sih bentaran doang."
"Udah jam tiga," gw melirik arloji di tangan Meva. "Abis ini balik aja ya?"
"Balik? Nggak seru ah! Masih sore."
"Besok gw kerja. Lo juga kuliah kan?"
"Hari Senin jadwalnya jam satu siang. Nyantai aja."
"Ya elo yg nyantai enak. Nah gw kan besok masuk pagi?"
"Kalo gitu tukeran aja, gw yg masuk pagi. Lo yg masuk siang. Gimana?"
Haduh, pertanyaan bodoh yg nggak perlu dijawab. Ni anak keliatan udah kepayahan banget tapi masih mau maen lagi.
"Istirahat setengah jam, abis itu cabut," tegas gw.
"Dih nggak seru lah. Gw masih pengen maen."
"Maen apa lagi? Liat deh lo udah kayak orang yg mau mati. Muka lo pucet gitu."
"Tapi gw belum mati kan?" tandasnya.
Yayaya. Okelah gw nyerah. Dia emang susah diatur kalo udah ada maunya.
"Jadi kita maen apa lagi nih?" tanya gw.
"Kita ke pantai ajah. Yuk?" Meva menarik tangan gw.
Kami berjalan keluar. Dan sekitar limabelas menit kemudian sudah sampai di sebuah pantai yg rame. Rame sama tukang jualan sebenernya. Ada kayak bazar pakean gitu, semua yg dijual bermotif Ancol. Dan beberapa penjual yg menggelar lapaknya di sisi jalan. Nggak banyak macemnya sih paling juga kacamata atau aksesoris yg temanya Ancol gitu.
Kami berdiri bersandar di sisi dermaga yg alasnya terbuat dari kayu. Bentuknya memanjang mirip jembatan. Dari sini kami bisa melihat pemandangan pantai secara leluasa. Angin bertiup lumayan kencang jadi nggak begitu panas. Selain gw dan Meva banyak juga yg nongkrong di sini.
"Ah, asyik juga ya nongkrong di sini.." kata gw.
Meva terkikih sambil menunjuk ke arah jam tiga.
"Lo liat deh, malu-maluin nggak sih?" katanya. "Kayak nggak ada tempat laen aja."
Ada sepasang kekasih yg lagi pelukan sambil ciuman. Padahal kan banyak orang di sini. Nggak malu ya mas mbak diliatin??
"Lo mau kayak mereka?" canda gw.
"Idiiih....ogah ogah!" Meva geleng-geleng kepala memberi isyarat menolak.
"Yaa sapa tau lo butuh guru privat buat belajar kissing, gw selalu siap," kata gw meyakinkan.
"Sayangnya saya tidak butuh itu. TERIMAKASIH."
"Wiidiih...berarti udah jago loe ya, nggak perlu guru lagi?"
"Bukan gitu maksud gw! Ah dodol loe."
Gw tertawa. Meva lagi khusyuk banget mandangin ombak yg bergulung tertiup angin. Beneran sejuk di sini, mata gw mulai ngantuk nih.
"Dari dulu gw pengen banget ke pantai kayak gini," ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya.
"Kenapa emangnya?"
"Nggak papa. Asyik aja, kayak bisa ngelupain beban. Seolah beban di pikiran gw kebawa pergi sama ombak.." dia merapikan rambutnya tapi lalu acak-acakan lagi kena angin.
"Gw ngerti yg lo rasain Va. Beban hidup lo emang berat kayaknya."
Meva tersenyum.
"Lebih berat dari yg pernah lo liat sebenernya," lanjutnya. "Berat baangeeet Ri."
"Be strong..." gw tepuk pundaknya pelan. "Gw yakin lo bisa lewatin ini semua."
"Thanks Ri. Ini juga berkat lo, gw bisa kuat lagi."
"Oiya? Emang apa sih yg udah gw lakukan buat lo? Ada gitu, hal besar yg pernah gw kasih ke lo? Gw pikir selama ini gw biasa aja ah."
Meva menggelengkan kepala.
"Yg lo lakukan sebenernya cuma hal kecil," katanya. "Tapi itu cukup berarti buat gw. Dalam beberapa momen lo udah ngubah hidup gw."
Gw tertawa pelan.
"Denger Va," kata gw. "Lo itu sebenernya adalah orang besar, jauh sebelum lo ketemu gw. Yg gw lakukan cuma ngebantu lo ngeluarin sisi baik yg udah ada dalem diri lo."
Meva menjawab dengan senyuman tipis. Setelah itu dia diam melamun. Asyik memandangi ombak. Selama kurang lebih satu jam kami di situ ngobrol, lalu pulang saat matahari hampir terbenam.....
Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Adalah Novel Karya Ariadi Ginting a.k.a Pujangga.Lama.
0 Komentar:
Post a Comment