Tempat edit Design template

Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Bagian 23

Artikel terkait : Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Bagian 23




"Selamat paaagiiiii!" nada tinggi ceria khas Meva melengking di penjuru kamar berukuran 4 x 3 meter.

Gw cuma tersenyum. Dalam hati gw bersyukur pagi ini masih bisa mendengar suaranya. Meva berdiri di sisi ranjang gw. Dia tersenyum, mengecup punggung tangan gw lalu mengusap rambut gw pelan.

"Apa kabar kebo ku yg makin jelek aja??" katanya lalu tertawa senang. "Maaf yah semalem gw mau ke sini malah ketiduran. Kecapean kayaknya nih gw."

"Enggak papa kok," gw menggeleng pelan.

"Eh Indra mana? Udah balik?" Meva celingukan nyari Indra.

"Iya udah balik tadi subuh. Dia shif pagi minggu ini."

"Oiya gw lupa. Gw ingetnya jadwal kuliah gw hari ini siang. Hehehe."

Meva tertawa kecil. Ekspresinya ceria banget. Seolah semua beban yg selama ini ditakutinya, menguap begitu saja. Gw maklum dia bersikap seperti ini juga supaya gw ikut terbawa ceria. Gw masih sering inget almarhum nyokap gw soalnya.

"Lo udah sarapan?" tanya Meva.

"Belum jam tujuh Va. Dolly makanan belum muter kayaknya."

"Gw bawa roti. Lo mau?" Meva meraih tas nya.

"Boleh."

"Tapi roti basi. Nggak papa?" tanyanya polos.

Gw kernyitkan dahi heran.

"Hahaha! Gw becanda kali! Enggak kok ini roti beneran. Nih, tadi gw beli pas di jalan mau ke sini." Meva mengeluarkan sebungkus roti dari dalam tas nya.

"......."

"Gw beli di toko makanan basi."

"Meva!"

"Hahaha. Boongan kok. Serius, itu roti baru. Makan aja. Kalo nggak percaya cek tanggal kadaluwarsanya deh."

Gw mencibir. Meva mengambilkan selembar roti tawar, menuangkan susu cokelat sachet di atasnya dan terakhir merangkapnya dengan selembar roti lagi. Dia menyerahkannya ke gw.

"Abis ini minum obat yaah," kata Meva lagi.

Gw anggukkan kepala. Meva cuma duduk berpangku dagu sambil menonton gw makan. Beberapa kali dia nyengir seolah dia ada di sebuah panggung pertunjukan ludruk tengah nonton pelawak favoritnya. Dan yeah, tatapan matanya cukup membuat gw risih.

Begitu roti habis terlahap, dengan cekatan Meva menuangkan segelas air dari botol mineral yg dibawanya kemudian mengeluarkan beberapa butir obat dari laci meja di samping ranjang.

"Thanks Va..." kata gw menerima obat darinya.

Meva tersenyum lebar.

"Eh Ri, sumpah deh lo jelek banget yak kalo belum mandi kayak gini! Udah berapa hari sih lo puasa mandi??" dan Meva pun tertawa.

"Sialan lo," omel gw. "Kemana aja selama ini baru nyadar kalo gw jelek."

"Haha. Gw becanda kok, bo. Gitu aja diambil ati ah. Eh tadi rotinya pasti kelewat manis yak?" tanya Meva.

"Enggak ah. Kenapa?"

"Masa sih biasa aja? Kan lo makannya di deket gw? Harusnya manisnya nambah donk!" tambahnya dengan penuh percaya diri.

Gw mendengus pelan. Ni anak belum sembuh juga over pede nya! Meva nyengir lebar dan menampakkan deretan giginya yg rapi dan putih.

"Pede lo."

"Biarin!" Meva menjulurkan lidahnya.

Gw taroh gelas di atas laci.

"Gimana udah mendingan kan sekarang?" tanya Meva.

Gw mengangguk beberapa kali.

"Gw kaget banget lho malem itu pas lo mendadak nggak bergerak kayak orang mati," ceritanya.

"Oiya? Duh gw malah lupa gimana kronologinya sampe gw bisa ada di sini."

"Yaiyalah mana ada orang mabok bisa inget!" Meva cemberut. "Kenapa sih mesti minum minuman kayak gitu?? Kan masih banyak cara buat ngilangin stres! Bukan malah teler kayak kemaren!"

"Ya namanya juga lagi stres Va. Mana bisa gw berpikir jernih? Itu juga masih untung gw masih bisa mikir."

"Makanya kalo emang gak bisa dipikirin sendiri, libatkan orang lain donk buat bantu mikir. Kan ada gw? Gw pasti bersedia meluangkan waktu gw buat dengerin cerita lo. Itu lebih baik daripada ngelamun sambil minum."

"Iya maafin gw..."

"Laen kali gw liat lo pegang minuman kayak gitu lagi, gw cabut kuku jempol lo."

Gw meringis ngilu.

"Lo tau kan, ngeliat lo ngerokok aja gw nggak suka. Ini lagi teler!" lanjut Meva.

"Iya Va, gw minta maaf.."

Meva pasang wajah cemberut.

"Awas lo kayak gitu lagi....."

"Iya iya. Gw janji nggak minum lagi..."

"LO TAU NGGAK SIH GIMANA TAKUTNYA GW MALEM ITU???" mendadak nada suaranya meninggi. "LO TAU APA YG ADA DI PIKIRAN GW BEGITU TUBUH LO TERKULAI NGGAK BERDAYA?! LO UDAH NGEBAHAYAIN NYAWA LO SENDIRI TAU NGGAK!"

"......."

"Gw paling nggak suka liat orang yg bertindak bodoh tanpa mikirin akibatnya..."

"Gw tau gw salah Va," mendadak gw ciut kayak anak kecil yg diomeli ibunya. "Makasih udah ngingetin gw."

"Udahlah, pokoknya jangan sampe lo bertindak bodoh lagi. Lo pikir lo akan kuat kalo tiap hari nggak makan? Sedih mah sedih aja, tapi makan jangan ditinggalin donk."

"......."

Kami terdiam. Selama beberapa saat mata kami bertemu pandang. Gw menunduk malu. Mendadak kamar jadi sepi.

"Emh, maaf Ri...gw kok jadi marah ke elo yaa," kata Meva memecah kesunyian.

"Nggak papa kok. Gw malah makasih banget lo perhatiin gw."

"......."

Meva berdiri dan berjalan ke jendela. Membuka gordennya lalu berdiri diam menatap keluar jendela. Kami terdiam lagi. Larut dalam keheningan.

Gw pandangi Meva yg berdiri dalam diam.

"Thanks Va. Semua perhatian lo berarti banget buat gw," ucap gw lirih...
Setengah sadar gw buka kelopak mata gw. Gw gerakkan kepala gw ke kanan dan kiri untuk melenturkan leher yg terasa kaku. Terdengar suara rendah tapi gaduh.

"Dia bangun!"

"Hey lihat..."

Nampak siluet hitam mengelilingi gw. Ada orang. Cukup banyak orang. Ada beberapa yg gw kenali suaranya.

"Meva," gw memanggil lirih.

"Hey apa katanya?" sahut suara yg lain.

"Dia manggil gw," kata sebuah suara lagi yg sudah sangat akrab di telinga gw.

"Syukurlah..."

Seseorang menggenggam tangan kiri gw. Hangat.

"Ari..." panggilnya. "Ini gw Meva, Ri..."

Suaranya seperti menggema di kepala gw. Gw belum bisa melihat dengan jelas. Bayangan orang di samping gw nampak buram. Tapi ada yg aneh dengan hidung gw. Seperti ada yg meniup-niup masuk ke lubang hidung.

"Meva.." cuma nama itu yg bisa gw ucapkan dalam keadaan yg serba aneh ini.

"Iya Ri ini gw," sahut suara yg tadi. Seketika suara-suara di belakangnya lenyap. "Gw di sini."

"Lo di mana Va?"

"Ini, di sini. Di sebelah lo.."

Gw picingkan mata. Lambat laun penglihatan gw membaik. Indra, Dea istrinya, Pak Agus, Leo, dan dua petugas medis berdiri memandang gw penuh minat.

Dan Meva. Dia duduk di tepi ranjang dengan menggenggam tangan gw erat.

"Lo udah sadar Ri.." kata salah satu dari mereka.

Sejenak gw diam.

"Gw kenapa lagi Va?" tanya gw begitu menyadari ada yg nggak beres. Gw sudah seratus persen terjaga sekarang.

"Lo nggak papa kok. Cuma tadi sempet nggak sadar aja," kata Meva tetap menggenggam tangan gw.

"Nggak sadar?" tanya gw lagi.

"Emh, maaf, tapi mungkin Mas Ari perlu beristirahat dulu buat memulihkan kesadarannya," kata suara laki-laki yg belum pernah gw dengar. "Mari yg lain ikut saya keluar. Kalian bisa masuk lagi setengah jam setelah ini."

"Oke Ri, gw keluar dulu," kata Indra. "Kalo ada apa-apa panggil gw aja yah."

Dan mereka pun beranjak pergi. Tinggal salahsatu dari dua petugas tadi dan Meva yg ada di dalam kamar.

"Mbak," petugas itu memberi isyarat pada Meva buat pergi.

Gw dan Meva saling pandang.

"Saya mau dia di sini, Dok. Boleh kan?" pinta gw.

Dia diam sebentar lalu mengangguk.

"Maaf saya suntik dulu ya Mas Ari," lanjut petugas tadi. Di tangannya ada jarum suntik yg sudah siap.

Gw nggak pernah takut sama yg namanya jarum suntik. Tapi kali ini gw cukup nggak bernyali yg kemudian gw alihkan dengan menggenggam tangan Meva sekuatnya. Tusukan jarum di lengan gw terasa ngilu.

Saat itulah gw baru sadar, ada selang kecil di wajah gw. Melintang di antara hidung dan bibir gw. Selang inilah yg rupanya sejak tadi meniup lubang hidung gw. Selang oksigen.

"Gw kenapa Va?" tanya gw memelas, berharap segera menemukan jawaban yg pasti.

"Lo kemaren nggak sadarkan diri selama dua hari Ri," jawab Meva diikuti airmata yg mengalir dari pelupuk matanya.

"Gw nggak inget apa-apa," ujar gw pelan.

"Tapi sekarang lo udah sadar. Nggak usah khawatir lagi," katanya penuh haru.

"Separah itu ya gw?" kata gw setengah frustasi dan sedih.

Gw alihkan pandangan ke dokter yg sibuk menulis di hand table nya.

"Sebenernya saya kenapa, Dok?" tanya gw penuh harap.

Dokter lagi-lagi diam sebelum akhirnya menjawab.

"Mas Ari nggak apa-apa kok. Cuma memang kondisinya lagi lemah banget." jawabnya.

"Kalo emang nggak apa-apa, kenapa saya bisa nggak sadarkan diri Dok? Apa ini ada hubungannya sama ginjal saya?" cecar gw. Sebenernya gw nggak mau nanya ini, gw takut dapet jawaban yg nggak gw harapkan.

"Emh...sebagian besar memang akibat komplikasi di ginjal Mas Ari. Ditambah lagi kurangnya asupan makanan yg baik buat tubuh, jadilah hasilnya seperti ini. Ada sedikit gangguan pada fungsi ginjal Mas Ari," jawab Dokter dengan hati-hati.

Gw terperangah. Gw tatap Meva, berharap menemukan keteduhan yg bisa mengusir kegalauan dalam hati gw saat ini. Tapi sepertinya sia-sia. Kali ini wajah manisnya nggak cukup menenangkan gw.

"Apa itu parah Dok?" tanya gw lagi.

"Ri, Ri, udah lo jangan pikirin itu dulu," Meva menyela. Dia menepuk pelan punggung tangan gw yg sejak tadi digenggamnya. "Yg penting sekarang adalah, lo udah sadar. Itu udah lebih dari cukup!"

"Tolong jawab Dok," gw acuhkan Meva. "Apa sakit saya ini parah?"

"Ari..."

Mendadak ketakutan yg amat sangat datang menyelimuti gw. Bulu kuduk gw merinding. Sekujur badan gw yg sejak tadi lemas, semakin melemas. Keringat dingin masih saja mengucur.

"Please, jangan bilang kalo itu benar..." gw berdoa dalam hati.

Dokter masih diam.

"Apa saya.....Apa saya akan mati Dok??" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut gw.

"Ari!!" Meva setengah berteriak mengingatkan. Dia menangis sesenggukan. "Lo akan baik-baik aja Ri..." katanya.

Kami diam lagi.

"Tenang aja Mas Ari, semua akan membaik dalam waktu dekat..." akhirnya Dokter menjawab.

Gw pejamkan mata gw. Mendadak bayangan-bayangan aneh berkelebatan di benak gw. Wajah-wajah itu, mereka menatap iba gw. Jawaban tadi belum mampu menenangkan gw. Gw punya firasat buruk tentang ini.

Gw takut setakut-takutnya. Rasa yg dulu nggak pernah ada.

Apa yg harus gw lakukan? Oh God, help me please......!!!

"Oke itu hak lo Va," kata gw dengan beratnya. "Kalo memang itu bisa nenangin diri lo."

Meva mengembuskan nafasnya di leher gw. Sensasi merinding langsung merambati tubuh gw. Bukan, bukan hanya karena embusan nafasnya yg lembut. Tapi lebih karena ketakutan gw kehilangan Meva. Gw bisa merasakan jantungnya berdegup pelan di dada gw. Pelukannya nggak begitu erat, cukup menjelaskan keraguan dalam dirinya sendiri. Airmata sempat menggenangi pelupuk mata gw tapi gw menahan diri buat menangis.

"Tapi gw akan sangat berterimakasih kalo lo mau balik lagi ke sini," lanjut gw.

Shit! Airmatanya nggak mau menghilang dari mata gw. Mungkin setelah ini gw harus mencari cara buat menghadapi momen kayak gini.

"Apa lo akan kesepian kalo gw pergi?" tanya Meva.

"Bodoh...." kata gw spontan. "Lo pikir enak maen catur sendirian?"

Meva tertawa pelan.

"Apa lo bakal kangen sama gw?" tanya nya lagi.

"Bodoh banget," gw lalu senyum.

Kami terdiam sejenak.

"Kalo lo kangen sama gw, lo dengerin aja Endless Love."

"Kenapa Endless Love?"

Meva diam sebentar.

"Itu lagu favorit gw."

"......."

"......."

"Apa ini...apa ini artinya...lo nggak akan balik lagi?" gw sedikit terbata.

Meva diam. Dia embuskan lagi nafasnya tepat di tengkuk gw.

"Jangan bodoh," bisiknya pelan. "Lo pikir kenapa Endless Love jadi lagu favorit gw?"

"Mana gw tau?"

Meva tertawa lagi.

"Endless Love," dia menepuk pundak gw pelan. Melepas peluknya, tersenyum dan berlalu ke kamarnya.....


Gw terjaga lagi. Pagi-pagi. Di tengah ruangan yg senyap. Cuma detakan jam yg menempel di dinding yg terdengar memenuhi ruangan. Sedikit bergetar gw menyapu pandangan ke penjuru kamar. Masih ruangan yg sama dengan saat pertama kali gw terjaga. Tabung oksigen, selang infus, gorden biru...

Dan Meva.

Meva duduk di kursi, tertidur bersandar di dinding. Dia nampak sangat kelelahan. Pundaknya bergerak naik turun perlahan seirama dengan hela nafasnya. Ah, wajahnya damai sekali...

Dalam keheningan pagi seperti ini, kadang sisi sentimentil dalam diri kita cenderung lebih menguasai hati. Dan gw, entah kenapa mendadak gw kembali diselimuti rasa takut.

Sejujurnya, gw nggak begitu takut mati. Gw selalu yakin kematian hanyalah sebuah tidur panjang. Tempat dimana mimpi-mimpi yg kita bangun selama hidup akan terwujud di kehidupan abadi kelak. Satu-satunya yg gw takutkan dari kematian adalah perpisahan dengan orang-orang sudah begitu dekat dengan gw. Akan sangat aneh mendengar tangis mereka, melihat mereka mengguncang tubuh gw yg terbaring nggak berdaya dan lafaz ayat suci dari mulut mereka, sementara gw cuma bisa terpaku menatap mereka dalam dimensi berbeda. Tangisan gw, teriakan gw, nggak akan pernah sampai di telinga mereka. Sentuhan tangan gw pun nggak akan mungkin mereka rasakan. Lalu melihat tubuh gw terbenam tanah. Hanya sebuah batu yg tertancap di atasnya sebagai tanda bahwa pernah ada gw dalam hidup mereka. Dan perlahan gw melayang. Jauh.

Semakin menjauh.

Sangat jauh..........

"Astaghfirullahaladzim," gw beristighfar mengusir bayangan-bayangan buruk yg tadi menghinggapi gw.

Meva.

Dia masih di sana, terlelap di kursinya. Masih dengan wajah teduhnya.

"Enggak," batin gw dalam hati. Gw nggak boleh serapuh ini. Belum tentu juga kan sakit yg gw rasakan sekarang akan membuat gw mati? Gw percaya Tuhan sudah menentukan waktunya buat semua orang. Dan gw belum mau berpisah sama lo sekarang Va.

Gw akan berusaha semampunya lepas dari kesakitan ini. Gw akan berjuang melawan keadaan ini. Gw yakin gw akan sembuh secepatnya.

Pagi ini mendadak gw kangen maen catur lagi. Gw kangen duduk di beranda sambil main gitar dan becanda bareng lo Va. Gw kangen alun-alun Karang Pawitan. Ah, gw kangen segalanya tentang elo.

Dan dalam keheningan ini sebuah lirik melantun dengan merdunya di kepala gw..


My Love,

There's only you in my life

The only thing thats right..

My First Love,

You're every breath that I take

You're every step I make...


And I want to share all my love with you

No one else will do

Your eyes,

They tell me how much you care

Oh yes,

You will always be,

My Endless Love.....


Ya, lebih dari segalanya yg pernah gw ungkapkan, lo adalah segalanya buat gw...............


Next Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Bagian 24
Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Adalah Novel Karya Ariadi Ginting a.k.a Pujangga.Lama.

Artikel Kabuh.net Lainnya :

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Kabuh.net