Novel Laskar Pelangi Bagian 29 (Pulau Lanun)
SEPERTI layaknya sesuatu yang sederhana, maka tragedi atau drama semacam opera sabun tak pernah terjadi di sekolah Muhammadiyah. Sekolah itu demikian teduh dalam kiprahnya, tenang dalam kesahajaannya, bermartabat dalam kesederhanaan-nya, dan tenteram dalam kemiskinannya.
Namun kali ini berbeda, mendung tebal ber-gelayut rendah siap menumpahkan murka di atap sekolah itu karena dua warganya semakin lama semakin tidak waras sehingga kelangsungan pendidikan keduanya terancam. Lebih dari itu tingkah laku keduanya merongrong reputasi sekolah Muhammadiyah yang ketat menjaga nilai-nilai moral Islami. Dan tak tanggung-tanggung, rongrongan itu berupa pelanggaran paling berat dalam konteks moral itu sendiri yakni: kemusyrikan! Kedua makhluk dramatis itu tentu saja sudah sangat dikenal: Mahar dan Flo.
Seiring dengan euforia organisasi rahasia So-cieteit yang mereka inisiasi, nilai-nilai ulangan Mahar dan Flo persis penerjun yang terjun dengan parasut cadangan yang tak mengembang terjun bebas. Rapor terakhir mereka memperlihatkan deretan angka merah seperti punggung dikerok. Umumnya angka-angka biru hanya untuk mata pelajaran pembinaan kecakapan khusus, yaitu kejuruan agraria, kejuruan teknik, ketatalaksanaan, dan bahasa Indonesia, itu pun hanya untuk bidang bercakap-cakap dan mengarang. Nilai Flo adalah yang paling parah. Matematika, bahasa Inggris, dan IPA hanya mendapat angka 2. Meskipun bapaknya telah menyumbang papan tulis baru, lonceng, jam dinding, dan pompa air untuk Muhammadiyah namun Bu Mus tak peduli, beliau tak sedikit pun sungkan menganugerahkan angka-angka bebek berenang itu di rapor Flo karena memang itulah nilai anak Gedong itu.
Mahar dan Flo berada dalam situasi kritis dan sangat mungkin dilungsurkan ke kelas bawah karena tidak bisa mengikuti Ebtanas. Surat peringatan telah mereka terima tiga kali. Menanggapi masalah gawat ini diam-diam Bapak Flo melakukan konspirasi dengan Bu Frischa untuk menghasut Flo agar kembali ke sekolah PN. Lagi pula di sekolah PN Bu Frischa telah menjamin nilai yang tak memalukan di rapor Flo. Untuk keperluan penghasutan itu Bu Frischa mengutus seorang guru pria muda yang flamboyan di se-kolah PN agar dapat mendekati Flo.
Sore itu kami sekelas baru saja pulang menon-ton pertandingan sepak bola dan melewati pasar. Bu Frischa dan guru flamboyan tadi sedang berbelanja. Flo yang mengenakan celana dan jaket jin belel mendekati Bu Frischa seperti gaya berjalan koboi yang akan duel tembak.
"Nama saya Flo, Floriana," kata Flo sambil berusaha menyalami Bu Frischa. Pria flamboyan itu mengangguk santun dan melemparkan senyum termanisnya untuk Flo.
"Tolong bilang pada pria tengik ini, saya tak 'kan pernah meninggalkan Bu Muslimah dan sekolah Muham-madiyah ...."
Flo berlalu begitu saja, Bu Frischa dan sang pria flamboyan terpana, dan ide untuk menghasutnya tak pernah terdengar lagi.
Nilai—nilai rapor Mahar dan Flo hancur karena agaknya mereka sulit berkonsentrasi sebab terikat pada komitmen-komitmen kegiatan organisasi, dan lebih dari itu, karena mereka semakin tergila-gila dengan mistik. Hari demi hari pendidikan mereka semakin memprihatinkan. Tapi bukan Mahar dan Flo namanya kalau tidak kreatif. Mereka sadar bahwa mereka menghadapi tradeoff, dua sisi yang harus saling menyisihkan, memilih sekolah atau memilih kegiatan organisasi paranormal. Sekolah sangat penting namun godaan untuk berkelana menyibak misteri gaib sungguh tak tertahankan. Mereka tidak ingin meninggalkan keduanya.
Lalu tak tahu siapa yang memulai tiba-tiba mereka muncul dengan satu gagasan yang paling absurd. Karena tak ingin kehilangan sekolah dan tak ingin meninggalkan hobi klenik maka mereka berusaha menggabungkan keduanya. Mahar dan Flo akan mencari jalan keluar mengatasi kemerosotan nilai sekolah melalui cara yang mereka paling mereka kuasai, yaitu melalui jalan pintas dunia gaib perdukunan. Sebuah oara tidak masuk akal yang unik, lucu, dan mengandung mara bahaya.
Mahar dan Flo sangat yakin bahwa kekuatan supranatural dapat memberi mereka solusi gaib atas nilai—nilai yang anjlok di sekolah. Dan mereka tahu seorang sakti mandraguna yang dapat membantu mereka dan kesaktiannya telah mereka buktikan sendiri melalui pengalaman pribadi. Orang sakti ini secara ajaib telah menunjukkan jalan untuk menemukan Flo ketika ia raib ditelan hutan Gunung Selumar tempo hari. Orang supersakti itu tentu saja Tuk Bayan Tula. Menurut anggapan mereka masalah sekolah ini hanyalah masalah kecil seujung kuku yang tak ada artinya bagi raja dukun itu. Mereka percaya manusia setengah peri itu bisa dengan mudah membalikkan angka enam menjadi sembilan, empat menjadi delapan, dan merah menjadi biru.
Setelah menemukan rencana solusi yang sa-ngat andal itu Mahar dan Flo tertawa girang sekali sampai meloncat-loncat. Flo menunjukkan keka-gumannya pada kreativitas Mahar dalam memecah-kan masalah mereka. Mendung yang menghiasi wajah mereka setiap kali dimarahi Bu Mus kini sirna sudah. Di dalam kelas mereka tampak sumringah walaupun tidak sedikit pun belajar.
Seluruh anggota Societeit menyambut antusi-as ide ketuanya untuk mengunjungi Tuk Bayan Tula. Para anggota ini sebenarnya telah lama mengidamkan pertemuan dengan Tuk, idola mereka itu, namun niat itu terpendam karena mereka takut mengungkapkannya, bahkan membayangkannya saja mereka tak berani. Apalagi tersiar kabar bahwa Tuk tak menerima semua orang. Hanya nasib yang menentukan apakah Tuk berkenan atau tidak. Dan tragisnya, jika Tuk tak berkenan biasanya yang mengunjunginya tak pernah kembali pulang. Ketika Mahar berinisiatif ke sana para anggota menyambut usulan yang memang telah mereka tunggu-tunggu. Mereka siap menerima risiko asal dapat melihat wajah Tuk walau hanya sekali saja.
Kunjungan ke Pulau Lanun untuk menjumpai Tuk merupakan ekspedisi paling penting dan puncak seluruh aktivitas paranormal Societeit. Mereka mempersiapkan diri dengan teliti dan mengerahkan seluruh sumber daya karena perjalanan ke Pulau Lanun tak mudah dan biayanya sangat mahal.
Mereka harus menyewa perahu dengan kemampuan paling tidak 40 PK, jika tidak maka akan memakan waktu sangat lama dan tak 'kan kuat melawan ombak yang terkenal besar di sana.
Kemudian mereka harus menyewa seorang nakhoda yang berpengalaman dari suku orang-orang berkerudung. Karena ia berpengalaman dan tak mau mati konyol sebab ia tahu reputasi Tuk maka harga jasa nakhoda ini juga sangat mahal.
Akibatnya Mahar rela menggadaikan sepeda warisan kakeknya, Flo menjual kalung, cincin, gelang, dan merelakan tabungan uang saku selama dua bulan yang ada dalam tas rajutannya. Mujis melego hartanya yang paling berharga, yaitu sebuah radio transistor dua band merk Philip, si peng-angguran menggaruk-garuk sampah untuk tambahan ongkos, sang mahasiswa drop out meminjam uang pada bapaknya, dan si pemain organ tunggal menggadaikan elec-tone Yamaha PSR sumber nafkahnya.
Adapun orang Tionghoa yang menjadi tukang sepuh emas memecahkan celengan ayam jago disaksikan tangisan anak-anaknya, si petugas teller BRI kerja lembur sampai tengah malam, sang pensiunan syah bandar menggadaikan lemari kaca yang digotong empat orang dan menimbulkan keributan besar dengan istrinya, sementara aku sendiri merelakan koleksi uang kunoku dibeli murah oleh Tuan Pos.
Kami berdebar-debar menunggu hari H dan ketika uang patungan digelar di atas meja gaple, terkumpul uang sebanyak Rp 1,5 juta! Luar biasa. Uang yang sebagian besar logam itu bergemerin-cingan bertumpuk-tumpuk. Aku gemetar karena seumur hidupku tak pernah melihat uang sebanyak itu, apalagi karena sebagai sekretaris Societeit aku harus menyimpannya. Aku genggam uang itu dan terkesiap pada perasaan menjadi orang kaya. Ternyata jika kita telah menjadi orang miskin sejak dalam kandungan, perasaan itu sedikit menakutkan. Kami bersorak karena inilah dana terbesar yang berhasil kami kumpulkan. Aku menyimpan uang itu di dalam saku dan terus-menerus memegangnya. Tiba-tiba semua orang tampak seperti pencuri. Kadang-kadang uang memang punya pengaruh yang jahat. Setelah mendapatkan perahu dan bernegosiasi alot dengan nakhoda akhirnya pas tengah hari kami berangkat.
Pada awalnya perjalanan cukup lancar, ikan lumba-lumba berkejaran dengan haluan perahu, cuaca cerah, angin bertiup sepoi-sepoi, dan semua penumpang bersukacita. Namun, menjelang sore angin bertiup sangat kencang. Perahu mulai ter-banting-banting tak tentu arah, meliuk-liuk mengikuti ombak yang tiba-tiba naik turun dengan kekuatan luar biasa. Dan ombak itu semakin lama semakin tinggi. Dalam waktu singkat keadaan tenang berubah menjadi horor. Semakin ke tengah laut perahu semakin tak terkendali. Sama sekali tak diduga sebelumnya ombak mendadak marah dan langit mulai mendung. Badai besar akan meng-hantam kami. Semua penumpang pucat pasi. Terlambat untuk kembali pulang, lagi pula perahu sudah tak bisa diarahkan.
Kadang-kadang sebuah gelombang yang dah-syat menghantam lambung perahu hingga terdengar suara seperti papan patah. Aku menyangka perahu kami pecah dan kami akan karam dan berserakan di laut lepas ini. Gelombang itu mengangkat perahu setinggi empat meter kemudian menghempaskannya seolah tanpa beban. Kami terhunjam bersama ombak besar yang menimbulkan lautan buih putih meluap-luap mengerikan. Ombak sudah demikian ganas, sedangkan badai yang sesungguhnya belum tiba.
Aku melihat wajah nakhoda yang sudah ber-pengalaman itu dan jelas sekali ia cemas, membuat kami menjadi semakin gamang. Nakhoda menunjuk jauh ke arah depan, di sana tampak sebuah pemandangan yang membuat kami merinding hebat, yaitu gumpalan awan gelap bergerak pasti menuju ke arah kami dengan kilatan-kilatan halilintar sam-bung menyambung di dalamnya. Badai besar akan segera datang menggulung kami.
Nakhoda mencoba membalikkan arah perahu tapi mesin 40 PK itu tak berdaya dan jika menelusuri gelombang yang demikian tinggi nakhoda khawatir perahu akan tertelungkup. Maka tak ada pilihan baginya kecuali menyonsong awan yang gelap kelam itu. Kami tak berdaya seperti diombang-ambingkan oleh sebuah tangan raksasa dan tangan itu justru mengumpankan kami kepada badai. Dalam waktu singkat badai sudah tiba di atas kami dan angin puting beliung memboyakkan perahu tanpa ampun. Hujan sangat lebat dan suasana menjadi gelap. Sambaran-sambaran kilat yang sangat dekat dengan perahu menimbulkan pemandangan yang menciutkan nyali.
Ketika pusaran angin menusuk permukaan laut, kira-kira dua puluh meter di samping kami, seluruh tubuhku gemetar melihat semburan air besar tumpah di atas perahu. Perahu berputar-putar di tempat seperti gasing. Kami terpeleset dan
telentang di sepanjang geladak, berusaha saling memegangi agar tak tumpah dari perahu. Nakhoda bertindak cepat menurunkan layar yang koyak dihantam angin, menutup palka, menjauhkan benda-benda tajam, dan mematikan mesin. Lalu ia berteriak kencang memerintahkan kami agar mengikat tubuh masing-masing ke tiang layar. Kami melilit-lilitkan tali beberapa kali seputar lingkar pinggang dan menyimpulkan ujungnya dengan simpul mati kemudian mengikatkan diri dengan cara yang sama ke tiang layar. Usaha ini dilakukan agar kami tak terpelanting ke laut.
Kami segera sadar bahwa situasi telah menjadi gawat, nyawa kami berada di ujung tanduk. Begitu cepat alam berubah dari pelayaran yang damai beberapa waktu lalu hingga menjadi usaha memper-tahankan hidup yang mencekam saat ini. Kami dibukakan Allah sebuah lembar kitab yang nyata bahwa kuasaNya demikian besar tak terbatas. Kami berkumpul membentuk lingkaran kecil mengelilingi tiang layar. Tangan kami bertumpuk-tumpuk berusaha menggengam tiang itu. Bahu kami saling bersentuhan satu sama lain. Kami seperti orang yang bersatu padu menjelang ajal.
Hampir satu jam kami masih tak tentu arah. Aku melihat haluan perahu berpendar-pendar dan kepalaku pusing seolah akan pecah. Ketika kulihat Mujis menghamburkan muntah, perutku serasa diaduk-aduk dan dalam waktu singkat aku pun muntah. Pemandangan berikutnya adalah setiap orang di atas perahu menyemburkan seluruh isi perutnya, termasuk nakhoda kapal yang telah ber-pengalaman puluhan tahun. Aku mencapai tingkat puncak mabuk laut ketika tak ada lagi yang bisa dimuntahkan dan yang keluar hanya cairan bening yang pahit. Semua penumpang perahu menga-laminya.
Kami sudah pasrah di atas perahu yang ter-angkat tinggi lalu terhempas dahsyat bak sepotong busa di atas samudra yang mengamuk. Inilah pengalaman terburuk dalam hidupku. Saat itu aku amat menyesal telah ikut campur dalam ekspedisi orang-orang gila Societeit untuk menemui seorang dukun yang bahkan tak peduli dengan hidupnya sendiri. Tak adil mempertaruhkan nyawa untuk orang yang tidak menghargai nyawa. Aku memandang permukaan laut yang biru gelap dengan kedalaman tak terbayangkan dan dunia asing di bawah sana. Aku merasa sangat ngeri jika tenggelam.
Wajah nakhoda tak memperlihatkan harapan sedikit pun. la juga telah mengikatkan tubuhnya ke tiang layar. la terpekur menunduk dalam, tangan-nya yang kuat dan tua berurat-urat memegang kuat tiang layar, berebutan dengan tangan-tangan kami. Jika kami tenggelam maka di dasar laut mayat kami akan melayang-layang di ujung simpul-simpul tali yang mengikat tubuh kami seperti surai-surai gurita. Sebagian besar penumpang mengalirkan air mata putus asa. Namun, Flo sama sekali tak menangis. Sebelah tangannya menggenggam tiang layar, bibirnya membiru, dan wajahnya menengadah menantang langit. Wanita itu tak pernah takluk pada apa pun.
Tak ada tanda-tanda ombak akan reda, bah-kan semakin menjadi-jadi. Tinggal menunggu waktu kami akan terbenam karam. Dan saat yang menakutkan itu datang ketika dari jauh kami melihat gelombang yang sangat tinggi, hampir tujuh meter. Inilah gelombang paling besar dalam badai ini. Kami gemetar dan berteriak histeris. Dalam waktu beberapa detik hentakan gelombang dahsyat itu menerjang perahu dan mematahkan tiang layar yang sedang kami pegang. Tiang itu patah dua dan bagian yang patah meluncur deras menuju buritan rnerttbingkas* tiga keping papan di lambung perahu sehingga kapal bocor dan air masuk berlimpah-limpah. Mujis, Mahar, dan orang Tionghoa yang berpegangan pada sisi belakang layar tertendang patahan tadi dan terpelanting ke geladak. Jika tak dihalangi tutup palka mereka sudah jadi santapan samudra. Mereka menjerit-jerit ketakutan, menim-bulkan kepanikan yang mencekam. Aku berpikir inilah akhir hayatku, akhir hayat kami semua, laut ini akan segera memerah karena ikan-ikan hiu berpesta pora. Namun pada saat paling genting itu aku mendengar samar-samar suara orang berteriak. Rupanya syah bandar melepaskan pegangannya dari tiang layar dan mengumandangkan azan berulang-ulang. Kami masih terlonjak-lonjak dengan hebat dan air mulai menggenangi geladak tapi lonjakan perahu tiba-tiba reda. Anehnya segera setelah azan itu selesai perlahan-lahan gelombang turun.
Gelombang laut yang meluap-luap berbuih me-ngerikan tiba-tiba surut seperti dihisap kembali oleh awan yang gelap. Kami terkesima pada perubahan yang drastis. Ombak ganas menjadi semakin jinak.
Hanya dalam waktu beberapa menit angin ber-henti bertiup seperti kipas angin yang dimatikan. Badai yang mencekam nyawa lenyap seketika seperti tak pernah terjadi apa-apa. Tak lama kemudian seberkas sinar menyelinap di antara gumpalan awan hitam, mengintip-intip dari gumpal-an-gumpalan kelam yang memudar. Meskipun kami tak tahu sedang berada di perairan mana namun kami bersyukur kepada Allah berulang-ulang, bahkan menangis haru. Setidaknya harapan muncul kembali. Lalu kami bergegas menimba air yang memenuhi perahu. Permukaan laut yang luas tak terbatas menjadi amat tenang seperti permukaan danau.
Kami memandang jauh ke laut dan tak berkata-kata karena masih gentar pada bencana yang baru saja mengancam. Flo tersenyum puas. la telah membuktikan bahwa ketika maut tercekat di kerongkongannya ia tetap tak takut. Sebelum menemui Tuk Bayan Tula, ia telah mencapai salah satu tujuannya. Pengalaman seperti tadilah yang sesungguhnya ia cari.
Awan perlahan-lahan menjadi gelap, bukan karena akan badai tapi karena senja telah turun. Nakhoda berusaha memperkirakan posisi kami. Ia membaca bulan dan bintang di atas langit yang cerah karena cahaya purnama hari kedua belas. Ia menghidupkan mesin dan perahu bergerak pelan menuju arah sesuai hempasan badai. Berarti badai tadi telah membuang kami jauh tapi ke arah yang memang kami tuju. Tak lama kemudian nakhoda kembali mematikan mesin.
Beliau berjalan menuju haluan dan menyuruh kami diam. Pantulan sinar bulan berkilau-kilauan di permukaan laut lepas sejauh mata memandang. Perahu pelan-pelan menembus benteng kabut yang tebal. Sunyi senyap seperti suasana danau di tengah rimba. Ada perasaan seram diam-diam menyelinap.
Nakhoda mengawasi jauh ke depan dengan mata ta-jamnya yang terlatih. Kami cemas mengan-tisipasi bahaya lain yang akan datang, mungkin perompak, mungkin binatang yang besar, atau mungkin badai lagi. Kami melihat bayangan hitam gelap di depan kami tapi sangat tak jelas karena tertutup halimun yang semakin tebal. Kami ketakutan. Tiba-tiba nakhoda menunjuk lurus ke depan dan mengatakan sesuatu dengan suaranya yang serak.
"Pulau Lanun!"
Kami serentak berdiri terperangah dan tepat ketika beliau selesai menyebutkan nama pulau itu terdengarlah lolongan segerombolan anjing meleng-king-lengking mendiriikan bulu kuduk, seperti me-nyambut tamu tak diundang.
Teronggok sepi seperti sebuah benda asing yang dikelilingi samudra, Pulau Lanun tampak kecil sekali. Ada puluhan pohon kelapa di sisi timurnya dan daun-daun kela-pa itu berkilauan laksana lampu-lampu neon yang berkibar-kibar karena pantulan sinar purnama. Di tengah pulau tumbuh pohon-pohon besar yang rindang di antara ilalang dan bongkahan-bongkahan batu. Lolongan anjing semakin panjang dan menjadi-jadi ketika perahu menyelusuri naungan dahan-dahan bakau, men-dekati Pulau Lanun. Pada bagian ini cahaya bulan tak tembus dan terang hanya kami dapat dari lampu pelita kecil yang berayun-ayun di tiang layar. Di bawah naungan daun-daun bakau itu kami disergap perasaan takut yang sulit dijelaskan.
Di dalam hati aku mencoba merekonstruksi perasaan yang dialami utusan pawang angin tempo hari dan sejauh ini semuanya tepat. Mereka mengatakan nuansa magis mulai terasa ketika perahu mendekati pulau, hal itu benar. Saat perahu merapat rasanya tengkuk ditiup-tiup oleh angin yang jahat dari mulut ribuan hantu tak kasatmata yang membuntuti kami. Ada sebuah pengaruh mistis dan udara kuburan. Ada rasa kemurtadan, peng-khianatan, dan pembangkangan pada Tuhan. Ada jerit kesakitan dari binatang yang dibantai untuk ritual sesat dan tercium bau amis darah, bau mayat-mayat lama yang sengaja tak dikubur, bau asap dupa untuk memanggil iblis, dan bau ancaman kematian.
Kabut yang beterbangan agaknya makhluk suruhan gentayangan yang mengawasi setiap gerak-gerik kami. Bangkai-bangkai perahu perompak yang pemiliknya telah dipenggal Tuk Bayan Tula berserakan hitam dan hangus. Pakaian-pakaian lengkap manusia memperlihatkan mayat mereka tak pernah diurus sang datuk. Jika ia ingin menyembelih kami tak ada hukum yang akan membela kami di sini. Kami seperti menyerahkan leher memasuki sumur sarang makhluk jadi-jadian karena tak mampu mengekang nafsu ingin tahu.
Anjing-anjing yang melolong dalam kesenyapan malam tak tampak bentuknya. Kadang kala ter-dengar seperti bayi yang menangis atau nenek tua yang memohon ampun karena jilatan api neraka. Suara-suara ini mematahkan semangat dan menciutkan nyali. Sungguh besar sugesti Tuk Bayan Tula dan sungguh hebat pengaruh magis legendanya sehingga menciptakan kesan mencekam seperti ini. Saat itu kuakui bahwa beliau apa pun bentuknya memang orang yang berilmu sangat tinggi. Daya bius magis Tuk Bayan Tula menisbikan pengalaman bertaruh dengan maut ketika badai menghantam perahu kami beberapa waktu yang lalu. Seperti kharisma binatang buas yang membuat mangsanya tak berkutik sebelum diterkam, demikianlah kharisma Tuk Bayan Tula.
Walaupun sinar purnama kedua belas terang tapi semuanya tampak kelam. Kami berjalan pelan beriringan menuju kelompok pohon-pohon rindang dan batu-batu tadi. Di situlah Tuk Bayan Tula, orang tersakti dari yang paling sakti, raja semua dukun, dan manusia setengah peri tinggal. Kami gemetar namun tampak jelas setiap anggota Societeit telah menunggu momen ini sepanjang hidupnya.
Tiba-tiba, seperti dikomando, suara lolongan anjing berhenti, diganti oleh kesenyapan yang mengikat. Burung-burung gagak berkaok-kaok nyaring di puncak pohon bakau yang tumbuh subur sampai naik ke daratan. Suasana semakin seram ketika kami menerabas ilalang dan menjumpai beberapa punsuk menyembul-nyembul seperti iblis bersembuyi di celah-celah perdu tebal. Punsuk adalah istilah orang Kek untuk menyebut gundukan tanah seperti makam-makam kuno. Punsuk selalu identik dengan rumah berbagai makhluk halus, lebih dari itu karena ia kelihatan seperti kuburan-kuburan Belanda, maka padang kecil ini terkesan sangat angker.
Akhirnya, kami tiba di sebuah rongga yang disebut gua oleh utusan dulu. Gua itu adalah celah antara dua batu be-sar yang bersanding tidak simetris. Itulah rumah Tuk Bayan Tula. Kengerian semakin mencekam tapi apa pun yang terjadi semuanya telah terlambat karena kami melihat se-belas pelepah pinang tergelar di mulut rongga batu. Kami menjual dan datuk telah membeli. Kami telah disambut dan harus siap dengan risiko apa pun.
Kami tak langsung duduk karena dilanda ketakutan apa-lagi di dalam gua terlihat kain tipis berkelebat lalu pelan-pelan seperti asap yang mengepul dari tumpukan kayu basah yang dibakar muncul sebuah sosok tinggi besar. Dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan bahwa sosok itu tidak menginjak bumi. Ia seperti mengambang di udara, bergerak maju mundur seumpama benda tak berbobot. Belum pernah seumur hidupku menyak-sikan pemandangan seajaib itu. Dialah sang orang sakti, manusia setengah peri, Tuk Bayan Tula.
Tanpa sempat kami berpikir tiba-tiba sosok itu melesat seperti angin dan telah berdiri tegap kukuh di depan kami. Kami terperanjat, serentak terjajar mundur, dan nyaris lari pontang-panting. Tapi kami menguatkan hati. Tuk Bayan Tula berada dua meter dari kami yang takzim mengelilinginya. Beliau adalah seseorang yang sungguh-sungguh mencitrakan dirinya sebagai orang sakti berilmu setinggi langit. Kain hitam melilit-lilit tubuhnya, parang panjangnya masih sama dengan cerita utusan dulu, rambut, kumis, dan jenggotnya lebat tak terurus, berwarna putih bercampur cokelat. Tulang pipinya sangat keras mengisyaratkan ia mampu melakukan kekejaman yang tak terbayangkan dan dan alisnya mencerminkan ia tak takut pada apa pun bah-kan pada Tuhan. Namun, yang paling menonjol adalah matanya yang berkilat-kilat seperti mata burung, seluruhnya berwarna hitam. Sedikit banyak, apa pun yang akan terjadi, aku merasa beruntung pernah melihat legenda hidup ini.
Tuk diam mematung. Seluruh anggota Societeit memandanginya. Bertarung nyawa ke pulau ini agaknya terbayar karena telah melihat tokoh panutan mereka. Tak sedikit pun keramahan ditunjukkan Tuk. Lalu beliau duduk dan kami juga duduk di sebelas pelepah pinang yang secara misterius telah beliau sediakan. Mahar tampak sangat terpesona dengan sang datuk, baginya ini mimpi yang menjadi kenyataan. Tapi ia masih tak berani mendekat karena takut. Maka Flo bangkit menghampiri Mahar, menarik tangannya, dan wanita muda luar biasa itu tanpa tedeng aling-aling menyeret Mahar menghadap datuk.
Selanjutnya dengan amat berhati-hati Mahar berbisik pada sang datuk. Tuk memandang jauh ke samudra yang berkilauan tak peduli meskipun Mahar menceritakan bahaya maut yang kami alami untuk menjumpainya. Suara Mahar terdengar sayup-sayup
"... ombak setinggi tujuh meter.... "
"... badai ... angin puting beliung ... tiang la-yar patah ... azan ...."
Tuk Bayan Tula mendengarkan tanpa minat. Mahar melanjutkan kisahnya hingga sampai kepada tujuan utama kedatangannya.
"... saya dan Flo akan diusir dari sekolah .... "
"... sudah mendapat surat peringatan karena nilai-ni-lai yang merah ...."
"... minta tolong agar kami bisa lulus ujian ........ "
"... minta tolong Datuk, tak ada lagi harapan lain ...."
"... dimarahi orangtua dan guru setiap hari .... "
Kami diam seribu basa dan terus-menerus memandangi Tuk dari ujung kaki sampai ujung rambut.
Tiba-tiba tak dinyana, Datuk memalingkan wajahnya pada Mahar dan Flo. Kedua anak nakal itu pucat pasi. Tuk memegang pundak Mahar sambil mengangguk-angguk. Mahar berseri-seri bukan main seperti korban longsor dicium presiden. Para anggota Societeit tampak bangga ketuanya disentuh dukun sakti pujaan hati mereka. Mahar mengerti apa yang harus dilakukan. Ia menge-luarkan sepucuk surat dan sebuah pena lalu me-nyerahkannya dengan penuh hormat pada Tuk. Datuk itu mengambilnya dan dengan kecepatan yang tak masuk akal beliau kembali masuk ke dalam gua.
Selanjutnya terjadi sesuatu yang sangat aneh. Dari dalam gua terdengar suara keras bantingan-bantingan seperti sepuluh orang sedang berkelahi. Kami terlonjak dari tempat duduk, berkumpul rapat-rapat, mamandang waspada ke dalam gua. Kami mendengar suara auman seekor binatang buas bersuara menakutkan yang belum pernah kami dengar sebelumnya.
Jelas sekali di dalam sana Tuk Bayan Tula se-dang bertarung habis-habisan dengan makhluk-makhluk besar yang ganas. Rupanya untuk meme-nuhi permintaan Mahar beliau harus mengalahkan ribuan hantu. Seberkas penyesalan tampak di wajah Mahar. Ia tak sanggup menanggungkan beban jika tokoh kesayangannya harus tewas karena permohonannya.
Debu mengepul dari pasir lantai gua karena makhluk-makhluk liar bergumul di dalamnya. Kami bergidik cemas tapi tak berani mendekat. Kami menunduk memejamkan mata membayangkan risiko maut. Lalu piring kaleng, panci, tulang-tulang ikan, tempurung kelapa, tungku, cangkir, cambuk, parang, dan sendok terlempar keluar gua dan ber-serakan di dekat kami. Di antara benda-benda itu terdapat primbon, penanggalan tradisional Bali, peta laut, dan beberapa kitab lama bertulisan tangan bahasa Melayu kuno dan Kek.
Pertempuran demikian seru hingga akhirnya terdengar jeritan kekalahan. Lalu kami melihat puluhan sosok bayangan lelembut berbentuk seperti jasad terbungkus kain kafan hitam beterbangan melesat cepat keluar dari dalam gua menembus pucuk-pucuk pohon santigi menghilang ke arah laut. Anjing-anjing hutan kembali melolong agaknya lolongan anjing-anjing itu memaki-maki gerombolan hantu yang telah dikalahkan Tuk Bayan Tula.
Tuk Bayan Tula kembali hadir di mulut gua da-lam keadaan terengah-engah, compang-camping, dan berantakan. Aku sangat prihatin melihat orang sakti sampai terseok-seok seperti itu. Demi memenuhi permintaan Mahar dan Flo agar tak diusir dari sekolah beliau telah mempertaruhkan jiwa.
Tuk mengangkat gulungan kertas pesannya tinggi-tinggi seakan mengatakan, "Lihatlah wahai manusia-manusia cacing tak berguna, siapa pun, kasat atau siluman tak 'kan sanggup melawanku. Aku telah membinasakan iblis-iblis dari dasar neraka untuk membuat keajaiban yang membalikkan hukum alam. Nilai-nilai ujianmu akan melingkar sendiri dalam kegelapan untuk menyelamatkanmu di sekolah tua itu. Terimalah hadiahmu, karena engkau anak muda pemberani yang telah menantang maut untuk menemuiku ...."
Tuk menyerahkan gulungan kertas itu yang disambut Mahar dengan kedua tangannya seperti gelandangan yang hampir mati kelaparan menerima sedekah. Mahar memasukkan gulungan kertas ke dalam tempat bekas bola badminton dengan amat hati-hati dan menutupnya rapat-rapat seperti arsitek menyimpan cetak biru bangunan rahasia tempat menyiksa aktivis. Kotak itu dimasukkannya ke dalam jaketnya. Tuk memberi isyarat agar kertas itu dibuka setelah kami tiba di rumah dan menunjuk ke perahu agar kami segera angkat kaki. Tak sempat kami mengucapkan terima kasih, secepat kilat, seperti angin Tuk Bayan Tula lenyap dari pandangan, sirna ditelan gelap dan asap dupa gua persemayamannya.
Kami lari terbirit-birit menuju perahu. Nakhoda segera menghidupkan mesin. Kami langsung kabur pulang. Mahar memegangi kotak bola badminton di jaketnya tak lepas-lepas. Wajahnya senang bukan main. Flo juga tersenyum lega. Kertas itulah sertifikat asuransi pendidikan mereka. Kami semua sepakat akan membuka surat itu besok se-pulang sekolah di bawah ffficium.
Tengah hari itu banyak orang berkumpul di bawah pohon filicium. Seluruh teman sekelasku, seluruh anggota Societeit termasuk nakhoda yang juga menyatakan minat mendaftar sebagai anggota baru, dan para utusan terdahulu yaitu dua orang dukun, kepala suku Sawang, dan seorang polisi senior. Karena berita kami mengunjungi Tuk Bayan
Tula telah tersebar ke seantero kampung maka dalam waktu singkat reputasi Societeit melejit. Semua orang tahu betapa besarnya risiko mengunjungi Pulau Lanun, yaitu ombak yang ganas, ikan-ikan hiu, dan kekejaman Tuk Bayan Tula sendiri. Maka dalam pembukaan pesan Tuk siang ini banyak sekali yang hadir. Kulihat ada Tuan Pos, para calon anggota baru Societeit yang bersemangat karena reputasi baru organisasi, beberapa penjaga dan pemilik warung kopi, beberapa orang tukang gosip, tukang ikan, juragan-juragan perahu, dan beberapa penggemar para normal tingkat pemula.
Setelah seluruh guru pulang Mahar dan Flo keluar dari kelas dengan wajah berseri-seri. Langkahnya ringan karena beban hancurnya nilai-nilai ulangan yang telah sekian lama menggelayut di pundak mereka akan segera sirna. Mereka yakin sekali pesan Tuk akan menyelamatkan masa depannya. Parapsikologi, metafisika, dan paranormal terbukti bisa memasuki area mana pun, demikian kesan di wajah keduanya. Lalu kesan lain: kalian boleh membaca buku sampai bola mata kalian meloncat tapi Tuk Bayan Tula akan membuat kami tampak lebih pintar, atau: bel-ajarlah kalian sampai muntah-muntah dan kami akan terus mengembara mengejar pesona dunia gaib, tapi tetap naik kelas sampai tingkat berapa pun.
Mahar dengan cermat mengeluarkan kotak bo-la badminton, ia membuka tutupnya pelan-pelan. Mengambil gulungan kertas itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Baginya itulah dokumen deklarasi kemerdekaan dirinya dan Flo dari penjajahan dunia pendidikan yang banyak menuntut. Mahar meme-gangi gulungan itu kuat-kuat dan sebelum membukanya ia memberikan sebuah pidato singkat:
"Nasib baik memihak para pemberani!" Itulah pembukaan pidatonya, sangat filosofis seperti Socrates sedang memberikan pelajaran filsafat pada murid-muridnya. Anggota Societeit mengangguk-angguk setuju.
"Inilah pesan yang kami dapatkan dengan su-sah payah. Kami mengikatkan diri pada tiang layar karena nyawa kami tinggal sejengkal dan kami memuntahkan cairan terakhir yang rasanya pahit untuk mendapatkan keajaiban ini!"
Anggota Societeit bertepuk tangan bangga mendengar pidato hebat ketuanya. Demi menyak-sikan pembukaan pesan ini sang teller BRI bolos kerja sedangkan bapak Tionghoa tukang sepuh emas menutup tokonya. Mahar melanjut-kan pidato dengan berapi-api.
"Kami rela menggadaikan harta benda kesa-yangan dan berani mengambil risiko dimusnahkan dari muka bumi oleh Tuk Bayan Tula, tapi akhirnya kami bisa membuktikan bahwa Societeit de Limpai bukan organisasi sembarangan!"
Mahar berpidato penuh wibawa di hadapan para pengikutnya lalu seperti biasa ia mengeluarkan bahasa tubuhnya yang khas: menaikkan alis, mengangkat bahu, dan mengangguk-angguk.
"Kami menyaksikan sendiri bahwa Tuk Bayan Tula bertempur habis-habisan untuk memberi kita pesan pada kertas ini!! Sebagai ketua Societeit, saya merasa mendapat respek dengan perlakuan beliau itu."
Anggota Societeit kembali bertepuk tangan bergemuruh. Wajah Flo tampak semakin cantik ketika ia gembira.
"Maka, inilah prestasi tertinggi Societeit de Limpai."
Mahar mengangkat lagi gulungan kertas pesan Tuk Bayan Tula tinggi dan akan segera membukanya.
Semua orang merubung ingin tahu. Beberapa peminat, termasuk aku, sampai naik ke atas dahan-dahan rendah filicium agar dapat membaca pesan Tuk. Tangan Mahar gemetar memegang gulungan kertas keramat itu dan wajah Flo memerah menahan girang, ia melonjak-lonjak tak sabar menunggu kejutan yang menyenangkan. Semua orang merasa tegang dan sangat ingin tahu. Mahar perlahan-lahan membuka gulungan kertas itu dan di sana, di kertas itu tertulis dengan jelas:
INILAH PESAN TUK-BAYAN-TULA UNTUK
KALIANBERDUA,
KALAU INGIN LULUS UJIAN:
BUKA BUKU,BELAJARLAH
Namun kali ini berbeda, mendung tebal ber-gelayut rendah siap menumpahkan murka di atap sekolah itu karena dua warganya semakin lama semakin tidak waras sehingga kelangsungan pendidikan keduanya terancam. Lebih dari itu tingkah laku keduanya merongrong reputasi sekolah Muhammadiyah yang ketat menjaga nilai-nilai moral Islami. Dan tak tanggung-tanggung, rongrongan itu berupa pelanggaran paling berat dalam konteks moral itu sendiri yakni: kemusyrikan! Kedua makhluk dramatis itu tentu saja sudah sangat dikenal: Mahar dan Flo.
Seiring dengan euforia organisasi rahasia So-cieteit yang mereka inisiasi, nilai-nilai ulangan Mahar dan Flo persis penerjun yang terjun dengan parasut cadangan yang tak mengembang terjun bebas. Rapor terakhir mereka memperlihatkan deretan angka merah seperti punggung dikerok. Umumnya angka-angka biru hanya untuk mata pelajaran pembinaan kecakapan khusus, yaitu kejuruan agraria, kejuruan teknik, ketatalaksanaan, dan bahasa Indonesia, itu pun hanya untuk bidang bercakap-cakap dan mengarang. Nilai Flo adalah yang paling parah. Matematika, bahasa Inggris, dan IPA hanya mendapat angka 2. Meskipun bapaknya telah menyumbang papan tulis baru, lonceng, jam dinding, dan pompa air untuk Muhammadiyah namun Bu Mus tak peduli, beliau tak sedikit pun sungkan menganugerahkan angka-angka bebek berenang itu di rapor Flo karena memang itulah nilai anak Gedong itu.
Mahar dan Flo berada dalam situasi kritis dan sangat mungkin dilungsurkan ke kelas bawah karena tidak bisa mengikuti Ebtanas. Surat peringatan telah mereka terima tiga kali. Menanggapi masalah gawat ini diam-diam Bapak Flo melakukan konspirasi dengan Bu Frischa untuk menghasut Flo agar kembali ke sekolah PN. Lagi pula di sekolah PN Bu Frischa telah menjamin nilai yang tak memalukan di rapor Flo. Untuk keperluan penghasutan itu Bu Frischa mengutus seorang guru pria muda yang flamboyan di se-kolah PN agar dapat mendekati Flo.
Sore itu kami sekelas baru saja pulang menon-ton pertandingan sepak bola dan melewati pasar. Bu Frischa dan guru flamboyan tadi sedang berbelanja. Flo yang mengenakan celana dan jaket jin belel mendekati Bu Frischa seperti gaya berjalan koboi yang akan duel tembak.
"Nama saya Flo, Floriana," kata Flo sambil berusaha menyalami Bu Frischa. Pria flamboyan itu mengangguk santun dan melemparkan senyum termanisnya untuk Flo.
"Tolong bilang pada pria tengik ini, saya tak 'kan pernah meninggalkan Bu Muslimah dan sekolah Muham-madiyah ...."
Flo berlalu begitu saja, Bu Frischa dan sang pria flamboyan terpana, dan ide untuk menghasutnya tak pernah terdengar lagi.
Nilai—nilai rapor Mahar dan Flo hancur karena agaknya mereka sulit berkonsentrasi sebab terikat pada komitmen-komitmen kegiatan organisasi, dan lebih dari itu, karena mereka semakin tergila-gila dengan mistik. Hari demi hari pendidikan mereka semakin memprihatinkan. Tapi bukan Mahar dan Flo namanya kalau tidak kreatif. Mereka sadar bahwa mereka menghadapi tradeoff, dua sisi yang harus saling menyisihkan, memilih sekolah atau memilih kegiatan organisasi paranormal. Sekolah sangat penting namun godaan untuk berkelana menyibak misteri gaib sungguh tak tertahankan. Mereka tidak ingin meninggalkan keduanya.
Lalu tak tahu siapa yang memulai tiba-tiba mereka muncul dengan satu gagasan yang paling absurd. Karena tak ingin kehilangan sekolah dan tak ingin meninggalkan hobi klenik maka mereka berusaha menggabungkan keduanya. Mahar dan Flo akan mencari jalan keluar mengatasi kemerosotan nilai sekolah melalui cara yang mereka paling mereka kuasai, yaitu melalui jalan pintas dunia gaib perdukunan. Sebuah oara tidak masuk akal yang unik, lucu, dan mengandung mara bahaya.
Mahar dan Flo sangat yakin bahwa kekuatan supranatural dapat memberi mereka solusi gaib atas nilai—nilai yang anjlok di sekolah. Dan mereka tahu seorang sakti mandraguna yang dapat membantu mereka dan kesaktiannya telah mereka buktikan sendiri melalui pengalaman pribadi. Orang sakti ini secara ajaib telah menunjukkan jalan untuk menemukan Flo ketika ia raib ditelan hutan Gunung Selumar tempo hari. Orang supersakti itu tentu saja Tuk Bayan Tula. Menurut anggapan mereka masalah sekolah ini hanyalah masalah kecil seujung kuku yang tak ada artinya bagi raja dukun itu. Mereka percaya manusia setengah peri itu bisa dengan mudah membalikkan angka enam menjadi sembilan, empat menjadi delapan, dan merah menjadi biru.
Setelah menemukan rencana solusi yang sa-ngat andal itu Mahar dan Flo tertawa girang sekali sampai meloncat-loncat. Flo menunjukkan keka-gumannya pada kreativitas Mahar dalam memecah-kan masalah mereka. Mendung yang menghiasi wajah mereka setiap kali dimarahi Bu Mus kini sirna sudah. Di dalam kelas mereka tampak sumringah walaupun tidak sedikit pun belajar.
Seluruh anggota Societeit menyambut antusi-as ide ketuanya untuk mengunjungi Tuk Bayan Tula. Para anggota ini sebenarnya telah lama mengidamkan pertemuan dengan Tuk, idola mereka itu, namun niat itu terpendam karena mereka takut mengungkapkannya, bahkan membayangkannya saja mereka tak berani. Apalagi tersiar kabar bahwa Tuk tak menerima semua orang. Hanya nasib yang menentukan apakah Tuk berkenan atau tidak. Dan tragisnya, jika Tuk tak berkenan biasanya yang mengunjunginya tak pernah kembali pulang. Ketika Mahar berinisiatif ke sana para anggota menyambut usulan yang memang telah mereka tunggu-tunggu. Mereka siap menerima risiko asal dapat melihat wajah Tuk walau hanya sekali saja.
Kunjungan ke Pulau Lanun untuk menjumpai Tuk merupakan ekspedisi paling penting dan puncak seluruh aktivitas paranormal Societeit. Mereka mempersiapkan diri dengan teliti dan mengerahkan seluruh sumber daya karena perjalanan ke Pulau Lanun tak mudah dan biayanya sangat mahal.
Mereka harus menyewa perahu dengan kemampuan paling tidak 40 PK, jika tidak maka akan memakan waktu sangat lama dan tak 'kan kuat melawan ombak yang terkenal besar di sana.
Kemudian mereka harus menyewa seorang nakhoda yang berpengalaman dari suku orang-orang berkerudung. Karena ia berpengalaman dan tak mau mati konyol sebab ia tahu reputasi Tuk maka harga jasa nakhoda ini juga sangat mahal.
Akibatnya Mahar rela menggadaikan sepeda warisan kakeknya, Flo menjual kalung, cincin, gelang, dan merelakan tabungan uang saku selama dua bulan yang ada dalam tas rajutannya. Mujis melego hartanya yang paling berharga, yaitu sebuah radio transistor dua band merk Philip, si peng-angguran menggaruk-garuk sampah untuk tambahan ongkos, sang mahasiswa drop out meminjam uang pada bapaknya, dan si pemain organ tunggal menggadaikan elec-tone Yamaha PSR sumber nafkahnya.
Adapun orang Tionghoa yang menjadi tukang sepuh emas memecahkan celengan ayam jago disaksikan tangisan anak-anaknya, si petugas teller BRI kerja lembur sampai tengah malam, sang pensiunan syah bandar menggadaikan lemari kaca yang digotong empat orang dan menimbulkan keributan besar dengan istrinya, sementara aku sendiri merelakan koleksi uang kunoku dibeli murah oleh Tuan Pos.
Kami berdebar-debar menunggu hari H dan ketika uang patungan digelar di atas meja gaple, terkumpul uang sebanyak Rp 1,5 juta! Luar biasa. Uang yang sebagian besar logam itu bergemerin-cingan bertumpuk-tumpuk. Aku gemetar karena seumur hidupku tak pernah melihat uang sebanyak itu, apalagi karena sebagai sekretaris Societeit aku harus menyimpannya. Aku genggam uang itu dan terkesiap pada perasaan menjadi orang kaya. Ternyata jika kita telah menjadi orang miskin sejak dalam kandungan, perasaan itu sedikit menakutkan. Kami bersorak karena inilah dana terbesar yang berhasil kami kumpulkan. Aku menyimpan uang itu di dalam saku dan terus-menerus memegangnya. Tiba-tiba semua orang tampak seperti pencuri. Kadang-kadang uang memang punya pengaruh yang jahat. Setelah mendapatkan perahu dan bernegosiasi alot dengan nakhoda akhirnya pas tengah hari kami berangkat.
Pada awalnya perjalanan cukup lancar, ikan lumba-lumba berkejaran dengan haluan perahu, cuaca cerah, angin bertiup sepoi-sepoi, dan semua penumpang bersukacita. Namun, menjelang sore angin bertiup sangat kencang. Perahu mulai ter-banting-banting tak tentu arah, meliuk-liuk mengikuti ombak yang tiba-tiba naik turun dengan kekuatan luar biasa. Dan ombak itu semakin lama semakin tinggi. Dalam waktu singkat keadaan tenang berubah menjadi horor. Semakin ke tengah laut perahu semakin tak terkendali. Sama sekali tak diduga sebelumnya ombak mendadak marah dan langit mulai mendung. Badai besar akan meng-hantam kami. Semua penumpang pucat pasi. Terlambat untuk kembali pulang, lagi pula perahu sudah tak bisa diarahkan.
Kadang-kadang sebuah gelombang yang dah-syat menghantam lambung perahu hingga terdengar suara seperti papan patah. Aku menyangka perahu kami pecah dan kami akan karam dan berserakan di laut lepas ini. Gelombang itu mengangkat perahu setinggi empat meter kemudian menghempaskannya seolah tanpa beban. Kami terhunjam bersama ombak besar yang menimbulkan lautan buih putih meluap-luap mengerikan. Ombak sudah demikian ganas, sedangkan badai yang sesungguhnya belum tiba.
Aku melihat wajah nakhoda yang sudah ber-pengalaman itu dan jelas sekali ia cemas, membuat kami menjadi semakin gamang. Nakhoda menunjuk jauh ke arah depan, di sana tampak sebuah pemandangan yang membuat kami merinding hebat, yaitu gumpalan awan gelap bergerak pasti menuju ke arah kami dengan kilatan-kilatan halilintar sam-bung menyambung di dalamnya. Badai besar akan segera datang menggulung kami.
Nakhoda mencoba membalikkan arah perahu tapi mesin 40 PK itu tak berdaya dan jika menelusuri gelombang yang demikian tinggi nakhoda khawatir perahu akan tertelungkup. Maka tak ada pilihan baginya kecuali menyonsong awan yang gelap kelam itu. Kami tak berdaya seperti diombang-ambingkan oleh sebuah tangan raksasa dan tangan itu justru mengumpankan kami kepada badai. Dalam waktu singkat badai sudah tiba di atas kami dan angin puting beliung memboyakkan perahu tanpa ampun. Hujan sangat lebat dan suasana menjadi gelap. Sambaran-sambaran kilat yang sangat dekat dengan perahu menimbulkan pemandangan yang menciutkan nyali.
Ketika pusaran angin menusuk permukaan laut, kira-kira dua puluh meter di samping kami, seluruh tubuhku gemetar melihat semburan air besar tumpah di atas perahu. Perahu berputar-putar di tempat seperti gasing. Kami terpeleset dan
telentang di sepanjang geladak, berusaha saling memegangi agar tak tumpah dari perahu. Nakhoda bertindak cepat menurunkan layar yang koyak dihantam angin, menutup palka, menjauhkan benda-benda tajam, dan mematikan mesin. Lalu ia berteriak kencang memerintahkan kami agar mengikat tubuh masing-masing ke tiang layar. Kami melilit-lilitkan tali beberapa kali seputar lingkar pinggang dan menyimpulkan ujungnya dengan simpul mati kemudian mengikatkan diri dengan cara yang sama ke tiang layar. Usaha ini dilakukan agar kami tak terpelanting ke laut.
Kami segera sadar bahwa situasi telah menjadi gawat, nyawa kami berada di ujung tanduk. Begitu cepat alam berubah dari pelayaran yang damai beberapa waktu lalu hingga menjadi usaha memper-tahankan hidup yang mencekam saat ini. Kami dibukakan Allah sebuah lembar kitab yang nyata bahwa kuasaNya demikian besar tak terbatas. Kami berkumpul membentuk lingkaran kecil mengelilingi tiang layar. Tangan kami bertumpuk-tumpuk berusaha menggengam tiang itu. Bahu kami saling bersentuhan satu sama lain. Kami seperti orang yang bersatu padu menjelang ajal.
Hampir satu jam kami masih tak tentu arah. Aku melihat haluan perahu berpendar-pendar dan kepalaku pusing seolah akan pecah. Ketika kulihat Mujis menghamburkan muntah, perutku serasa diaduk-aduk dan dalam waktu singkat aku pun muntah. Pemandangan berikutnya adalah setiap orang di atas perahu menyemburkan seluruh isi perutnya, termasuk nakhoda kapal yang telah ber-pengalaman puluhan tahun. Aku mencapai tingkat puncak mabuk laut ketika tak ada lagi yang bisa dimuntahkan dan yang keluar hanya cairan bening yang pahit. Semua penumpang perahu menga-laminya.
Kami sudah pasrah di atas perahu yang ter-angkat tinggi lalu terhempas dahsyat bak sepotong busa di atas samudra yang mengamuk. Inilah pengalaman terburuk dalam hidupku. Saat itu aku amat menyesal telah ikut campur dalam ekspedisi orang-orang gila Societeit untuk menemui seorang dukun yang bahkan tak peduli dengan hidupnya sendiri. Tak adil mempertaruhkan nyawa untuk orang yang tidak menghargai nyawa. Aku memandang permukaan laut yang biru gelap dengan kedalaman tak terbayangkan dan dunia asing di bawah sana. Aku merasa sangat ngeri jika tenggelam.
Wajah nakhoda tak memperlihatkan harapan sedikit pun. la juga telah mengikatkan tubuhnya ke tiang layar. la terpekur menunduk dalam, tangan-nya yang kuat dan tua berurat-urat memegang kuat tiang layar, berebutan dengan tangan-tangan kami. Jika kami tenggelam maka di dasar laut mayat kami akan melayang-layang di ujung simpul-simpul tali yang mengikat tubuh kami seperti surai-surai gurita. Sebagian besar penumpang mengalirkan air mata putus asa. Namun, Flo sama sekali tak menangis. Sebelah tangannya menggenggam tiang layar, bibirnya membiru, dan wajahnya menengadah menantang langit. Wanita itu tak pernah takluk pada apa pun.
Tak ada tanda-tanda ombak akan reda, bah-kan semakin menjadi-jadi. Tinggal menunggu waktu kami akan terbenam karam. Dan saat yang menakutkan itu datang ketika dari jauh kami melihat gelombang yang sangat tinggi, hampir tujuh meter. Inilah gelombang paling besar dalam badai ini. Kami gemetar dan berteriak histeris. Dalam waktu beberapa detik hentakan gelombang dahsyat itu menerjang perahu dan mematahkan tiang layar yang sedang kami pegang. Tiang itu patah dua dan bagian yang patah meluncur deras menuju buritan rnerttbingkas* tiga keping papan di lambung perahu sehingga kapal bocor dan air masuk berlimpah-limpah. Mujis, Mahar, dan orang Tionghoa yang berpegangan pada sisi belakang layar tertendang patahan tadi dan terpelanting ke geladak. Jika tak dihalangi tutup palka mereka sudah jadi santapan samudra. Mereka menjerit-jerit ketakutan, menim-bulkan kepanikan yang mencekam. Aku berpikir inilah akhir hayatku, akhir hayat kami semua, laut ini akan segera memerah karena ikan-ikan hiu berpesta pora. Namun pada saat paling genting itu aku mendengar samar-samar suara orang berteriak. Rupanya syah bandar melepaskan pegangannya dari tiang layar dan mengumandangkan azan berulang-ulang. Kami masih terlonjak-lonjak dengan hebat dan air mulai menggenangi geladak tapi lonjakan perahu tiba-tiba reda. Anehnya segera setelah azan itu selesai perlahan-lahan gelombang turun.
Gelombang laut yang meluap-luap berbuih me-ngerikan tiba-tiba surut seperti dihisap kembali oleh awan yang gelap. Kami terkesima pada perubahan yang drastis. Ombak ganas menjadi semakin jinak.
Hanya dalam waktu beberapa menit angin ber-henti bertiup seperti kipas angin yang dimatikan. Badai yang mencekam nyawa lenyap seketika seperti tak pernah terjadi apa-apa. Tak lama kemudian seberkas sinar menyelinap di antara gumpalan awan hitam, mengintip-intip dari gumpal-an-gumpalan kelam yang memudar. Meskipun kami tak tahu sedang berada di perairan mana namun kami bersyukur kepada Allah berulang-ulang, bahkan menangis haru. Setidaknya harapan muncul kembali. Lalu kami bergegas menimba air yang memenuhi perahu. Permukaan laut yang luas tak terbatas menjadi amat tenang seperti permukaan danau.
Kami memandang jauh ke laut dan tak berkata-kata karena masih gentar pada bencana yang baru saja mengancam. Flo tersenyum puas. la telah membuktikan bahwa ketika maut tercekat di kerongkongannya ia tetap tak takut. Sebelum menemui Tuk Bayan Tula, ia telah mencapai salah satu tujuannya. Pengalaman seperti tadilah yang sesungguhnya ia cari.
Awan perlahan-lahan menjadi gelap, bukan karena akan badai tapi karena senja telah turun. Nakhoda berusaha memperkirakan posisi kami. Ia membaca bulan dan bintang di atas langit yang cerah karena cahaya purnama hari kedua belas. Ia menghidupkan mesin dan perahu bergerak pelan menuju arah sesuai hempasan badai. Berarti badai tadi telah membuang kami jauh tapi ke arah yang memang kami tuju. Tak lama kemudian nakhoda kembali mematikan mesin.
Beliau berjalan menuju haluan dan menyuruh kami diam. Pantulan sinar bulan berkilau-kilauan di permukaan laut lepas sejauh mata memandang. Perahu pelan-pelan menembus benteng kabut yang tebal. Sunyi senyap seperti suasana danau di tengah rimba. Ada perasaan seram diam-diam menyelinap.
Nakhoda mengawasi jauh ke depan dengan mata ta-jamnya yang terlatih. Kami cemas mengan-tisipasi bahaya lain yang akan datang, mungkin perompak, mungkin binatang yang besar, atau mungkin badai lagi. Kami melihat bayangan hitam gelap di depan kami tapi sangat tak jelas karena tertutup halimun yang semakin tebal. Kami ketakutan. Tiba-tiba nakhoda menunjuk lurus ke depan dan mengatakan sesuatu dengan suaranya yang serak.
"Pulau Lanun!"
Kami serentak berdiri terperangah dan tepat ketika beliau selesai menyebutkan nama pulau itu terdengarlah lolongan segerombolan anjing meleng-king-lengking mendiriikan bulu kuduk, seperti me-nyambut tamu tak diundang.
Teronggok sepi seperti sebuah benda asing yang dikelilingi samudra, Pulau Lanun tampak kecil sekali. Ada puluhan pohon kelapa di sisi timurnya dan daun-daun kela-pa itu berkilauan laksana lampu-lampu neon yang berkibar-kibar karena pantulan sinar purnama. Di tengah pulau tumbuh pohon-pohon besar yang rindang di antara ilalang dan bongkahan-bongkahan batu. Lolongan anjing semakin panjang dan menjadi-jadi ketika perahu menyelusuri naungan dahan-dahan bakau, men-dekati Pulau Lanun. Pada bagian ini cahaya bulan tak tembus dan terang hanya kami dapat dari lampu pelita kecil yang berayun-ayun di tiang layar. Di bawah naungan daun-daun bakau itu kami disergap perasaan takut yang sulit dijelaskan.
Di dalam hati aku mencoba merekonstruksi perasaan yang dialami utusan pawang angin tempo hari dan sejauh ini semuanya tepat. Mereka mengatakan nuansa magis mulai terasa ketika perahu mendekati pulau, hal itu benar. Saat perahu merapat rasanya tengkuk ditiup-tiup oleh angin yang jahat dari mulut ribuan hantu tak kasatmata yang membuntuti kami. Ada sebuah pengaruh mistis dan udara kuburan. Ada rasa kemurtadan, peng-khianatan, dan pembangkangan pada Tuhan. Ada jerit kesakitan dari binatang yang dibantai untuk ritual sesat dan tercium bau amis darah, bau mayat-mayat lama yang sengaja tak dikubur, bau asap dupa untuk memanggil iblis, dan bau ancaman kematian.
Kabut yang beterbangan agaknya makhluk suruhan gentayangan yang mengawasi setiap gerak-gerik kami. Bangkai-bangkai perahu perompak yang pemiliknya telah dipenggal Tuk Bayan Tula berserakan hitam dan hangus. Pakaian-pakaian lengkap manusia memperlihatkan mayat mereka tak pernah diurus sang datuk. Jika ia ingin menyembelih kami tak ada hukum yang akan membela kami di sini. Kami seperti menyerahkan leher memasuki sumur sarang makhluk jadi-jadian karena tak mampu mengekang nafsu ingin tahu.
Anjing-anjing yang melolong dalam kesenyapan malam tak tampak bentuknya. Kadang kala ter-dengar seperti bayi yang menangis atau nenek tua yang memohon ampun karena jilatan api neraka. Suara-suara ini mematahkan semangat dan menciutkan nyali. Sungguh besar sugesti Tuk Bayan Tula dan sungguh hebat pengaruh magis legendanya sehingga menciptakan kesan mencekam seperti ini. Saat itu kuakui bahwa beliau apa pun bentuknya memang orang yang berilmu sangat tinggi. Daya bius magis Tuk Bayan Tula menisbikan pengalaman bertaruh dengan maut ketika badai menghantam perahu kami beberapa waktu yang lalu. Seperti kharisma binatang buas yang membuat mangsanya tak berkutik sebelum diterkam, demikianlah kharisma Tuk Bayan Tula.
Walaupun sinar purnama kedua belas terang tapi semuanya tampak kelam. Kami berjalan pelan beriringan menuju kelompok pohon-pohon rindang dan batu-batu tadi. Di situlah Tuk Bayan Tula, orang tersakti dari yang paling sakti, raja semua dukun, dan manusia setengah peri tinggal. Kami gemetar namun tampak jelas setiap anggota Societeit telah menunggu momen ini sepanjang hidupnya.
Tiba-tiba, seperti dikomando, suara lolongan anjing berhenti, diganti oleh kesenyapan yang mengikat. Burung-burung gagak berkaok-kaok nyaring di puncak pohon bakau yang tumbuh subur sampai naik ke daratan. Suasana semakin seram ketika kami menerabas ilalang dan menjumpai beberapa punsuk menyembul-nyembul seperti iblis bersembuyi di celah-celah perdu tebal. Punsuk adalah istilah orang Kek untuk menyebut gundukan tanah seperti makam-makam kuno. Punsuk selalu identik dengan rumah berbagai makhluk halus, lebih dari itu karena ia kelihatan seperti kuburan-kuburan Belanda, maka padang kecil ini terkesan sangat angker.
Akhirnya, kami tiba di sebuah rongga yang disebut gua oleh utusan dulu. Gua itu adalah celah antara dua batu be-sar yang bersanding tidak simetris. Itulah rumah Tuk Bayan Tula. Kengerian semakin mencekam tapi apa pun yang terjadi semuanya telah terlambat karena kami melihat se-belas pelepah pinang tergelar di mulut rongga batu. Kami menjual dan datuk telah membeli. Kami telah disambut dan harus siap dengan risiko apa pun.
Kami tak langsung duduk karena dilanda ketakutan apa-lagi di dalam gua terlihat kain tipis berkelebat lalu pelan-pelan seperti asap yang mengepul dari tumpukan kayu basah yang dibakar muncul sebuah sosok tinggi besar. Dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan bahwa sosok itu tidak menginjak bumi. Ia seperti mengambang di udara, bergerak maju mundur seumpama benda tak berbobot. Belum pernah seumur hidupku menyak-sikan pemandangan seajaib itu. Dialah sang orang sakti, manusia setengah peri, Tuk Bayan Tula.
Tanpa sempat kami berpikir tiba-tiba sosok itu melesat seperti angin dan telah berdiri tegap kukuh di depan kami. Kami terperanjat, serentak terjajar mundur, dan nyaris lari pontang-panting. Tapi kami menguatkan hati. Tuk Bayan Tula berada dua meter dari kami yang takzim mengelilinginya. Beliau adalah seseorang yang sungguh-sungguh mencitrakan dirinya sebagai orang sakti berilmu setinggi langit. Kain hitam melilit-lilit tubuhnya, parang panjangnya masih sama dengan cerita utusan dulu, rambut, kumis, dan jenggotnya lebat tak terurus, berwarna putih bercampur cokelat. Tulang pipinya sangat keras mengisyaratkan ia mampu melakukan kekejaman yang tak terbayangkan dan dan alisnya mencerminkan ia tak takut pada apa pun bah-kan pada Tuhan. Namun, yang paling menonjol adalah matanya yang berkilat-kilat seperti mata burung, seluruhnya berwarna hitam. Sedikit banyak, apa pun yang akan terjadi, aku merasa beruntung pernah melihat legenda hidup ini.
Tuk diam mematung. Seluruh anggota Societeit memandanginya. Bertarung nyawa ke pulau ini agaknya terbayar karena telah melihat tokoh panutan mereka. Tak sedikit pun keramahan ditunjukkan Tuk. Lalu beliau duduk dan kami juga duduk di sebelas pelepah pinang yang secara misterius telah beliau sediakan. Mahar tampak sangat terpesona dengan sang datuk, baginya ini mimpi yang menjadi kenyataan. Tapi ia masih tak berani mendekat karena takut. Maka Flo bangkit menghampiri Mahar, menarik tangannya, dan wanita muda luar biasa itu tanpa tedeng aling-aling menyeret Mahar menghadap datuk.
Selanjutnya dengan amat berhati-hati Mahar berbisik pada sang datuk. Tuk memandang jauh ke samudra yang berkilauan tak peduli meskipun Mahar menceritakan bahaya maut yang kami alami untuk menjumpainya. Suara Mahar terdengar sayup-sayup
"... ombak setinggi tujuh meter.... "
"... badai ... angin puting beliung ... tiang la-yar patah ... azan ...."
Tuk Bayan Tula mendengarkan tanpa minat. Mahar melanjutkan kisahnya hingga sampai kepada tujuan utama kedatangannya.
"... saya dan Flo akan diusir dari sekolah .... "
"... sudah mendapat surat peringatan karena nilai-ni-lai yang merah ...."
"... minta tolong agar kami bisa lulus ujian ........ "
"... minta tolong Datuk, tak ada lagi harapan lain ...."
"... dimarahi orangtua dan guru setiap hari .... "
Kami diam seribu basa dan terus-menerus memandangi Tuk dari ujung kaki sampai ujung rambut.
Tiba-tiba tak dinyana, Datuk memalingkan wajahnya pada Mahar dan Flo. Kedua anak nakal itu pucat pasi. Tuk memegang pundak Mahar sambil mengangguk-angguk. Mahar berseri-seri bukan main seperti korban longsor dicium presiden. Para anggota Societeit tampak bangga ketuanya disentuh dukun sakti pujaan hati mereka. Mahar mengerti apa yang harus dilakukan. Ia menge-luarkan sepucuk surat dan sebuah pena lalu me-nyerahkannya dengan penuh hormat pada Tuk. Datuk itu mengambilnya dan dengan kecepatan yang tak masuk akal beliau kembali masuk ke dalam gua.
Selanjutnya terjadi sesuatu yang sangat aneh. Dari dalam gua terdengar suara keras bantingan-bantingan seperti sepuluh orang sedang berkelahi. Kami terlonjak dari tempat duduk, berkumpul rapat-rapat, mamandang waspada ke dalam gua. Kami mendengar suara auman seekor binatang buas bersuara menakutkan yang belum pernah kami dengar sebelumnya.
Jelas sekali di dalam sana Tuk Bayan Tula se-dang bertarung habis-habisan dengan makhluk-makhluk besar yang ganas. Rupanya untuk meme-nuhi permintaan Mahar beliau harus mengalahkan ribuan hantu. Seberkas penyesalan tampak di wajah Mahar. Ia tak sanggup menanggungkan beban jika tokoh kesayangannya harus tewas karena permohonannya.
Debu mengepul dari pasir lantai gua karena makhluk-makhluk liar bergumul di dalamnya. Kami bergidik cemas tapi tak berani mendekat. Kami menunduk memejamkan mata membayangkan risiko maut. Lalu piring kaleng, panci, tulang-tulang ikan, tempurung kelapa, tungku, cangkir, cambuk, parang, dan sendok terlempar keluar gua dan ber-serakan di dekat kami. Di antara benda-benda itu terdapat primbon, penanggalan tradisional Bali, peta laut, dan beberapa kitab lama bertulisan tangan bahasa Melayu kuno dan Kek.
Pertempuran demikian seru hingga akhirnya terdengar jeritan kekalahan. Lalu kami melihat puluhan sosok bayangan lelembut berbentuk seperti jasad terbungkus kain kafan hitam beterbangan melesat cepat keluar dari dalam gua menembus pucuk-pucuk pohon santigi menghilang ke arah laut. Anjing-anjing hutan kembali melolong agaknya lolongan anjing-anjing itu memaki-maki gerombolan hantu yang telah dikalahkan Tuk Bayan Tula.
Tuk Bayan Tula kembali hadir di mulut gua da-lam keadaan terengah-engah, compang-camping, dan berantakan. Aku sangat prihatin melihat orang sakti sampai terseok-seok seperti itu. Demi memenuhi permintaan Mahar dan Flo agar tak diusir dari sekolah beliau telah mempertaruhkan jiwa.
Tuk mengangkat gulungan kertas pesannya tinggi-tinggi seakan mengatakan, "Lihatlah wahai manusia-manusia cacing tak berguna, siapa pun, kasat atau siluman tak 'kan sanggup melawanku. Aku telah membinasakan iblis-iblis dari dasar neraka untuk membuat keajaiban yang membalikkan hukum alam. Nilai-nilai ujianmu akan melingkar sendiri dalam kegelapan untuk menyelamatkanmu di sekolah tua itu. Terimalah hadiahmu, karena engkau anak muda pemberani yang telah menantang maut untuk menemuiku ...."
Tuk menyerahkan gulungan kertas itu yang disambut Mahar dengan kedua tangannya seperti gelandangan yang hampir mati kelaparan menerima sedekah. Mahar memasukkan gulungan kertas ke dalam tempat bekas bola badminton dengan amat hati-hati dan menutupnya rapat-rapat seperti arsitek menyimpan cetak biru bangunan rahasia tempat menyiksa aktivis. Kotak itu dimasukkannya ke dalam jaketnya. Tuk memberi isyarat agar kertas itu dibuka setelah kami tiba di rumah dan menunjuk ke perahu agar kami segera angkat kaki. Tak sempat kami mengucapkan terima kasih, secepat kilat, seperti angin Tuk Bayan Tula lenyap dari pandangan, sirna ditelan gelap dan asap dupa gua persemayamannya.
Kami lari terbirit-birit menuju perahu. Nakhoda segera menghidupkan mesin. Kami langsung kabur pulang. Mahar memegangi kotak bola badminton di jaketnya tak lepas-lepas. Wajahnya senang bukan main. Flo juga tersenyum lega. Kertas itulah sertifikat asuransi pendidikan mereka. Kami semua sepakat akan membuka surat itu besok se-pulang sekolah di bawah ffficium.
Tengah hari itu banyak orang berkumpul di bawah pohon filicium. Seluruh teman sekelasku, seluruh anggota Societeit termasuk nakhoda yang juga menyatakan minat mendaftar sebagai anggota baru, dan para utusan terdahulu yaitu dua orang dukun, kepala suku Sawang, dan seorang polisi senior. Karena berita kami mengunjungi Tuk Bayan
Tula telah tersebar ke seantero kampung maka dalam waktu singkat reputasi Societeit melejit. Semua orang tahu betapa besarnya risiko mengunjungi Pulau Lanun, yaitu ombak yang ganas, ikan-ikan hiu, dan kekejaman Tuk Bayan Tula sendiri. Maka dalam pembukaan pesan Tuk siang ini banyak sekali yang hadir. Kulihat ada Tuan Pos, para calon anggota baru Societeit yang bersemangat karena reputasi baru organisasi, beberapa penjaga dan pemilik warung kopi, beberapa orang tukang gosip, tukang ikan, juragan-juragan perahu, dan beberapa penggemar para normal tingkat pemula.
Setelah seluruh guru pulang Mahar dan Flo keluar dari kelas dengan wajah berseri-seri. Langkahnya ringan karena beban hancurnya nilai-nilai ulangan yang telah sekian lama menggelayut di pundak mereka akan segera sirna. Mereka yakin sekali pesan Tuk akan menyelamatkan masa depannya. Parapsikologi, metafisika, dan paranormal terbukti bisa memasuki area mana pun, demikian kesan di wajah keduanya. Lalu kesan lain: kalian boleh membaca buku sampai bola mata kalian meloncat tapi Tuk Bayan Tula akan membuat kami tampak lebih pintar, atau: bel-ajarlah kalian sampai muntah-muntah dan kami akan terus mengembara mengejar pesona dunia gaib, tapi tetap naik kelas sampai tingkat berapa pun.
Mahar dengan cermat mengeluarkan kotak bo-la badminton, ia membuka tutupnya pelan-pelan. Mengambil gulungan kertas itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Baginya itulah dokumen deklarasi kemerdekaan dirinya dan Flo dari penjajahan dunia pendidikan yang banyak menuntut. Mahar meme-gangi gulungan itu kuat-kuat dan sebelum membukanya ia memberikan sebuah pidato singkat:
"Nasib baik memihak para pemberani!" Itulah pembukaan pidatonya, sangat filosofis seperti Socrates sedang memberikan pelajaran filsafat pada murid-muridnya. Anggota Societeit mengangguk-angguk setuju.
"Inilah pesan yang kami dapatkan dengan su-sah payah. Kami mengikatkan diri pada tiang layar karena nyawa kami tinggal sejengkal dan kami memuntahkan cairan terakhir yang rasanya pahit untuk mendapatkan keajaiban ini!"
Anggota Societeit bertepuk tangan bangga mendengar pidato hebat ketuanya. Demi menyak-sikan pembukaan pesan ini sang teller BRI bolos kerja sedangkan bapak Tionghoa tukang sepuh emas menutup tokonya. Mahar melanjut-kan pidato dengan berapi-api.
"Kami rela menggadaikan harta benda kesa-yangan dan berani mengambil risiko dimusnahkan dari muka bumi oleh Tuk Bayan Tula, tapi akhirnya kami bisa membuktikan bahwa Societeit de Limpai bukan organisasi sembarangan!"
Mahar berpidato penuh wibawa di hadapan para pengikutnya lalu seperti biasa ia mengeluarkan bahasa tubuhnya yang khas: menaikkan alis, mengangkat bahu, dan mengangguk-angguk.
"Kami menyaksikan sendiri bahwa Tuk Bayan Tula bertempur habis-habisan untuk memberi kita pesan pada kertas ini!! Sebagai ketua Societeit, saya merasa mendapat respek dengan perlakuan beliau itu."
Anggota Societeit kembali bertepuk tangan bergemuruh. Wajah Flo tampak semakin cantik ketika ia gembira.
"Maka, inilah prestasi tertinggi Societeit de Limpai."
Mahar mengangkat lagi gulungan kertas pesan Tuk Bayan Tula tinggi dan akan segera membukanya.
Semua orang merubung ingin tahu. Beberapa peminat, termasuk aku, sampai naik ke atas dahan-dahan rendah filicium agar dapat membaca pesan Tuk. Tangan Mahar gemetar memegang gulungan kertas keramat itu dan wajah Flo memerah menahan girang, ia melonjak-lonjak tak sabar menunggu kejutan yang menyenangkan. Semua orang merasa tegang dan sangat ingin tahu. Mahar perlahan-lahan membuka gulungan kertas itu dan di sana, di kertas itu tertulis dengan jelas:
INILAH PESAN TUK-BAYAN-TULA UNTUK
KALIANBERDUA,
KALAU INGIN LULUS UJIAN:
BUKA BUKU,BELAJARLAH
Laskar Pelangi Adalah Novel Karya Andrea HirataTanpa Bermaksud Merugikan Sang Penulis,Cuma Sekedar Sharing Saja. Jangan Lupa Silahkan Beli Novel Karya - Karya Beliau.
0 Komentar:
Post a Comment