Novel Laskar Pelangi Bagian 25 (Rencana B)
AKU terengah-engah basah kuyup. Syahdan memandangi aku dengan prihatin. Kami saling berpandangan lalu tertawa. Tawaku semakin keras seiring tangis di dalam hati tentu saja. Tangis karena mendapati diri sampai sakit karena dera putus cinta. Mahar telah habis-habisan menjadikan-ku kelinci percobaan. "Anak-anak jin yang ter-singgung?" Ke mana perginya akal sehatnya? Dia patut mendapat nomor 7 dalam teori gila versi ibuku. Tapi aku tahu dia sesungguhnya bermaksud baik.
Setelah Mahar, A Kiong dan daun-daun beluntasnya pergi tanpa pamit lalu datang Bu Mus dan teman-teman sekolahku yang lain. Syahdan mengadukan kelakuan Mahar, tapi Bu Mus menun-jukkan wajah tak peduli. Beliau sudah cukup lama dibuat pusing oleh Mahar dan tak berminat menam-bah beban berat hidupnya dengan memikirkan dukun palsu itu.
Beliau mengeluarkan pil ajaib APC. Besoknya aku sudah bisa berangkat ke sekolah dan aku tahu persis yang menyembuhkanku adalah pil APC. Begitu melihatku memasuki kelas A Kiong langsung menya-lami Mahar. Mahar menaikkan alisnya, mengangkat bahunya, dan mengangguk-angguk seperti burung penguin selesai kawin. Itulah gerakan khas Mahar yang sangat menyebalkan.
"Apa kubilang!" barangkali itulah maknanya.
Mahar mengelus-elus koper bututnya dan A Kiong semakin fanatik padanya. Mereka berdua tenggelam dalam kesesatan memersepsikan diri sendiri.
Rupanya fisikku memang telah sembuh tapi hatiku tidak. Pulang dari sekolah aku kembali disergap perasaan sedih. Tak mudah melupakan A Ling. Dadaku kosong karena kehilangan sekaligus sesak karena rindu. Aku terbaring kuyu di atas dipan memandangi diary dan buku Herriot kenang-kenangan darinya. Untuk mengalihkan kesedihan aku mengambil buku Seandainya Mereka Bis a Bicara itu dan dengan malas aku berusaha membacanya.
Sudah kuniatkan dalam hati bahwa jika buku itu membosankan maka setelah halaman pertama ia akan langsung kutangkupkan di wajahku karena aku ingin tidur. Lalu kata demi kata berlalu. Setelah itu kalimat demi kalimat dan dilanjutkan dengan paragraf demi paragraf. Aku tak berhenti membaca dan beberapa kali membaca paragraf yang sama berulang-ulang. Tanpa kusadari dalam waktu singkat aku telah berada di halaman 10 tanpa sedikit pun sanggup menggeser posisi tidurku. Seluruh perasaan gundah, putus asa, dan air mata rindu yang tadi sudah menggenang di pelupuk mataku diisap habis oleh lembar demi lembar buku itu.
Buku ajaib itu bercerita tentang perjuangan seorang dokter hewan muda di zaman susah tahun 30an. Dokter muda itu, Herriot sendiri, bekerja nun jauh di sebuah desa terpencil di bagian antah berantah di Inggrissana. Desa kecil itu bernama Edensor.
Mulutku ternganga dan aku menahan napas ketika Herriot menggambarkan keindahan Edensor: "Lereng-lereng bukit yang tak teratur tampak seperti berjatuhan, puncaknya seperti berguling-guling tertelan oleh langit sebelah barat, yang bentuknya seperti pita kuning dan merah tua ....
Pegunungan tinggi yang tak berbentuk itu mulai terurai menjadi bukit-bukit hijau dan lembah-lembah luas. Di dasar lembah tampak sungai yang berliku-liku di antara pepohonan. Rumah-rumah petani yang terbuat dari batu-batu yang kukuh dan berwarna kelabu tampak seperti pulau di tengah ladang yang diusahakan. Ladang itu terbentang ke atas seperti tanjung yang hijau cerah di atas lereng bukit .... Aku sampai di taman bunga mawar, kemudian ke taman asparagus, yang tumbuh jadi pohon yang tinggi. Lebih jauh ada pohon arbei dan tumbuhan frambos. Pohon buah terdapat di mana-mana. Buah persik, buah pir, buah ceri, buah prem, bergantung-an di atas tembok selatan, berebut tempat dengan bunga-bunga mawar yang tumbuh liar."
Aku terkesima pada desa kecil Edensor. Aku segera menyadari bahwa ada keindahan lain yang memukau di dunia ini selain cinta. Herriot rneng-gambarkan Edensor dengan begitu indah dan memengaruhiku sehingga ketika ia bercerita tentang jalan-jalan kecil beralaskan batu-batu bulat di luar rumah praktiknya rasanya aku dapat mencium harum bunga daffodil dan astuaria yang menjalar di sepanjang pagar peternakan di jalan itu. Ketika ia bercerita tentangpadangsabana yang terhampar di Bukit Derbyshire yang mengelilingi Edensor rasanya aku terbaring mengistirahatkan hatiku yang lelah dan wajahku menjadi dingin ditiup angin dari desa tenang dan cantik itu. Aku telah jatuh hati dengan Edensor dan menemukannya sebagai sebuah tempat dalam khayalanku setiap kali aku ingin lari dari kesedihan.
Sebaliknya aku semakin mencintai A Ling. Ia dengan bijak telah mengganti kehadirannya dengan kehadiran Edensor yang mampu melipur laraku. A Ling meninggalkan buku Herriot untukku tentu karena sebuah alasan yang jelas. Selanjutnya, aku membaca buku Herriot berulang-ulang sehingga hampir hafal. Ke mana pun aku pergi buku itu selalu kubawa dalam tas sandang bututku. Buku itu adalah representasi A Ling dan pengobat jiwaku. Jika aku merasa risau dan sedih maka aku segera mengalihkan pikiranku dengan membayangkan aku sedang duduk di bangku rendah di tengah taman anggur di Edensor. Kumbang-kumbang berdengung huh rendah, mataku menatap lembut Pegunungan Pennines yang biru di Derbyshire dan angin lembah yang sejuk mengembus wajahku, menguapkan semua kepedihan, resah, dan kesulitan hidupku di sudut kampung kumuh panas di Belitong ini. Aneh memang, jikaTrapaniseluruh hidupnya seolah dipengaruhi oleh lagu Wajib Be/ajar maka kini seluruh hidupku terinspirasi oleh buku Seandainya Mereka Bisa Bicara, terutama oleh Desa Edensor yang ada di buku itu. Jika beban hidup demikian memuncak rasanya aku ingin sekali berada di Edensor. Punguk merindukan bulan tentu saja. Mana mungkin anak Melayu miskin nun di Pulau Belitongsanamengangankan berada di sebuah tempat di Inggris. Bermimpi pun tak pantas.
Sebaliknya, karena Edensor aku segera merasa pulih jiwa dan raga. Edensor memberiku alternative guna memecah penghalang mental agar tak stres berkepanjangan karena terus-terusan terpaku pada perasaan patah hati. A Ling telah memberi racun cinta sekaligus penawarnya. Aku mulai tegar meskipun tak 'kanada lagi Michele Yeoh. Aku siap menyesuaikan diri dengan kenyataan baru. Aku sudah ikhlas meninggalkan cetak biru kehidupan indahasmarapertamaku yang bertaburan wangi bunga dalam ritual rutin pembelian kapur tulis.
Inilah asyiknya menjadi anak kecil. Patah hati karena cinta yang telah berlangsung sekian tahunlimatahun! bisa pulih dalam waktu tiga hari dan disembuhkan oleh sebuah desa bernama Edensor di tempat antah berantah di Inggrissanadan hanya diceritakan melalui sebuah buku, ajaib.
Sedangkan orang dewasa bisa-bisa memerlu-kan waktu tiga tahun untuk mengobati frustrasi
karena hancurnya cinta platonik tiga minggu. Apakah semakin dewasa manusia cenderung menjadi semakin tidak positif? Aku belajar berjiwa besar, berusaha memahami esensi konsep virtual dan fisik dalam hubungan emosional. Bukankah jika mencintai seseorang kita harus membiarkan ia bebas? Apabila hal semacam ini dialami oleh seorang dewasa mungkin ia tak mau lagi melihat kapur tulis seumur hidupnya.
Kini aku akan mengenang A Ling sebagai bagi-an terindah dalam hidupku. Aku tetap rajin, dengan naluri cinta yang sama, dengan semangat yang sama, berangkat dengan Syahdan setiap Senin pagi untuk membeli kapur, meskipun sekarang aku disambut oleh sebilah tangan beruang dan kuku-k uku burung nazar pemakan bangkai. Setiap membeli kapur aku tetap mengikuti prosedur yang sama dan menikmati kronologi perasaanku di tengah kepe-ngapan Toko Sinar Harapan. Aku menyimulasikan urutan-urutan sensasi keindahan cinta pertama seolah A Ling masih menungguku di balik tirai-tirai rapat yang terbuat dari keong-keong kecil itu.
Sering kali sekarang aku bertanya pada diri sendiri: berapakah jumlah pasangan yang telah mengalami cinta pertama, lalu hanya memiliki satu cinta itu dalam hidupnya, menikah, dan kemudian hanya terpisahkan karena Tuhan memanggil salah satu dari mereka? Sedikit sekali! Atau malah mungkin tidak ada! Sepertinya kedua jawaban tersebut bisa menjadi hipotesis yang meyakinkan untuk pertanyaan dangkal semacam itu. Karena itulah yang umumnya terjadi dalam dunia nyata.
Maka aku memiliki pandangan sendiri mengenai perkara cinta pertama ini, yaitu cinta pertama memang tak 'kanpernah mati, tapi ia juga tak 'kanpernah survive. Selain itu aku telah menarik pelajaran moral nomor enam dari pengalaman cinta pertamaku yaitu: jika Anda memiliki kesempatan mendapatkan cinta pertama di sebuah toko kelontong, meskipun toko itu bobrok dan bau tengik, maka rebutlah cepat-cepat kesempatan itu, karena cinta pertama semacam itu bisa menjadi demikian indah tak terperikan!
Aku melihat ke belakang, membuat evaluasi kemajuan hidupku, dan bersyukur telah mengenal A Ling. Jika berpikir positif, ternyata mengenal sese-orang secara emosional memberikan akses pada sebuah bank data kepribadian tempat kita dapat belajar banyak hal baru. Hal-hal baru itu bagiku pada intinya satu: wanita adalah makhluk yang tak mudah diduga. Maka banyak orang berpikir keras mengurai sifat-sifat rahasia wanita, Paul I. Wellman misalnya dengan tesis Dewi Aphroditenya. Ia menggambarkan wanita sebagai makhluk yang di dalam dirinya berkecamuk pertentangan-perten-tangan, mengandung pergolakan abadi, sopan tapi berlagak, sentimental sekaligus bengis, beradab namun ganas.
Bagiku, aku masih tak mengerti wanita, namun sepertinya ada semacam komposisi kimiawi tertentu di dalam tubuh mereka yang menyebabkan lelaki dengan komposisi kimiawi tertentu pula merasa betah di dekatnya. Maka cinta adalah reaksi kimia sehingga keanehan dapat terjadi, se-orang pangeran tampan kaya raya bisa saja ditolak oleh se-orang gadis penjaga pintu tol, dan seorang wanita public relation officer di sebuah BUMN yang sangat luas pergaulannya bisa saja tergila-gila setengah mati dengan seorang laki-laki penyendiri yang eksentrik. Itulah wanita, maka siapa pun ia, seorang dewi agung dalam mitologi Yunani atau sekadar seorang penjaga toko kelontong bobrok di Belitong, masing-masing menyimpan rahasia untuk dirinya sendiri, rahasia yang tak 'kanpernah diketahui siapa pun.
Wanita seperti apakah A Ling? Inilah yang pa-ling menarik dari kisah cinta monyet ini. Setelah berpisah dengannya, aku baru mengerti tipe semacam ini. Ia bukanlah pribadi mekanis yang mengungkapkan perasaan secara eksplisit. Ia memiliki pendirian yang kuat dan amat percaya diri. Ia model wanita yang memegang pertanggung jawaban pada setiap gabungan huruf-huruf yang meluncur dari mulutnya. Dan ini menimbulkan respek karena aku tahu banyak orang harus berulang-ulang meyakinkan dirinya sendiri dan pasangannya dengan kata-kata basi berbusa-busa, bahwa mereka masih saling mencintai, sungguh mengibakan! A Ling tak ingin menghabiskan waktu berurusan dengan pola respons aksi reaksi cinta picisan yang klise, retoris, dan membosankan.
Aku belajar berjiwa besar atas seluruh kejadi-an dengan A Ling. Sekarang aku memiliki cinta yang baru dalam tas bututku: Edensor. Sudah selama 115 jam, 37 menit, 12 detik aku kehilangan A Ling dan saat ini kuputuskan untuk berhenti mengiba-iba mengenang cinta pertama itu.
Akhirnya, aku mampu melangkah menyeberangi garis ujian tabiat mengasihani diri dan sekarang aku berada di wilayah positif dalam menilai pengala-manku. Aku mulai bangkit untuk menata diri. Aku mempelajari metode-metode ilmiah modern agar dapat bangkit dari keterpurukan. Aku rajin membaca berbagai buku kiat-kiat sukses, pergaulan yang efektif, cara cepat menjadi kaya, langkah-langkah menjadi pribadi magnetik, dan bunga rampai manajemen pengembangan pribadi.
Aku berhenti membuat rencana-rencana yang tidak realistis. Filosofi just do it, itulah prinsipku sekarang, lagi pula bukankah John Lennon mengatakan life is what happens to us while we are busy making plans1. Sesuai saran buku-buku psikologi praktis yang mutakhir itu aku mulai menginventarisasi bidang minat, bakat, dan kemampuanku. Dan aku tak pernah ragu akan jawabannya yaitu: aku paling piawai bermain bulu tangkis dan aku punya minat sangat besar dalam bidang tulis-menulis.
Kesimpulan itu kuperoleh karena aku selalu menjadi juara pertama pertandingan bulu tangkis kelurahan U 19 dan pialanya berderet-deret di rumahku. Piala itu demikian banyak sampai ada yang dipakai ibuku untuk pemberat tumpukan cucian, ganjal pintu, dan penahan dinding kandang ayam.Adajuga piala yang dipakai menjadi sema-cam palu untuk memecahkan buah kemiri, dan sebuah piala berbentuk panjang bergerigi dari pertandingan terakhir sering dimanfaatkan ayahku untuk menggaruk punggungnya yang gatal.
Lawan-lawanku selalu kukalahkan dengan skor di bawah setengah. Kasihan mereka, meskipun telah berlatih mati-matian berbulan-bulan dan setiap pagi makan telur setengah masak dicampur jadam dan madu pahit, tapi mereka selalu tak berkutik di depanku. Kadang-kadang aku beraksi dengan mela-kukan drop shot sambil salto dua kali atau menangkis sebuah smash sambil koprol. Jika aku sedang ingin, aku juga biasa melakukan semacam pukulan straight dari celah-celah kedua selang-kangku dengan posisi membelakangi lawan, tak jarang aku melakukan itu dengan tangan kiri!
Lawan yang tak kuat mentalnya melihat ulah-ku akan emosi dan jika ia terpancing marah maka pada detik itulah ia telah kalah.Parapenonton bergemuruh melihat hiburan di lapangan bulu tangkis. Jika aku bertanding maka pasar menjadi sepi, warung-warung kopi tutup, sekolah-sekolah memulangkan murid-muridnya lebih awal, dan kuli-kuli PN membolos. "Si kancil keriting", demikianlah mereka menjulukiku. Lapangan bulu tangkis di samping kantor desa membludak. Mereka yang tak kebagian tempat berdiri di pinggir lapangan sampai naik ke pohon-pohon kelapa di sekitarnya.
Kukira semua fakta itu lebih dari cukup bagiku untuk menyebut bulu tangkis sebagai potensi seperti dinyatakan dalam buku-buku pengembangan diri itu. Dan minat besar lainnya adalah menulis. Tapi memang tak banyak bukti yang mengonfirmasi potensiku di bidang ini, kecuali komentar A Kiong bahwasuratdan puisiku untuk A Ling sering membuatnya tertawa geli. Tak tahu apa artinya, bagus atau sebaliknya.
Maka aku mulai mengonsentrasikan diri untuk mengasah kemampuan kedua bidang ini. Seperti juga disarankan oleh buku-buku ilmiah itu maka aku membuat program yang jelas, terfokus, dan memantau dengan teliti kemajuanku. Buku itu juga menyarankan agar setiap individu membuat semacam rencana A dan rencana B.
Rencana A adalah mengerahkan segenap sum-ber daya untuk mengembangkan minat dan kemampuan pada kemampuan utama atau dalam bahasa bukunya core competency, dalam kasusku berarti bulu tangkis dan menulis. Setelah tahap pengembangan itu selesai lalu bergerak pelan tapi pasti menuju tahap profesionalisme dan tahap aktualisasi diri, yaitu muncul menggebrak secara memesona di hadapan publik sebagai yang terbaik. Kemudian akhir dari semua usaha sistematis ilmiah dan terencana itu adalah mendapat pengakuan kejayaan prestasi, menjadi orang tenar atau sele-briti, hidup tenang, sehat walafiat, bahagia, dan kaya raya. Sebuah rencana yang sangat indah. Setiap kali membaca rencana Aku aku mengalami kesulitan untuk tidur.
Demikianlah, rencana A sesungguhnya adalah apa yang orang sebut sebagai kata-kata ajaib mandraguna: cita-cita. Dan aku senang sekali memiliki cita-cita atau arah masa depan yang sangat jelas, yaitu: menjadi pemain bulu tangkis yang berprestasi dan menjadi penulis berbobot. Jika mungkin sekaligus kedua-duanya, jika tidak mungkin salah satunya saja, dan jika tidak tercapai kedua-duanya, jadi apa saja asal jangan jadi pegawai pos.
Cita-cita ini adalah kutub magnet yang menggerakkan jarum kompas di dalam kepalaku dan membimbing hidupku secara meyakinkan. Setelah selesai merumuskan masa depanku itu sejenak aku merasa menjadi manusia yang agak berguna.
Jika aku menengok sahabat sekelasku mereka juga ternyata memiliki cita-cita yang istimewa.Saharamisalnya, ia ingin mejadi pejuang hak-hak asasi wanita. Dia mendapat inspirasi cita-citanya itu dari penindasan luar biasa terhadap wanita yang dilihatnya di film-filmIndia. A Kiong ingin menjadi kapten kapal, mungkin karena ia senang berpergian atau mungkin topi kapten kapal yang besar dapat menutupi sebagian kepala kalengnya itu. Kucai menyadari bahwa dirinya memiliki sedikit banyak kualitas sebagai seorang politisi yaitu bermulut besar, berotak tumpul, pendebat yang kompulsif, populis, sedikit licik, dan tak tahu malu, maka cita-citanya sangat jelas: ia ingin jadi seorang wakil rakyat, anggota dewan.
Tak ada angin tak ada hujan, tanpa ragu dan malu-malu, Syahdan ingin menjadi aktor. Ia sedikit pun tidak menunjukkan kapasitas atau bakat akting, bahkan dalam pertunjukan teater kelas kami Syahdan tidak bisa memba-wakan peran apa pun yang mengandung dialog karena ia selalu membuat kesalahan. Karena itu Mahar memberinya peran sederhana sebagai tukang kipas putri raja yang selama pertunjukan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tugasnya hanya mengipas-ngipasi sang putri dengan benda semacam ekor burung merak, itu pun masih sering tak becus ia lakukan. Semua orang menyarankan agar Syahdan meninjau kembali cita-citanya tapi ia bergeming. Ia tak peduli dengan segala cemoohan, ia ingin menjadi aktor, tak bisa diganggu gugat.
"Cita-cita adalah doa, Dan," begitulah nasihat bijak dariSahara. "Kalau Tuhan mengabulkan doamu, dapatkah kaubayangkan apa jadinya dunia perfilmanIndonesia?"
Sedangkan Mahar sendiri mengaku bahwa ia mampu menerawang masa depannya. Dan dalam terawangannya itu ia dengan yakin mengatakan bahwa setelah dewasa ia akan menjadi seorang sutradara sekaligus seorang penasihat spiritual dan hypno therapis 1 1 e rn a m a.
Cita-cita yang paling sederhana adalah milik Samson. Ia memang sangat pesimis dan hanya ingin menjadi tukang sobek karcis sekaligus sekuriti di Bioskop Kicong karena ia bisa dengan gratis menonton film. Ia memang hobi menonton film. Selain itu profesi tersebut dapat memelihara citra machonya. Adapun Trapani yang baik dan tampan ingin menjadi guru. Ketika kami tanyakan kepada Harun apa cita-citanya ia menjawab kalau besar nanti ia ingin menjadiTrapani.
Semua ini gara-gara Lintang. Kalau tak ada Lintang mungkin kami tak 'kanberani bercita-cita. Vang ada di kepala kami, dan di kepala setiap anak kampung di Belitong adalah jika selesai sekolah lanjutan pertama atau menengah atas kami akan mendaftar menjadi tenaga langkong (calon karya-wan rendahan di PN Timah) dan akan bekerja bertahun-tahun sebagai buruh tambang lalu pensiun sebagai kuli. Namun, Lintang memperlihatkan sebuah kemampuan luar biasa yang menyihir kepercayaan diri kami. Ia membuka wawasan kami untuk melihat kemungkinan menjadi orang lain meskipun kami dipenuhi keterbatasan. Lintang sendiri bercita-cita menjadi seorang matemati-kawan. Jika ini tercapai ia akan menjadi orang Melayu pertama yang menjadi matematikawan, indah sekali.
Pribadi yang positif, menurut buku, tidak boleh hanya memiliki satu rencana, tapi harus memiliki rencana alternatif yang disebut dengan istilah yang sangat susah diucapkan, yaitu contingency plan1. Rencana alternatif itu disebut juga rencana B. Rencana B tentu saja dibuat jika rencana A gagal. Prosedurnya sederhana yakni: lupakan, tinggalkan, dan buang jauh-jauh rencana A dan mulailah mencari minat dan kemampuan baru, setelah ditemukan maka ikuti lagi prosedur seperti rencana A. Inilah buku resep kehidupan yang bukan main hebatnya hasil karya para pakar psikologi praktis yang bersekongkol dengan para praktisi sumber daya manusia dan penerbit buku tentu saja.
Seorang pribadi yang efektif dan efisien harus sudah memiliki rencana A dan rencana B sebelum ia keluar dari pekarangan rumahnya. Tapi aku tak tahan membayangkan rencana B dalam hidupku karena selain bulu tangkis dan menulis aku tak punya kemampuan lain. Sebenarnya ada tapi sungguh tak bisa dipertanggungjawabkan, yaitu kemampuan mengkhayal dan bermimpi, aku agak malu mengakui ini. Aku tak punya kecerdasan seperti Lintang dan tak punya bakat seni seperti Mahar. Aku berpikir keras untuk memformulasikan rencana B. Namun sangat berun-tung, setelah berminggu-minggu melakukan perenungan akhir-nya tanpa disengaja aku mendapat inspirasi untuk me-rumuskan sebuah rencana B yang hebat luar biasa.
Rencana B ku ini sangat istimewa karena aku tidak perlu meninggalkan rencana A. Para pakar sendiri mungkin belum pernah berpikir sejauh ini. Rencana B-ku sifatnya menggabungkan minat dan kemampuan yang ada pada rencana A. Intinya jika aku gagal meniti karier di bidang bulu tangkis dan tak berhasil sebagai penulis sehingga semua penerbit hanya sudi menerima tulisanku untuk dijual menjadi kertas kiloan, maka aku akan menempuh rencana B yaitu: aku akan menulis tentang bulu tangkis!
Aku menghabiskan sekian banyak waktu untuk membuat rencana B ini agar sebaik rencana A, yaitu sampai tahap-tahap yang paling teknis dan operasional. Oleh karena itu, aku telah punya ancang-ancang judul bukuku, seluruhnya ada tiga yaituTATA CARA BERMAIN BULU TANGKIS, FAEDAH BULU TANGKIS, atauBULU TANGKIS UNTUK PERGAULAN.
Rencana B ini kuanggap sangat rasional karena aku telah melihat bagaimana pengaruh bulu tangkis pada orang-orang Melayu pedalaman. Jika musim Thomas Cup atau All England maka di kampung kami bulu tangkis bukan hanya sekadar olahraga tapi ia menjadi semacam budaya, semacam jalan hidup, seperti sepak bola bagi rakyat Brasil. Pada musim itu ilalang tanah-tanah kosong dibabat, pohon-pohon pinang ditumbangkan untuk dibelah dan dijadikan garis lapangan bulu tangkis, dan gengsi kampung dipertaruhkan habis-habisan dalam pertandingan antardusun. Jika malam tiba kampung menjelma menjadi semarak karena lampu petromaks menerangi arena-arena bulu tangkis dan teriakan para penonton yang gegap gempita. Di sisi lain aku percaya bahwa ratusan kaum pria yang tergila-gila pada bulu tangkis lalu pulang ke rumah kelelahan akan mengalihkan mereka dari rutinas malam sehingga dapat menekan angka kelahiran anak-anak Melayu. Sungguh besar manfaat bulu tangkis bagi kampung kami yang minim hiburan. Fenomena ini meyakinkanku bahwa tulisanku tentang bulu tangkis akan mencapai suatu kedalaman dan kategori yang disebut para sastrawan pintar zaman sekarang sebagai buku dalam genre humaniora!
Buku itu akan ditulis setelah melalui riset yang serius dan melibatkan studi literatur serta wawancara yang luas. Jika beruntung aku akan mengusahakan agar mendapat semacam kata pengantar sekapur sirih dari Ferry Sonneville dan dengan sedikit kerja sama dengan penerbit aku sudah mengkhayalkan akan mendapat banyak komentar berisi pujian dari para pakar di sampul belakang buku itu.
Misalnya Liem Swie King, ia akan berkomentar, "Ini adalah sebuah buku yang sangat bermanfaat untuk meningkatkan kepercayaan diri, membangun network, dan menambah kawan."
Komentar Lius Pongoh agak lebih singkat: "Sebuah buku yang memberi pencerahan."
Seorang birokrat dari komite olah raga me-nyumbangkan pujian yang filosofis: "Belum pernah ada buku olahraga ditulis seperti ini, penulisnya sangat memahami makna men sana incorpore sano."
Demikian pula pujian seorang seksolog yang gemar bermain bulu tangkis: "Buku wajib bagi Anda yang memiliki kelebihan berat badan dan kesulitan membina hubungan."
Rudy Hartono memuji habis-habisan: "Sebuah buku yang menggetarkan!"
Sedangkan komentar dari Ivana Lie adalah…
Setelah Mahar, A Kiong dan daun-daun beluntasnya pergi tanpa pamit lalu datang Bu Mus dan teman-teman sekolahku yang lain. Syahdan mengadukan kelakuan Mahar, tapi Bu Mus menun-jukkan wajah tak peduli. Beliau sudah cukup lama dibuat pusing oleh Mahar dan tak berminat menam-bah beban berat hidupnya dengan memikirkan dukun palsu itu.
Beliau mengeluarkan pil ajaib APC. Besoknya aku sudah bisa berangkat ke sekolah dan aku tahu persis yang menyembuhkanku adalah pil APC. Begitu melihatku memasuki kelas A Kiong langsung menya-lami Mahar. Mahar menaikkan alisnya, mengangkat bahunya, dan mengangguk-angguk seperti burung penguin selesai kawin. Itulah gerakan khas Mahar yang sangat menyebalkan.
"Apa kubilang!" barangkali itulah maknanya.
Mahar mengelus-elus koper bututnya dan A Kiong semakin fanatik padanya. Mereka berdua tenggelam dalam kesesatan memersepsikan diri sendiri.
Rupanya fisikku memang telah sembuh tapi hatiku tidak. Pulang dari sekolah aku kembali disergap perasaan sedih. Tak mudah melupakan A Ling. Dadaku kosong karena kehilangan sekaligus sesak karena rindu. Aku terbaring kuyu di atas dipan memandangi diary dan buku Herriot kenang-kenangan darinya. Untuk mengalihkan kesedihan aku mengambil buku Seandainya Mereka Bis a Bicara itu dan dengan malas aku berusaha membacanya.
Sudah kuniatkan dalam hati bahwa jika buku itu membosankan maka setelah halaman pertama ia akan langsung kutangkupkan di wajahku karena aku ingin tidur. Lalu kata demi kata berlalu. Setelah itu kalimat demi kalimat dan dilanjutkan dengan paragraf demi paragraf. Aku tak berhenti membaca dan beberapa kali membaca paragraf yang sama berulang-ulang. Tanpa kusadari dalam waktu singkat aku telah berada di halaman 10 tanpa sedikit pun sanggup menggeser posisi tidurku. Seluruh perasaan gundah, putus asa, dan air mata rindu yang tadi sudah menggenang di pelupuk mataku diisap habis oleh lembar demi lembar buku itu.
Buku ajaib itu bercerita tentang perjuangan seorang dokter hewan muda di zaman susah tahun 30an. Dokter muda itu, Herriot sendiri, bekerja nun jauh di sebuah desa terpencil di bagian antah berantah di Inggrissana. Desa kecil itu bernama Edensor.
Mulutku ternganga dan aku menahan napas ketika Herriot menggambarkan keindahan Edensor: "Lereng-lereng bukit yang tak teratur tampak seperti berjatuhan, puncaknya seperti berguling-guling tertelan oleh langit sebelah barat, yang bentuknya seperti pita kuning dan merah tua ....
Pegunungan tinggi yang tak berbentuk itu mulai terurai menjadi bukit-bukit hijau dan lembah-lembah luas. Di dasar lembah tampak sungai yang berliku-liku di antara pepohonan. Rumah-rumah petani yang terbuat dari batu-batu yang kukuh dan berwarna kelabu tampak seperti pulau di tengah ladang yang diusahakan. Ladang itu terbentang ke atas seperti tanjung yang hijau cerah di atas lereng bukit .... Aku sampai di taman bunga mawar, kemudian ke taman asparagus, yang tumbuh jadi pohon yang tinggi. Lebih jauh ada pohon arbei dan tumbuhan frambos. Pohon buah terdapat di mana-mana. Buah persik, buah pir, buah ceri, buah prem, bergantung-an di atas tembok selatan, berebut tempat dengan bunga-bunga mawar yang tumbuh liar."
Aku terkesima pada desa kecil Edensor. Aku segera menyadari bahwa ada keindahan lain yang memukau di dunia ini selain cinta. Herriot rneng-gambarkan Edensor dengan begitu indah dan memengaruhiku sehingga ketika ia bercerita tentang jalan-jalan kecil beralaskan batu-batu bulat di luar rumah praktiknya rasanya aku dapat mencium harum bunga daffodil dan astuaria yang menjalar di sepanjang pagar peternakan di jalan itu. Ketika ia bercerita tentangpadangsabana yang terhampar di Bukit Derbyshire yang mengelilingi Edensor rasanya aku terbaring mengistirahatkan hatiku yang lelah dan wajahku menjadi dingin ditiup angin dari desa tenang dan cantik itu. Aku telah jatuh hati dengan Edensor dan menemukannya sebagai sebuah tempat dalam khayalanku setiap kali aku ingin lari dari kesedihan.
Sebaliknya aku semakin mencintai A Ling. Ia dengan bijak telah mengganti kehadirannya dengan kehadiran Edensor yang mampu melipur laraku. A Ling meninggalkan buku Herriot untukku tentu karena sebuah alasan yang jelas. Selanjutnya, aku membaca buku Herriot berulang-ulang sehingga hampir hafal. Ke mana pun aku pergi buku itu selalu kubawa dalam tas sandang bututku. Buku itu adalah representasi A Ling dan pengobat jiwaku. Jika aku merasa risau dan sedih maka aku segera mengalihkan pikiranku dengan membayangkan aku sedang duduk di bangku rendah di tengah taman anggur di Edensor. Kumbang-kumbang berdengung huh rendah, mataku menatap lembut Pegunungan Pennines yang biru di Derbyshire dan angin lembah yang sejuk mengembus wajahku, menguapkan semua kepedihan, resah, dan kesulitan hidupku di sudut kampung kumuh panas di Belitong ini. Aneh memang, jikaTrapaniseluruh hidupnya seolah dipengaruhi oleh lagu Wajib Be/ajar maka kini seluruh hidupku terinspirasi oleh buku Seandainya Mereka Bisa Bicara, terutama oleh Desa Edensor yang ada di buku itu. Jika beban hidup demikian memuncak rasanya aku ingin sekali berada di Edensor. Punguk merindukan bulan tentu saja. Mana mungkin anak Melayu miskin nun di Pulau Belitongsanamengangankan berada di sebuah tempat di Inggris. Bermimpi pun tak pantas.
Sebaliknya, karena Edensor aku segera merasa pulih jiwa dan raga. Edensor memberiku alternative guna memecah penghalang mental agar tak stres berkepanjangan karena terus-terusan terpaku pada perasaan patah hati. A Ling telah memberi racun cinta sekaligus penawarnya. Aku mulai tegar meskipun tak 'kanada lagi Michele Yeoh. Aku siap menyesuaikan diri dengan kenyataan baru. Aku sudah ikhlas meninggalkan cetak biru kehidupan indahasmarapertamaku yang bertaburan wangi bunga dalam ritual rutin pembelian kapur tulis.
Inilah asyiknya menjadi anak kecil. Patah hati karena cinta yang telah berlangsung sekian tahunlimatahun! bisa pulih dalam waktu tiga hari dan disembuhkan oleh sebuah desa bernama Edensor di tempat antah berantah di Inggrissanadan hanya diceritakan melalui sebuah buku, ajaib.
Sedangkan orang dewasa bisa-bisa memerlu-kan waktu tiga tahun untuk mengobati frustrasi
karena hancurnya cinta platonik tiga minggu. Apakah semakin dewasa manusia cenderung menjadi semakin tidak positif? Aku belajar berjiwa besar, berusaha memahami esensi konsep virtual dan fisik dalam hubungan emosional. Bukankah jika mencintai seseorang kita harus membiarkan ia bebas? Apabila hal semacam ini dialami oleh seorang dewasa mungkin ia tak mau lagi melihat kapur tulis seumur hidupnya.
Kini aku akan mengenang A Ling sebagai bagi-an terindah dalam hidupku. Aku tetap rajin, dengan naluri cinta yang sama, dengan semangat yang sama, berangkat dengan Syahdan setiap Senin pagi untuk membeli kapur, meskipun sekarang aku disambut oleh sebilah tangan beruang dan kuku-k uku burung nazar pemakan bangkai. Setiap membeli kapur aku tetap mengikuti prosedur yang sama dan menikmati kronologi perasaanku di tengah kepe-ngapan Toko Sinar Harapan. Aku menyimulasikan urutan-urutan sensasi keindahan cinta pertama seolah A Ling masih menungguku di balik tirai-tirai rapat yang terbuat dari keong-keong kecil itu.
Sering kali sekarang aku bertanya pada diri sendiri: berapakah jumlah pasangan yang telah mengalami cinta pertama, lalu hanya memiliki satu cinta itu dalam hidupnya, menikah, dan kemudian hanya terpisahkan karena Tuhan memanggil salah satu dari mereka? Sedikit sekali! Atau malah mungkin tidak ada! Sepertinya kedua jawaban tersebut bisa menjadi hipotesis yang meyakinkan untuk pertanyaan dangkal semacam itu. Karena itulah yang umumnya terjadi dalam dunia nyata.
Maka aku memiliki pandangan sendiri mengenai perkara cinta pertama ini, yaitu cinta pertama memang tak 'kanpernah mati, tapi ia juga tak 'kanpernah survive. Selain itu aku telah menarik pelajaran moral nomor enam dari pengalaman cinta pertamaku yaitu: jika Anda memiliki kesempatan mendapatkan cinta pertama di sebuah toko kelontong, meskipun toko itu bobrok dan bau tengik, maka rebutlah cepat-cepat kesempatan itu, karena cinta pertama semacam itu bisa menjadi demikian indah tak terperikan!
Aku melihat ke belakang, membuat evaluasi kemajuan hidupku, dan bersyukur telah mengenal A Ling. Jika berpikir positif, ternyata mengenal sese-orang secara emosional memberikan akses pada sebuah bank data kepribadian tempat kita dapat belajar banyak hal baru. Hal-hal baru itu bagiku pada intinya satu: wanita adalah makhluk yang tak mudah diduga. Maka banyak orang berpikir keras mengurai sifat-sifat rahasia wanita, Paul I. Wellman misalnya dengan tesis Dewi Aphroditenya. Ia menggambarkan wanita sebagai makhluk yang di dalam dirinya berkecamuk pertentangan-perten-tangan, mengandung pergolakan abadi, sopan tapi berlagak, sentimental sekaligus bengis, beradab namun ganas.
Bagiku, aku masih tak mengerti wanita, namun sepertinya ada semacam komposisi kimiawi tertentu di dalam tubuh mereka yang menyebabkan lelaki dengan komposisi kimiawi tertentu pula merasa betah di dekatnya. Maka cinta adalah reaksi kimia sehingga keanehan dapat terjadi, se-orang pangeran tampan kaya raya bisa saja ditolak oleh se-orang gadis penjaga pintu tol, dan seorang wanita public relation officer di sebuah BUMN yang sangat luas pergaulannya bisa saja tergila-gila setengah mati dengan seorang laki-laki penyendiri yang eksentrik. Itulah wanita, maka siapa pun ia, seorang dewi agung dalam mitologi Yunani atau sekadar seorang penjaga toko kelontong bobrok di Belitong, masing-masing menyimpan rahasia untuk dirinya sendiri, rahasia yang tak 'kanpernah diketahui siapa pun.
Wanita seperti apakah A Ling? Inilah yang pa-ling menarik dari kisah cinta monyet ini. Setelah berpisah dengannya, aku baru mengerti tipe semacam ini. Ia bukanlah pribadi mekanis yang mengungkapkan perasaan secara eksplisit. Ia memiliki pendirian yang kuat dan amat percaya diri. Ia model wanita yang memegang pertanggung jawaban pada setiap gabungan huruf-huruf yang meluncur dari mulutnya. Dan ini menimbulkan respek karena aku tahu banyak orang harus berulang-ulang meyakinkan dirinya sendiri dan pasangannya dengan kata-kata basi berbusa-busa, bahwa mereka masih saling mencintai, sungguh mengibakan! A Ling tak ingin menghabiskan waktu berurusan dengan pola respons aksi reaksi cinta picisan yang klise, retoris, dan membosankan.
Aku belajar berjiwa besar atas seluruh kejadi-an dengan A Ling. Sekarang aku memiliki cinta yang baru dalam tas bututku: Edensor. Sudah selama 115 jam, 37 menit, 12 detik aku kehilangan A Ling dan saat ini kuputuskan untuk berhenti mengiba-iba mengenang cinta pertama itu.
Akhirnya, aku mampu melangkah menyeberangi garis ujian tabiat mengasihani diri dan sekarang aku berada di wilayah positif dalam menilai pengala-manku. Aku mulai bangkit untuk menata diri. Aku mempelajari metode-metode ilmiah modern agar dapat bangkit dari keterpurukan. Aku rajin membaca berbagai buku kiat-kiat sukses, pergaulan yang efektif, cara cepat menjadi kaya, langkah-langkah menjadi pribadi magnetik, dan bunga rampai manajemen pengembangan pribadi.
Aku berhenti membuat rencana-rencana yang tidak realistis. Filosofi just do it, itulah prinsipku sekarang, lagi pula bukankah John Lennon mengatakan life is what happens to us while we are busy making plans1. Sesuai saran buku-buku psikologi praktis yang mutakhir itu aku mulai menginventarisasi bidang minat, bakat, dan kemampuanku. Dan aku tak pernah ragu akan jawabannya yaitu: aku paling piawai bermain bulu tangkis dan aku punya minat sangat besar dalam bidang tulis-menulis.
Kesimpulan itu kuperoleh karena aku selalu menjadi juara pertama pertandingan bulu tangkis kelurahan U 19 dan pialanya berderet-deret di rumahku. Piala itu demikian banyak sampai ada yang dipakai ibuku untuk pemberat tumpukan cucian, ganjal pintu, dan penahan dinding kandang ayam.Adajuga piala yang dipakai menjadi sema-cam palu untuk memecahkan buah kemiri, dan sebuah piala berbentuk panjang bergerigi dari pertandingan terakhir sering dimanfaatkan ayahku untuk menggaruk punggungnya yang gatal.
Lawan-lawanku selalu kukalahkan dengan skor di bawah setengah. Kasihan mereka, meskipun telah berlatih mati-matian berbulan-bulan dan setiap pagi makan telur setengah masak dicampur jadam dan madu pahit, tapi mereka selalu tak berkutik di depanku. Kadang-kadang aku beraksi dengan mela-kukan drop shot sambil salto dua kali atau menangkis sebuah smash sambil koprol. Jika aku sedang ingin, aku juga biasa melakukan semacam pukulan straight dari celah-celah kedua selang-kangku dengan posisi membelakangi lawan, tak jarang aku melakukan itu dengan tangan kiri!
Lawan yang tak kuat mentalnya melihat ulah-ku akan emosi dan jika ia terpancing marah maka pada detik itulah ia telah kalah.Parapenonton bergemuruh melihat hiburan di lapangan bulu tangkis. Jika aku bertanding maka pasar menjadi sepi, warung-warung kopi tutup, sekolah-sekolah memulangkan murid-muridnya lebih awal, dan kuli-kuli PN membolos. "Si kancil keriting", demikianlah mereka menjulukiku. Lapangan bulu tangkis di samping kantor desa membludak. Mereka yang tak kebagian tempat berdiri di pinggir lapangan sampai naik ke pohon-pohon kelapa di sekitarnya.
Kukira semua fakta itu lebih dari cukup bagiku untuk menyebut bulu tangkis sebagai potensi seperti dinyatakan dalam buku-buku pengembangan diri itu. Dan minat besar lainnya adalah menulis. Tapi memang tak banyak bukti yang mengonfirmasi potensiku di bidang ini, kecuali komentar A Kiong bahwasuratdan puisiku untuk A Ling sering membuatnya tertawa geli. Tak tahu apa artinya, bagus atau sebaliknya.
Maka aku mulai mengonsentrasikan diri untuk mengasah kemampuan kedua bidang ini. Seperti juga disarankan oleh buku-buku ilmiah itu maka aku membuat program yang jelas, terfokus, dan memantau dengan teliti kemajuanku. Buku itu juga menyarankan agar setiap individu membuat semacam rencana A dan rencana B.
Rencana A adalah mengerahkan segenap sum-ber daya untuk mengembangkan minat dan kemampuan pada kemampuan utama atau dalam bahasa bukunya core competency, dalam kasusku berarti bulu tangkis dan menulis. Setelah tahap pengembangan itu selesai lalu bergerak pelan tapi pasti menuju tahap profesionalisme dan tahap aktualisasi diri, yaitu muncul menggebrak secara memesona di hadapan publik sebagai yang terbaik. Kemudian akhir dari semua usaha sistematis ilmiah dan terencana itu adalah mendapat pengakuan kejayaan prestasi, menjadi orang tenar atau sele-briti, hidup tenang, sehat walafiat, bahagia, dan kaya raya. Sebuah rencana yang sangat indah. Setiap kali membaca rencana Aku aku mengalami kesulitan untuk tidur.
Demikianlah, rencana A sesungguhnya adalah apa yang orang sebut sebagai kata-kata ajaib mandraguna: cita-cita. Dan aku senang sekali memiliki cita-cita atau arah masa depan yang sangat jelas, yaitu: menjadi pemain bulu tangkis yang berprestasi dan menjadi penulis berbobot. Jika mungkin sekaligus kedua-duanya, jika tidak mungkin salah satunya saja, dan jika tidak tercapai kedua-duanya, jadi apa saja asal jangan jadi pegawai pos.
Cita-cita ini adalah kutub magnet yang menggerakkan jarum kompas di dalam kepalaku dan membimbing hidupku secara meyakinkan. Setelah selesai merumuskan masa depanku itu sejenak aku merasa menjadi manusia yang agak berguna.
Jika aku menengok sahabat sekelasku mereka juga ternyata memiliki cita-cita yang istimewa.Saharamisalnya, ia ingin mejadi pejuang hak-hak asasi wanita. Dia mendapat inspirasi cita-citanya itu dari penindasan luar biasa terhadap wanita yang dilihatnya di film-filmIndia. A Kiong ingin menjadi kapten kapal, mungkin karena ia senang berpergian atau mungkin topi kapten kapal yang besar dapat menutupi sebagian kepala kalengnya itu. Kucai menyadari bahwa dirinya memiliki sedikit banyak kualitas sebagai seorang politisi yaitu bermulut besar, berotak tumpul, pendebat yang kompulsif, populis, sedikit licik, dan tak tahu malu, maka cita-citanya sangat jelas: ia ingin jadi seorang wakil rakyat, anggota dewan.
Tak ada angin tak ada hujan, tanpa ragu dan malu-malu, Syahdan ingin menjadi aktor. Ia sedikit pun tidak menunjukkan kapasitas atau bakat akting, bahkan dalam pertunjukan teater kelas kami Syahdan tidak bisa memba-wakan peran apa pun yang mengandung dialog karena ia selalu membuat kesalahan. Karena itu Mahar memberinya peran sederhana sebagai tukang kipas putri raja yang selama pertunjukan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tugasnya hanya mengipas-ngipasi sang putri dengan benda semacam ekor burung merak, itu pun masih sering tak becus ia lakukan. Semua orang menyarankan agar Syahdan meninjau kembali cita-citanya tapi ia bergeming. Ia tak peduli dengan segala cemoohan, ia ingin menjadi aktor, tak bisa diganggu gugat.
"Cita-cita adalah doa, Dan," begitulah nasihat bijak dariSahara. "Kalau Tuhan mengabulkan doamu, dapatkah kaubayangkan apa jadinya dunia perfilmanIndonesia?"
Sedangkan Mahar sendiri mengaku bahwa ia mampu menerawang masa depannya. Dan dalam terawangannya itu ia dengan yakin mengatakan bahwa setelah dewasa ia akan menjadi seorang sutradara sekaligus seorang penasihat spiritual dan hypno therapis 1 1 e rn a m a.
Cita-cita yang paling sederhana adalah milik Samson. Ia memang sangat pesimis dan hanya ingin menjadi tukang sobek karcis sekaligus sekuriti di Bioskop Kicong karena ia bisa dengan gratis menonton film. Ia memang hobi menonton film. Selain itu profesi tersebut dapat memelihara citra machonya. Adapun Trapani yang baik dan tampan ingin menjadi guru. Ketika kami tanyakan kepada Harun apa cita-citanya ia menjawab kalau besar nanti ia ingin menjadiTrapani.
Semua ini gara-gara Lintang. Kalau tak ada Lintang mungkin kami tak 'kanberani bercita-cita. Vang ada di kepala kami, dan di kepala setiap anak kampung di Belitong adalah jika selesai sekolah lanjutan pertama atau menengah atas kami akan mendaftar menjadi tenaga langkong (calon karya-wan rendahan di PN Timah) dan akan bekerja bertahun-tahun sebagai buruh tambang lalu pensiun sebagai kuli. Namun, Lintang memperlihatkan sebuah kemampuan luar biasa yang menyihir kepercayaan diri kami. Ia membuka wawasan kami untuk melihat kemungkinan menjadi orang lain meskipun kami dipenuhi keterbatasan. Lintang sendiri bercita-cita menjadi seorang matemati-kawan. Jika ini tercapai ia akan menjadi orang Melayu pertama yang menjadi matematikawan, indah sekali.
Pribadi yang positif, menurut buku, tidak boleh hanya memiliki satu rencana, tapi harus memiliki rencana alternatif yang disebut dengan istilah yang sangat susah diucapkan, yaitu contingency plan1. Rencana alternatif itu disebut juga rencana B. Rencana B tentu saja dibuat jika rencana A gagal. Prosedurnya sederhana yakni: lupakan, tinggalkan, dan buang jauh-jauh rencana A dan mulailah mencari minat dan kemampuan baru, setelah ditemukan maka ikuti lagi prosedur seperti rencana A. Inilah buku resep kehidupan yang bukan main hebatnya hasil karya para pakar psikologi praktis yang bersekongkol dengan para praktisi sumber daya manusia dan penerbit buku tentu saja.
Seorang pribadi yang efektif dan efisien harus sudah memiliki rencana A dan rencana B sebelum ia keluar dari pekarangan rumahnya. Tapi aku tak tahan membayangkan rencana B dalam hidupku karena selain bulu tangkis dan menulis aku tak punya kemampuan lain. Sebenarnya ada tapi sungguh tak bisa dipertanggungjawabkan, yaitu kemampuan mengkhayal dan bermimpi, aku agak malu mengakui ini. Aku tak punya kecerdasan seperti Lintang dan tak punya bakat seni seperti Mahar. Aku berpikir keras untuk memformulasikan rencana B. Namun sangat berun-tung, setelah berminggu-minggu melakukan perenungan akhir-nya tanpa disengaja aku mendapat inspirasi untuk me-rumuskan sebuah rencana B yang hebat luar biasa.
Rencana B ku ini sangat istimewa karena aku tidak perlu meninggalkan rencana A. Para pakar sendiri mungkin belum pernah berpikir sejauh ini. Rencana B-ku sifatnya menggabungkan minat dan kemampuan yang ada pada rencana A. Intinya jika aku gagal meniti karier di bidang bulu tangkis dan tak berhasil sebagai penulis sehingga semua penerbit hanya sudi menerima tulisanku untuk dijual menjadi kertas kiloan, maka aku akan menempuh rencana B yaitu: aku akan menulis tentang bulu tangkis!
Aku menghabiskan sekian banyak waktu untuk membuat rencana B ini agar sebaik rencana A, yaitu sampai tahap-tahap yang paling teknis dan operasional. Oleh karena itu, aku telah punya ancang-ancang judul bukuku, seluruhnya ada tiga yaituTATA CARA BERMAIN BULU TANGKIS, FAEDAH BULU TANGKIS, atauBULU TANGKIS UNTUK PERGAULAN.
Rencana B ini kuanggap sangat rasional karena aku telah melihat bagaimana pengaruh bulu tangkis pada orang-orang Melayu pedalaman. Jika musim Thomas Cup atau All England maka di kampung kami bulu tangkis bukan hanya sekadar olahraga tapi ia menjadi semacam budaya, semacam jalan hidup, seperti sepak bola bagi rakyat Brasil. Pada musim itu ilalang tanah-tanah kosong dibabat, pohon-pohon pinang ditumbangkan untuk dibelah dan dijadikan garis lapangan bulu tangkis, dan gengsi kampung dipertaruhkan habis-habisan dalam pertandingan antardusun. Jika malam tiba kampung menjelma menjadi semarak karena lampu petromaks menerangi arena-arena bulu tangkis dan teriakan para penonton yang gegap gempita. Di sisi lain aku percaya bahwa ratusan kaum pria yang tergila-gila pada bulu tangkis lalu pulang ke rumah kelelahan akan mengalihkan mereka dari rutinas malam sehingga dapat menekan angka kelahiran anak-anak Melayu. Sungguh besar manfaat bulu tangkis bagi kampung kami yang minim hiburan. Fenomena ini meyakinkanku bahwa tulisanku tentang bulu tangkis akan mencapai suatu kedalaman dan kategori yang disebut para sastrawan pintar zaman sekarang sebagai buku dalam genre humaniora!
Buku itu akan ditulis setelah melalui riset yang serius dan melibatkan studi literatur serta wawancara yang luas. Jika beruntung aku akan mengusahakan agar mendapat semacam kata pengantar sekapur sirih dari Ferry Sonneville dan dengan sedikit kerja sama dengan penerbit aku sudah mengkhayalkan akan mendapat banyak komentar berisi pujian dari para pakar di sampul belakang buku itu.
Misalnya Liem Swie King, ia akan berkomentar, "Ini adalah sebuah buku yang sangat bermanfaat untuk meningkatkan kepercayaan diri, membangun network, dan menambah kawan."
Komentar Lius Pongoh agak lebih singkat: "Sebuah buku yang memberi pencerahan."
Seorang birokrat dari komite olah raga me-nyumbangkan pujian yang filosofis: "Belum pernah ada buku olahraga ditulis seperti ini, penulisnya sangat memahami makna men sana incorpore sano."
Demikian pula pujian seorang seksolog yang gemar bermain bulu tangkis: "Buku wajib bagi Anda yang memiliki kelebihan berat badan dan kesulitan membina hubungan."
Rudy Hartono memuji habis-habisan: "Sebuah buku yang menggetarkan!"
Sedangkan komentar dari Ivana Lie adalah…
Next Novel Laskar Pelangi Bagian 26 (Be There or Be Damned!)
Laskar Pelangi Adalah Novel Karya Andrea HirataTanpa Bermaksud Merugikan Sang Penulis,Cuma Sekedar Sharing Saja. Jangan Lupa Silahkan Beli Novel Karya - Karya Beliau.
0 Komentar:
Post a Comment