Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Bagian 11
Sebagai sahabat dekat, jujur aja gw merasa kehilangan setelah kepergian Indra. Biasanya tiap balik kerja gw mendapati pintu kamarnya terbuka dan di dalamnya dia lagi asyik maen PS. Tapi selama berhari-hari, dan gw yakin akan sama seterusnya, pintu itu akan terus tertutup. Menunggu sampai ada penghuni barunya.
Memang ada sedikit yg mengganggu dengan pengakuan soal Echi kemarin, tapi gw nggak bisa begitu saja menepikan Indra sebagai sahabat gw. Dia orang pertama yg gw utangin waktu pertama dateng ke kota ini dan kehabisan duit. Hahaha.. Masih cukup banyak yg bisa disebutkan untuk membuktikan dia memang orang yg baik.
Tapi gw juga turut gembira dengan keberhasilannya itu. Sebentar lagi hidupnya akan nyaris sempurna. Karir yg baik serta materi yg cukup, akan dilengkapi dengan pendamping setia. Tinggal menunggu kelahiran buah hati beberapa bulan kemudian, maka sudah benar-benar sempurna lah hidupnya.
"Kapan lo nyusul Indra?" suara Meva membuyarkan lamunan gw.
"Eh, kenapa?" gw tutup majalah di tangan gw dan meletakannya di lantai. "Lo tanya apa tadi?"
"Yeeee lo ngelamun ya??" tanya Meva.
"Enggak kok. Dikit doank sih."
"Haha...ngelamun jorok pasti, gw tau deh."
"Iya, gw ngebayangin lo tiduran di kasur pake bikini doank, terus...terus manggil gw pake suara mendesah gitu.... 'Ariii...' "
"Cukup, cukup. Sebelum buku ini melayang ke kepala lo, tolong hentikan cerita konyol itu."
"...'sini..'..." dan gw tiduran di kasur sambil memeragakan yg gw omongkan sementara Meva menatap gw dengan tatapan jijik. "terus gw deketin lo...."
"Aaaah...udah cukup!" Meva mengambil bantal dan menutupi wajah gw dengan bantal sampe gw susah bernapas. "Cerita lo nggak lucu!"
Gw berteriak tapi yg muncul cuma seperti gumaman. Suara gw tertelan bantal. Dan beberapa saat setelah gw nyaris sesak napas gw berhasil melepaskan diri dari bantal Meva.
"Otak lo ngeres yah...gw baru tau." Meva berkomentar.
"Sialan lo Va, tadi malaikat pencabut nyawa udah nanyain gw tuh mau di kamer nomer berapa," kata gw dengan napas memburu. "Untung aja dia pergi lagi."
"Kenapa pergi?"
"Nggak nemuin harga yg cocok."
Meva tertawa.
"Malah ketawa! Orang hampir mati juga malah lo ketawain," gerutu gw.
Glekk...segelas air terasa segar membasahi kerongkongan gw.
"Hehehe..maaf deh," kata Meva. Dia kembali asyik dengan bukunya. Ada tugas kuliah yg lagi dikerjainnya.
"Eh, sejak kapan lo pake kacamata?" gw baru menyadari bingkai tipis yg melingkari kedua bola matanya.
Meva mengangkat wajahnya. Dia tertawa geli.
"Lo kemana aja? Dari dulu kali, gw udah pake kacamata," jawabnya.
Gw kernyitkan dahi.
"Masa sih?" dan gw mencoba mengingat-ingat. "Enggak ah, gw baru kali ini liat lo pake kacamata."
"Masa? Syukurlah, berarti mata lo udah sembuh sekarang."
Gw mencibir. Tapi jujur aja gw memang baru liat Meva pake kacamata itu hari ini. Sebelum-sebelumnya nggak pernah.
"Mata gw minus setengah, cukup nggak jelas buat ngebaca tulisan cacing ini," dia menunjuk tulisannya sendiri. "Tiap kuliah juga gw pake kacamata kok. Ada yg aneh ya kalo gw pake kacamata?"
Gw menggeleng.
"Enggak. Lo malah keliatan tambah cantik kalo pake kacamata," kata gw. Tapi dalam hati. Hehehe..
"Berarti selama ini lo nggak bisa liat muka gw donk?" tanya gw tolol.
"Ya bisa laah," protes Meva. "Cuma emang rada nggak jelas aja sih. Menurut gw lo cakep kok. Tapi setelah gw pake kacamata, lo keliatan banget jeleknya tuh." Dan dia pun tertawa puas.
"Tapi gw nggak butuh kacamata buat liat seberapa cantiknya elo Va..." kata gw lagi. Dalam hati tentunya.
"Ya ya ya puas-puasin aja deh ngejeknya," gerutu gw.
"Hahaha gitu aja ngambek," sahut Meva. "Iya iya lo cakep kok Ri.."
"Kenapa mesti pake 'cakep kok', nggak 'cakep' aja? Nggak ikhlas banget nih ngomongnya."
Meva tertawa lagi.
"Udahlah, gw mau ngerjain tugas. Sore ini lo udah lebih dari sepuluh kali bikin gw ketawa. Tugas gw nggak kelar-kelar niih."
"Yah itu mah elo nya aja Va yg nggak bisa. Pake nyalahin gw."
"Sapa yg nyalahin? Enggak kok, gw nggak nyalahin lo. Cuma nyari penyebab kenapa gw nggak cepet nyelesein tugas gw."
"Sama aja!"
"Enggak, beda..."
"Heeuh beda...embe jeung kuda."
Meva kernyitkan dahi. Menatap gw lalu meledak lagi tawanya ke penjuru kamar.
"Tuh kan, lo itu bikin gw ketawa mulu. Udah balik sana ke kamer lo, sampe gw selesai ngerjain ini," katanya.
"Gw diusir nih?"
"Iya!!"
Gw mendengus keras. Lalu berjalan keluar menuju kamar gw. Dari luar sudah terdengar dering handphone gw di dalam. Buru-buru gw masuk dan ambil handphone gw.
"Halo?" gw menjawab tanpa melihat siapa yg menelepon.
"Hai Ri. Kenapa baru diangkat sih? Lagi ngapain aja dari tadi?" sepertinya suaranya gw kenal. Gw liat layar handphone gw. Di situ terpampang nama Lisa_cantik. Weitz! Sejak kapan gw kasih nama itu? Pasti Lisa sendiri yg edit kontaknya!
"Maaf tadi disilent hp nya."
"Nggak papa kok. Kamu lagi di kosan kan?"
"Iya. Kenapa?"
"Aku ke situ sekarang ya.."
Tuut...tuut...tuut...
"Halo? Halo?"
Ah, kurang ajar maen nutup telepon aja!!
"Halo," setelah sepuluh menit berlalu akhirnya Lisa menelepon gw.
"Eh Lis, lo jadi ke kosan gw?" tanya gw.
"Iyalah jadi...kan tadi udah gw bilang?"
"Mmmm....tapi gw lagi di luar Lis," kata gw. Tentu aja bohong. Waktu itu gw lagi duduk di ujung tangga.
"Yah..kok gitu? Katanya lo ada di kosan?"
"Iya tadi sih ada, tapi sekarang gw lagi keluar. Lo nanti aja ya maennya?"
"Nggh.....kalo gitu gw tunggu di kosan lo aja deh? Udah kepalang tanggung. Lo nya masih lama nggak?"
"Weittz...nunggu?" gw kaget kan ceritanya. "Emang lo sekarang udah nyampe mana?"
"Gw udah di kosan lo," suara Lisa sedikit aneh. Seperti bergema dan keluar dari speaker handphone gw.
"Oiya?"
"Iya. Nih gw bisa liat lo," suaranya benar-benar keluar. Bukan dari speaker handphone, tapi dari ujung bawah anak tangga.
Lisa ada di sana. Berdiri di ujung belokan tangga sambil menengadah menatap gw yg ada di ujung atas.
"Eh, lo udah di sini aja..." ujar gw. Malu setengah mampus gw!
"Katanya lagi di luar?" dia berjalan menaiki anak tangga menuju gw.
Beberapa kali gw presentasi dengan bos-bos gw dan ditanyai pertanyaan menyulitkan, tapi jujur aja rasanya saat ini pertanyaan sederhana dari Lisa susah banget dijawab!
"Eh, ngg... anu...." apa yg kudu gw jawab yaa? "I...iya...ini..... Ini lagi di luar kok."
Lisa kernyitkan dahi.
"Maksud gw tadi, gw lagi di luar kamer. Iya! Itu dia maksud gw!!" dan gw cengengesan malu.
Lisa tertawa pelan.
"Wah lo humoris juga yah?" komentarnya.
Hahaha...gw tertawa garing dalem hati. Maaf Lisa...gw bukan humoris, tapi ngeles-is. Kali ini gw salut sama diri gw sendiri atas keberhasilan ngeles tadi!
Lisa duduk di sebelah gw. Kami berdua mendadak jadi portal sukarelawan di tangga.
"Udah makan?" tanya Lisa ke gw.
Gw, yg masih sedikit shock dengan kesuksesan tadi, menjawab dengan anggukan kepala.
"Lo baru balik Lis?" gw balik tanya.
"Enggak juga, gw bareng kok sama lo pulang jam empat tadi. Cuma gw mampir dulu ke supermarket, ada yg gw beli."
Gw nyengir malu. Lisa celingukan memandang sekitar.
"Nyari apa sih?" tanya gw heran.
"Mana cewek itu?" katanya.
"Cewek yg mana ah?"
"Yg waktu itu di kamer lo. Siapa namanya...Neva ya? Mana dia?"
"Meva. Ada kok di kamernya. Emang kenapa sama dia?"
Lisa senyum simpul.
"Enggak papa...enggak papa..." jawabnya. Gw tau nih, cewek kalo ngomong 'enggak papa' justru artinya 'ada apa-apanya'.
"Dia anak mana sih?" lanjut Lisa.
"Meva, maksudnya?"
Lisa anggukkan kepala.
"Bukan orang sini kok. Rumah di Jakarta, tapi asalnya dari Padang. Kelahiran Kuala Lumpur dan sempet SD di Inggris sebelum namatin SMA di Padang. Terus kuliah di Karawang."
Lisa menatap gw heran.
"Lo tau banyak yaa tentang dia," katanya.
"Enggak juga kok. Cuma sebatas tau dari obrolan aja."
"Dia tipe lo ya?"
Kali ini butuh lima detik buat ngerti pertanyaan Lisa.
"Maksud lo, tipe cewek buat pacar gitu?"
"Iyalah."
"Emmmh...kalo gw sih nggak terlalu pinter milih cewek. Nggak ada tipe khusus buat gw, yg penting cocok aja. It's oke."
"Oiya? Masa cuma cocok? Kalo cocok tapi punya penyakit bisul gimana??"
"Hah? Ada-ada aja lo mah."
Gw dan Lisa tertawa.
"Yah gw mah standar aja lah. Terlalu muluk kalo gw pengen dapet yg sempurna, karna gw tau gw sendiri nggak cukup sempurna buat itu."
"Haha..sok bijak lo."
Gw nyengir. Sore ini Lisa masih pake pakaian kantor, tapi ada sedikit yg beda dari penampilannya. Tapi apa ya? Di mana nya?
"Kalo tipe cewek lo sesederhana itu," kata Lisa. "Kira-kira gw masuk kriteria enggak?"
Entah gw yg berasa apa emang iya, tapi kalo gw liat Lisa nanya ini dengan tatapan aneh. Enggak tau gw juga nggak ngeh.
"Gw masuk kriteria lo enggak?" Lisa mengulangi pertanyaannya.
"Emmh...masuk nggak ya?" kata gw sambil bingung nyari jawaban yg pas. "Lo cantik kok."
"Ah, masa?"
Gw ngangguk-ngangguk bloon.
"Jadi, gw masuk kriteria?" tanyanya penuh harap.
"Ehm....."
"Ari?" sebuah suara mengejutkan kami.
Suara Meva. Dia berdiri di depan pintu kamarnya.
"Kirain lagi ngobrol sama siapa. Dari dalem rame banget kedengerannya. Hay Lisa," sapanya ramah. Dia senyum lebar ke Lisa.
Lisa menatap risih ke arah Meva.
"Kita pernah kenal ya?" sahut Lisa. Cukup mengejutkan gw.
Meva sendiri nampaknya nggak terganggu dengan pertanyaan Lisa tadi.
"Hay Va. Gabung sini yuk ngobrol bareng kita," kata gw berusaha menyenangkan.
"Hah?" Lisa menatap gw heran. "Bukannya kita mau jalan ya Ri?"
"Jalan? Kapan?" gw lebih heran lagi.
"Sekarang lah, kan tadi udah janjian?"
Gw memandang Meva dan Lisa bergantian. Seinget gw tadi gw samasekali nggak ngomongin soal jalan deh ke Lisa...
"Oh mau jalan ya?" kata Meva. "Ya udah ati-ati di jalan ya sayang.." dia memandang gw. "Kamer aku nggak dikunci, ntar malem kita ngobrol-ngobrol lagi yah?"
Meva tersenyum nakal ke gw, melambaikan tangan, lalu menutup pintu kamarnya perlahan...
"Dia manggil lo apa tadi?" Lisa menatap sebal ke gw.
"Eh, enggak kok...dia lagi becanda doank," gw berkilah.
Lisa mendengus kasar. Dari ekspresi wajahnya keliatan banget dia kesal. Kalo aja di depannya sekarang ada tumpukan piring, pasti udah langsung dia cuci tuh!! Hehehe...apa hubungannya yak?
"Hubungan kalian apa sih? Kalian enggak pacaran kan?" tanyanya lagi.
"Mmmmh...entahlah. Gw juga bingung nyari kata yg pas buat ngegambarinnya."
Lisa menarik nafas berat.
"Lo suka sama dia?" tanyanya kemudian.
Sejenak gw diam. Setelah berpikir beberapa saat akhirnya gw memutuskan menyudahi pembicaraan tentang Meva.
"Lo tunggu di sini bentar. Gw mau ganti pakaian dulu," kata gw.
"Mau ke mana?"
"Kan kita udah janjian mau jalan??"
Lisa diam sebentar.
"Di sini aja deh," kata Lisa. "Ntar jalannya kalo hari libur. Sekarang juga udah mau malem."
Benar. Jam di handphone gw menunjukkan pukul lima sore lewat tigapuluh tiga menit.
"Kalo gitu mending lo balik aja," usul gw. Lisa pernah cerita tentang nyokapnya yg rewel kalo dia pulang telat.
"Oke, gw balik. Selamat ngobrol-ngobrol ya sama si Neva????" wajahnya masih kusut.
Gw tertawa geli.
"Kalo emang belum mau balik ya udah di sini aja nggak papa," gw meralat ucapan gw sebelumnya.
"Enggak deh makasih, gw cuma jadi pengganggu aja!"
"Hey Lisa..." kata gw. "Kenapa jadi kayak anak kecil gitu sih? Nyantai aja laah. Gw minta maaf kalo ucapan Meva tadi sedikit nyinggung lo."
"Sedikit? Banget tau nggak!"
Gw menatapnya iba. Gw yakin aktifitasnya hari ini sudah cukup membuatnya lelah.
"Sini deh," gw menariknya ke balkon. Berdiri berhadapan di sana dengan gw bersikap sok cool. Haha!
"Gw boleh tanya sesuatu?" kata gw. Lisa anggukkan kepala sebagai jawaban. "Gw cuma pengen tau, sebenernya apa sih yg bikin lo nggak suka sama Meva?"
Lisa tampak sedikit kebingungan dengan pertanyaan yg gw ajukan.
"Ya nggak suka aja!" jawabnya. "Dia nggak asyik."
"Nggak asyik gimana? Dari pertama ketemu bukannya lo yg nggak mau waktu diajak salaman?"
"Lho, kok lo malah nyalahin gw?!"
"Enggak kok gw nggak nyalahin lo," gw nyengir. Kayaknya sore ini Lisa beneran lagi sensi. "Cuma menurut gw, justru lo yg nggak asyik. Yaah apa ya namanya...lo nggak nunjukin sikap bersahabat aja ke dia..."
"Tuh kan nyalahin gw!" seru Lisa sewot. "Udah aja terus salahin gw! Bela aja tuh cewek itu!"
Suaranya cukup keras untuk didengar oleh Meva di kamarnya.
"Gw nggak nyalahin lo. Gw juga nggak ngebela Meva. Gw heran aja, kenapa sih kalian berdua nggak akur? Lo sama dia tuh sama-sama temen deket gw."
"Karena gw sama dia punya perasaan yg sama."
Gw kernyitkan dahi.
"Ah iya, sesama cewek pasti ada semacam ikatan batin buat ngebaca perasaan orang ya?" gw berkomentar konyol. "Ternyata hebat ya cewek itu!"
"Bukannya cewek yg hebat, tapi lo nya aja yg terlalu bodoh dan nggak bisa ngebaca perasaan cewek," sergah Lisa. "Atau lo memang pura-pura bodoh??"
Gw tersenyum simpul.
"Gw bukan Copperfield yg bisa baca pikiran orang," kata gw.
"Perasaan, Ri..bukan pikiran," tandasnya geram.
"Ah yah apapun itu lah, gw lebih suka baca komik atau koran..."
Lisa menggeleng pelan.
"Oke," katanya. "Lo pikir selama ini gw bersikap baik ke lo, karna apa coba?"
"Karena lo memang orang baik. Bukan begitu? Atau gw salah? Mungkin ternyata lo adalah monster jahat dari planet Mars yg berpura-pura baik padahal lagi mengintai manusia, dan berusaha mencari cara supaya bisa membunuh Ultraman? Haha.. Lucu juga."
Lisa menatap malas ke gw. Tatapan matanya cukup mengatakan "nggak lucu!" yg nggak dikatakannya.
"Oke oke, lo memang orang baik. Menyenangkan dan bersahabat. Itu aja."
Lisa mengembuskan nafas berat.
"Yah lo kayaknya butuh les private ke psikiater biar bisa baca perasaan orang.." katanya dengan ekspresi dan nada bicara yg lebih kalem. "Udah ah gw balik ya? Males gw buang-buang waktu buat debat nggak penting."
"Oh, oke. Ati-ati di jalan..."
cuupppph...
Lisa mengecup pipi kanan gw. Berhenti selama dua detik buat gw merasakan embusan nafasnya di telinga gw. Lalu membisikkan kalimat perpisahan.
"Sampe ketemu besok di kantor," ucapnya.
Dan sebelum gw sempat sadar dari kejadian mengejutkan tadi Lisa sudah beranjak pergi meninggalkan gw yg terdiam sendiri di balkon. Gw usapi pipi gw. Nggak basah... Tapi sempat ada sensasi hangat gitu.
Kecupan tadi......sama seperti yg pernah gw rasakan, dulu waktu gw sama Echi! Entah apa yg membuatnya sama, tapi rasanya seperti dejavu! Gw nggak pernah ngerasain lagi seperti itu setelah kepergian Echi...
Dan hari ini..........
Ah, sudahlah. Itu cuma salam perpisahan kok. Di banyak negara maju kan cipika-cipiki semacam itu adalah lumrah. Gw nya kelewat lebay. Haha...
Dan setelah beberapa saat terdiam, gw baru sadar satu hal. Ada yg beda dari penampilan Lisa hari ini. Dari tadi gw nyari-nyari apa dan di mana bedanya. Gw baru inget, hari ini Lisa pake stoking hitam seperti yg biasa dipake Meva..........
"Ekhem!" Meva muncul dari tangga.
Malem itu gw lagi nyetem gitar warisan Indra di beranda. Kayaknya Meva baru balik dari warung abis makan malem.
"Ada yg lagi fallin in love yah!?" serunya.
"Siapa?" tanya gw.
"Ya siapa lagi kalo bukan cowok yg tadi sore abis dapet ciuman di pipi!" katanya bersemangat.
Glekk... Gw menelan ludah. Ni anak rupanya ngintip pas adegan tadi sore. Jadi malu gimana gitu!
"Nggak sopan ngintipin orang," ujar gw sambil tetap memutar pengunci senar, berusaha menemukan nada yg pas.
"Gw nggak ngintip kok," Meva berkilah. "Kejadiannya di depan mata kepala gw sendiri. Tadinya mau nggak liat, tapi yah terlanjur...gw mau tau ajah! Hehehehe."
"Dasar otak mesum," sindir gw.
"Enak aja. Lo kali yg mesum! Gw mah enggak."
Gw tertawa mengejek.
"Eh eh kenapa tadi si Lisa nggak lo seret aja ke dalem kamer???" kata Meva tampak antusias.
"Tuh kan elo yg otak mesum!" sahut gw. "Ngapain juga coba bawa dia ke kamer??"
"Yaah sapa tau loe butuh sukarelawan buat beresin kamer?"
"Enggak. Kamer gw nggak pernah berantakan. Gw mah orangnya rapi, enggak kayak loe.....cewek tapi males beres-beres. Segala daleman dipajang di tembok pula!"
Meva nyengir malu.
"Ngapain gw capek-capek beresin kamer, yg keluar masuk kamer gw kan cuma elo? Nggak perlu rajin-rajin laah.. Lo juga bukan tamu."
"Pake alibi lagi. Males mah males aja neng."
Meva pasang wajah cemberut. Tapi entah kenapa gw justru malah pengen ketawa liat mukanya. Kocak banget kalo lagi belagak sewot gitu.
"Jadi..."
"Jadi apaan?" potong gw.
"Bentar dulu, kasih kesempatan gw ngomong napa? Maen serobot ajah!"
"Oh, kalo gitu waktu dan tempat kami persilakan..."
"Nggak lucu. Garing. Lo nggak ada bakat jadi pelawak."
"Siapa bilang? Gw ada bakat kok, cuma yah bakat terpendam gitu. Saking terpendamnya sampe nggak keliatan!"
Meva tertawa.
"Jadi, lo sama Lisa..." Meva membentuk dua paruh burung yg berhadapan dengan jari-jari kedua tangannya, lalu menempelkan ujungnya beberapa kali. "Kalian resmi pacaran?"
"Ah enggak kok. Belum diresmiin sama Lurah."
"Yee lo mah gitu, gw tanya serius juga!" Meva mencibir. "Kalian pacaran yak?"
"E-N-G-G-A-K."
"Alaah...bokis banget. Ngapain juga cipokan kalo belum jadian?"
"Dia yg nyosor gw, jadi nggak bisa dibilang sebagai bentuk kissing. Okay? Lagian cuma di pipi doank."
"Tapi lo nggak nolak kan? Sama aja itu mah!"
"Beda laah... Ciuman itu kalo bibir sama bibir, itu baru disebut ciuman. Yg tadi sore mah bukan. Apa perlu gw praktekin?" gw bergerak maju. Waktu itu jarak kami sekitar setengah meter. Dengan cepat Meva melempar sendal jepit dari lantai ke arah muka gw, tapi kali ini gw bergerak cepat menghalau dengan gitar. Sendalnya jatuh ke lantai. Gw tertawa kemudian duduk kembali di kursi.
"Berani gerak satu inchi ke arah gw, gw jamin gw adalah orang terakhir yg lo liat di hidup lo," Meva mengultimatum. Tapi gw yakin dia nggak serius dengan ucapannya.
Gw tertawa lagi.
"Gw enggak jadian kok sama Lisa," kata gw. "Lo tenang aja, masih ada peluang lebar buat lo," lanjut gw dengan pede nya.
"Huh, nggak minat gw sama cowok tukang tidur kayak loe."
Gw tertawa kecil. Baru sadar gitarnya sekarang makin fals aja gara-gara nggak konsen diajak ngobrol Meva.
"Kedengerannya tadi dia marah sama lo?"
"Marah? Enggak juga.."
"'Enggak juga' gw anggap kata lain dari 'iya'."
"Dia nggak marah ke gw, tapi marahnya ke elo."
Meva tampak sedikit terkejut.
"Oiya? Kok bisa??"
"Enggak ngerti gw juga. Serah deh cewek mah susah dimengerti," gw menyetem ulang gitar.
"Dia cemburu tuh sama gw. Hehehe... Lucu banget liat ekspresinya waktu gw bilang yg soal kamer itu. Hihihi.."
"Ooh jadi lo sengaja ya bilang gitu, biar manas-manasin Lisa?"
"Iya," Meva mengangguk mantap. "Dan tadi berhasil banget tuh. Kayaknya gw sekarang jadi the public enemy number one buat dia. Hahaha."
"Lo jahat ah."
"Weittz...tunggu dulu. Dia yg jahat! Waktu pertama ketemu, lo inget kan, dia nolak ajakan salaman gw? Tadi juga dia belagak nggak kenal pas gw sapa! Ya udah daripada kesel mending gw kerjain ajah!"
Gw menyeringai kecil.
"Eh, emang lo sendiri ngerespon dia kayak gimana?? Kayaknya masih cuek-cuek aja deh."
"Emang kudu gimana? Biasa aja ah."
"Yee elu mah, ada cewek yg suka sama lo malah dicuekin!"
"Belum mau pacaran gw... Kata mamah, nggak boleh pacaran dulu minimal sampe punya rumah. Punya mobil, punya landasan pribadi buat helikopter pribadi gw, punya..."
"Keburu tua dulu itu mah!!" potongnya. Dan kami berdua tertawa.
"Lo suka nggak sih sebenernya sama Lisa?"
Gw berpikir sejenak.
"Ada iya nya ada enggak nya juga. Jadi gimana yak?"
"Yaah parah abis deh loe."
Gw nyengir lebar. Dan malem itu, topik pembicaraan kami adalah Lisa. Meva banyak tanya soal dia. Tentang asalnya, sifatnya, juga tentang perform dia di kantor. Kalo gw liat sih Meva pengen tuh jadi wanita karir kayak Lisa.
Dan akhirnya obrolan ditutup dengan rencana maen ke rumah Indra akhir pekan ini. Sip. Gw setuju. Bakal ada reunian nih...
Sabtu pagi yg cerah. Gw bangun saat jam di handphone gw menunjukkan pukul setengah delapan. Gw langsung inget hari ini gw janji berkunjung ke rumah Indra. Kemaren jg gw udah sms Indra soal ini, dan katanya dia siap jadi tuan rumah yg baik buat dua tamu istimewanya.
Dua tamu? Oh iya, gw sama Meva. Tapi kayaknya dia belum bangun tuh. Pas gw keluar kamer juga pintu kamernya masih tertutup rapat. Di samping gw masih ada papan catur bekas pertandingan semalem yg lupa gw bereskan saking ngantuknya.
Dan weekend pagi selalu sama dengan weekend-weekend sebelumnya. Jadwal pertama adalah nyari sarapan, terus nyuci pakaian plus seragam kerja, lalu mandi dan diakhiri dengan ngejemur pakaian di bawah. Kosan ini nggak punya selasar buat jemur pakaian, jadi gw biasa jemur di samping parkiran motor. Tapi kebanyakan yg lain pada pasang kawat di depan kamar sebagai jemuran, jadi yg biasa jemur di bawah cuma beberapa orang termasuk gw.
Dengan hanya mengenakan celana kolor pendek gw gotong ember penuh cucian. Di lantai bawah, aktifitas Sabtu pagi sudah terasa. Musik-musik yg beradu dengan suara televisi yg menyiarkan berita pagi diselingi obrolan beberapa teman. Tentu saja, ditemani kepulan asap rokok di mana-mana. Kalau saja Indra belum pindah, dia pasti lagi nyuci motornya di pojokan sambil ngudud rokok favoritnya. Sekarang tempat tongkrongannya dipake si Raja. Katanya ini wasiat dari Indra, supaya dia meneruskan nyuci motor di sana. Haha..
"Gw mau maen ke rumah Indra ntar siang, loe mau ikut nggak?" gw berbincang dengan Raja yg sedang menyemprot motornya dengan selang air. Backsound pagi ini lagunya Stinky yg waktu itu masih lumayan tenar. Ada juga yg nyetel Bukan Pujangga nya Base Jam. Tapi gw sih suka classic rock yg selalu diputer "anak tengah" (sebutan buat penghuni kamar di lantai dua).
"Wah gw udah janjian sama cewek gw Ri mau ke Cikarang. Lo sama siapa emang ke sananya?"
"Berdua doank," gw kibaskan baju lalu menaruhnya di kawat jemuran. "Sama Meva."
"Ooh..." Raja mengangguk beberapa kali. "Cewek depan kamer lo itu ya?"
Giliran gw yg ngangguk.
"Kok bisa sih loe deket sama tuh anak? Perasaan kalo sama gw, sama yg lain juga, dia nggak pernah nyapa deh. Ya nggak ramah aja kalo menurut kita."
"Masa? Karna nggak kenal aja itu mah. Dia orangnya asyik kok."
"Loe naksir ya?"
"Naksir sapa?"
"Emang kita lagi ngobrolin siapa?"
"Hehehe. Enggak kok biasa aja. Gw sama dia emang deket, tapi sebatas temen baik. Itu aja."
"Hah..klasik! Entar ujungnya juga kalian pacaran? Tempatnya udah strategis tuh buat pacaran. Tapi inget, jangan sampe bocor." Raja tertawa lepas.
"Sialan! Loe pikir gw mau ngapain?"
"Hahaha.. Ya kali aja! Namanya juga cowok, apalagi sama cewek cakep kayak dia!"
"Udah udah kita cukupkan aja, sebelum loe tambah ngelantur." Gw angkat ember kosong di tangan gw lalu hendak balik ke kamer waktu terdengar derit pagar terbuka.
"Wuih! Pagi-pagi udah ada tamu bening aja!!" ucapan Raja menarik perhatian gw.
Di depan pagar, seorang cewek sedang menutup lagi pintu pagar lalu berjalan ke arah kami.
"Lisa?" gw menyapanya.
Lisa balas tersenyum lalu menyalami tangan gw, membiarkan pipinya yg halus menyentuh punggung tangan gw yg basah. Sementara gw liat si Raja melongo aja tuh kayak kambing congek. Hehehe
"Abis nyuci ya?" Lisa melirik ember di tangan gw.
"Iya. Lo kok pagi-pagi udah ke sini sih? Ada perlu apa?" jujur aja gw sedikit terkejut dengan kedatangannya. Apalagi siang ini kan gw udah janjian sama Meva.
"Lho, kenapa? Nggak boleh ya gw maen ke sini?"
"Eh ya enggak juga sih. Aneh aja pagi-pagi lo udah kemari."
"Mau maen, sekalian ada urusan kerjaan yg mau gw bicarakan ke elo."
"Oh ya udah ke kamer gw deh," gw dan Lisa berjalan meninggalkan Raja yg masih bengong. Hmm pagi ini Lisa wangi banget. Hehehe.
"Lo udah sarapan?" tanya Lisa.
"Udah."
"Sarapan apa?"
"Nasi uduk doank kok."
"Tanya donk, gw udah sarapan belum gitu? Nggak ada inisiatifnya banget sih jadi cowok."
"Hehehe," gw nyengir malu. "Ya udah tuh lo udah tanya sendiri, langsung lo jawab aja dah."
Lisa mencibir lalu berkata.
"Gw belum sarapan. Temenin gw nyari sarapan yah? Sekalian abis itu kita jalan-jalan, gimana?" katanya.
Weiitz. .jalan? Terus gimana sama janji gw ke Indra?
"Gw bisa temenin sarapan doank kayaknya. Siang ini gw janji mau ke rumah temen."
"Emh...kalo gitu ya udah gantian gw yg temenin lo ke rumah temen lo deh. Gimana?"
"Hah? Eh, itu..apa yak...lo nggak bakalan betah deh. Enggak enak juga entar lo dicuekin. Mau?"
"Ya udah deh nggak papa..."
"Hmmm tapi gw perginya sama Meva?"
Lisa hentikan langkahnya. Beberapa anak tangga lagi kami sampe di beranda kamer gw.
"Oh.." serunya tertahan. "Kalo gitu gw balik aja deh. Enggak enak, GANGGU kalian!" dan dia langsung berbalik pergi.
"Heyy mau ke mana lo? Katanya ada masalah kerjaan juga?"
"Gampang di kantor aja."
Huffft...gw salah lagi ternyata. Enggak enak juga sih bikin dia kesel lagi. Tapi yah gw kan emang udah ada janji siang ini? Whatever lah..
Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Adalah Novel Karya Ariadi Ginting a.k.a Pujangga.Lama.
0 Komentar:
Post a Comment