Novel Laskar Pelangi Bagian 27 (Detik - Detik Kebenaran)
DAL AM sebuah bangunan berarsitektur art deco, di ruangan oval yang ingar-bingar, kami terpojok: aku,Sahara, dan Lintang.
Kembali kami berada dalam sebuah situasi yang mempertaruhkan reputasi. Lom-ba kecerdasan. Dan kami berkecil hati melihat murid-murid negeri dan sekolah PN membawa buku-buku teks yang belum pernah kami lihat. Tebal berkilat-kilat dengan sampul berwarna-warni, pasti buku-buku mahal. Sebagian peserta berteriak-teriak keras menghafal-kan nama-nama kantor berita.
Risikonya tentu jauh lebih besar dari karnaval dulu. Lomba kecerdasan adalah arena terbuka untuk mempertontonkan kecerdasan, atau jika sedang bernasib sial, mempertontonkan ketololan yang tak terkira. Dan semua nasib sial itu akan ditanggung langsung oleh aku,Sahara, dan Lintang. Kami adalah regu F pada lomba memencet tombol ini. Bagaimana kalau kami tak mampu menjawab dan hanya membawa pulang angka nol?
Persoalan klasiknya adalah kepercayaan diri. Inilah problem utama jika berasal dari lingkungan marginal dan mencoba bersaing. Kami telah dipersiapkan dengan baik oleh Bu Mus. Beliau memang menaruh harapan besar pada lomba ini lebih dari beliau berharap waktu kami karnaval dulu. Bu Mus pontang-panting mengumpulkan contoh-contoh soal dan bekerja sangat keras melatih kami dari pagi sampai sore. Bu Mus melihat lomba ini sebagai media yang sempurna untuk menaikkan martabat sekolah Muhammadiyah yang bertahun-tahun selalu diremehkan. Bu Mus sudah bosan dihina. Sayangnya sekeras apa pun beliau membuat kami pintar dan menguatkan mental kami, mendorong-dorong, membujuk, dan mengajari kami agar tegar, kami tetap gugup. Semua yang telah dihafalkan berminggu-minggu lenyap seketika, jalan pikiran menjadi buntu. Aku berusaha menenangkan diri dengan membayangkan duduk bersemadi di ataspadangrumput hijau di tempat yang paling tenang dalam imajinasiku: Edensor, tapi upaya ini juga gagal.
"Persetan kepercayaan diri, pokoknya dengar pertanyaannya baik-baik, pencet tombolnya cepat-cepat, dan jawab dengan benar," demikian kataku.Saharamengangguk, Lintang tak peduli.
Kami duduk menghadapi sebuah meja mahoni yang besar, panjang, indah, dan dingin. Seluruh teman sekelasku dan guru-guru hadir untuk menyemangati kami. Ruangan penuh sesak oleh para pendukung setiap sekolah. Aku, Lintang, danSaharamengerut di balik meja itu. Kami berpakaian amat sederhana dan sepatu cunghai Lintang masih menebarkan bau hangus.
Pendukung yang paling dominan tentu saja pendukung sekolah PN. Jumlahnya ratusan dan menggunakan seragam khusus dengan tulisan mencolok di punggungnya: VINI, VIDI, VICI, artinya AKU DATANG, AKU LIHAT, AKU MENANG. Benar-benar menjatuhkan mental lawan. Sekolah PN mengirim tiga regu, masing-masing regu A, B, dan C. Anggota regu itu adalah yang terbaik dari yang terbaik. Mereka diseleksi secara khusus dengan amat ketat dan standar yang sangat tinggi. Beberapa peserta itu pernah menjuarai lomba cerdas cermat tingkat provinsi bahkan ada yang telah dikirim untuk tingkat nasional. Pakaian anggota regu juga sangat berbeda. Mereka mengenakan jas warna biru gelap yang indah, sepatu yang seragam dengan celana panjang berwarna serasi, dan mereka berdasi.
Tahun ini mereka dipersiapkan lebih matang, sistematis, dan secara amat ilmiah oleh seorang guru muda yang terkenal karena kepandaiannya. Guru ini membuat simulasi situasi lomba sesungguh-nya dengan bel, dewan juri, stop watch, dan antisipasi variasi-variasi soal. Guru yang cemerlang ini baru saja mengajar di PN, dulu ia bekerja di sebuah perusahaan asing di unit riset dan pengembangan kemudian ditawari mengajar di PN dengan gaji berlipat-lipat dan janji beasiswa S2 dan S3. Ia lulus cum laude dari Fakultas MIPA sebuah universitas negeri ternama. Tahun ini ia terpilih sebagai guru teladan provinsi. Ia mengajar fisika, Drs. Zulfikar, itulah namanya.
Pendukung kami dipimpin oleh Mahar dan Flo. Meskipun hanya berjumlah sedikit tapi semangat mereka menggebu. Mereka membawa dua buah bendera besar Muhammadiyah yang telah lapuk dan berbagai macam tabuh-tabuhannya seperti para suporter sepak bola.Parapelajar PN yang menganggap Flo pengkhianat melirik kejam pada-nya, tapi seperti Lintang, Flo juga tak peduli. Walaupun besar sekali kemungkinan tim kami dipermalukan oleh kecerdasan tim PN dalam lomba ini, tapi Flo tak ragu sedikit pun membela habis-habisan sekolahnya, sekolah kampung Muham-madiyah.
Di antara pendukung kami adaTrapanidan ibunya, kedua anak beranak ini saling bergandengan tangan. Aku melihat pelajar-pelajar wanita berbisik-bisik, tertawa cekikikan, dan terus-menerus melirik-nya karena semakin remajaTrapanisemakin tampan. la ramping, berkulit putih bersih, tinggi, berambut hitam lebat, di wajahnya mulai tumbuh kumis-kumis tipis, dan matanya seperti buah kenari muda: teduh, dingin, dan dalam.
Sesungguhnya dalam seleksi tim yang akan mewakili sekolah kamiTrapanitelah terpilih. Skornya lebih tinggi dibanding skorSaharanamun nilai geografinya lebih rendah. Kekuatan tim kami adalah matematika, hitungan-hitungan IPA, biologi, dan bahasa Inggris yang semuanya tak diragukan ada di tangan Lintang. Aku agak baik pada bidang - bidang kewarganegaraan, tarikh Islam, fikih, budipekerti, dan sedikit bahasaIndonesia. Yang paling lemah dalam tim kami adalah geografi dan ahli geografi kami adalahSahara. Maka demi kekuatan timTrapanidengan lapang dada memberi kesem-patan padaSaharauntuk tampil.Trapaniadalah pria muda yang amat tampan dan berjiwa besar.
"Tabahkan hatimu, Ikal ...," itulah nasihatTra-panipelan padaku.
Sementara di meja mahoni yang megah itu Lintang diam seribu bahasa, kelelahan, selayaknya orang yang memikul seluruh beban pertaruhan nama baik. Aku tak henti-henti berkipas, bukan kepanasan, tapi hatiku mendidih karena gentar. Tak pernah sekali pun sekolah kampung menang dalam lomba ini, bahkan untuk diundang saja sudah merupakan kehormatan besar.
Lintang sudah membatu sejak subuh tadi. Di atas truk terbuka yang membawa kami ke ibukotakabupaten ini,Tanjong Pandan,iamembisu seperti orang sakit gigi parah. Ia memandang jauh. Tak mampu kuartikan apa yang berkecamuk di dadanya. Ayah, Ibu, dan adik-adiknya juga ikut. Mereka, termasuk Lintang, baru pertama kali ini pergi ke Tanjong Pandan.
Saharaduduk di tengah. Aku dan Lintang di samping kiri dan kanannya. Ekspresi Lintang datar, ia tersandar lesu tanpa minat. Agaknya ia demikian minder, berkecil hati, dan malu berada di lingkungan yang sama sekali asing baginya. Ia hanya menatap Ayah, Ibu, dan adik-adiknya yang berpakaian amat sederhana, duduk saling merapatkan diri di pojok, tampak bingung dalam suasana yang hiruk pikuk. Aku mencoba berkonsentrasi tapi gagal. Lintang danSaharasudah tak bisa diharapkan.
Kulihat tangan para peserta lain mulai meraba tombol di depan mereka, siap menyalak.Saharakelihatan pucat, seperti orang bingung. la yang telah ditugasi dan dilatih khusus memencet tombol sedikit pun tak mampu mendekatkan jarinya ke benda bulat itu. la sudah pasrah atas kemungkinan kalah mutlak.Saharamengalami demam panggung tingkat gawat. Sementara otakku tak bisa lagi dipakai untuk berpikir. Keributan yang terjadi ketika peserta lain mencoba-coba tombol dan mikrofon terdengar bagaikan teror bagi kami. Kami tak sedikit pun mencoba benda-benda itu. Kami sudah kalah sebelum bertanding.Parapendukung Muhamma-diyah membaca kegentaran kami. Mereka tampak prihatin.
Suasana semakin tegang ketika ketua dewan juri bangkit dari tempat duduknya, memperkenalkan diri, dan menyatakan lomba dimulai. Jantungku berdegup kencang,Saharapucat pasi, dan Lintang tetap diam misterius, ia bahkan memalingkan wajah keluar melalui jendela.
Dan inilah detik-detik kebenaran itu. Pertanya-an ditujukan kepada semua peserta yang harus berlomba cepat memencet tombol agar dapat menjawab dan jika keliru akan kena denda. Aku tak berani melihat para penonton. Dan Bu Mus tak berani melihat wajah kami. Wajahnya dipalingkan ke lampu besar di tengah ruangan yang berjuntai-juntai laksana raja gurita. Baginya ini adalah peristiwa terpenting selamalimabelas tahun karier mengajarnya. Beliau benar-benar menginginkan kami menang dalam lomba ini, karena beliau tahu lomba ini sangat penting artinya bagi sekolah kampung seperti Muhammadiyah. Wajahnya kusut menang-gung beban, mungkin beliau juga telah bosan bertahun-tahun selalu diremehkan.
Tak lama kemudian seorang wanita anggun yang bergaun jas cantik berwarna merah muda berdiri. Beliau meminta penonton agar tenang karena beliau akan mengajukan pertanyaan. Suaranya indah, bertimbre berat, dan tegas seperti penyiar RRI.
Wanita itu mendekatkan wajahnya pada mi-krofon dan menegakkan lembaran kertas di depannya seperti orang akan membaca Pancasila. Detik-detik kebenaran yang hakiki dan men-cemaskan tergelar di depan kami. Seluruh peserta memasang telinga baik-baik, siap menyambar tombol, dan siaga mendengar berondongan perta-nyaan. Suasana mencekam ....
Pertanyaan pertama bergema.
"Ia seorang wanita Prancis, antara mitos dan realita ...."
Kring! Kriiiiiiiingggg! Kriiiiiiiiiiiiinnnggggg!
Wanita anggun itu tersentak kaget karena pertanya-annya secara mendadak dipotong oleh suara sebuah tombol meraung-raung tak sabar. Aku danSaharajuga terperanjat tak alang kepalang karena baru saja sepotong lengan kasar dengan kecepatan kilat menyambar tombol di depan kami, tangan Lintang!
"Regu F!" kata seorang pria anggota dewan juri lainnya. Wajahnya seperti almarhum Benyamin S. la memakai jas dan dasi kupu-kupu.
"Joan D'Arch,Loire Valley,France!" jawab Lin-tang membahana, tanpa berkedip, tanpa keraguan sedikit pun, dengan logat Prancis yang sengau-sengau aduhai.
"Seratusss!" Benyamin S. tadi membalas disam-but tepuk tangan gemuruh para penonton. Kulihat bendera Muhammadiyah berkibar-kibar.
"Pertanyaan kedua: Terjemahkan dalam kalimat integral dan hitung luas wilayah yang dibatasai oleh y = 2x dan x = 5."
Lintang kembali menyambar tombol secepat ki-lat dan jawabannya serta-merta memecah ruangan.
"Integral batas 5 dan 0, 2x minus x kali dx, hasilnya: dua belas komalima!"
Luar biasa! tanpa ada kesangsian, tanpa membuat catatan apa pun, kurang dari 5 detik, tanpa membuat kesalahan sedikit pun, dan nyaris tanpa berkedip.
"Seratussssss!" lengking Benyamin S. Mendengar lengkingan Benyamin S. pendukung kami melonjak-lonjak seperti orang kesurupan. Suara mereka huh rendah laksana kawanan kum-bang kawin. Flo melompat-lompat sambil menge-luarkan jurus-jurus kick boxing.
"Pertanyaan ketiga: Hitunglah luas dalam jarak integral 3 dan 0 untuk sebuah fungsi 6 plus Sx minus x pangkat 2 minus 4 x."
Lintang memejamkan matanya sebentar, ia tak membuat catatan apa pun, semua orang memandangnya dengan tegang, lalu kurang dari 7 detik kembali ia melolong.
"Tiga belas setengah!"
Tak sebiji pun meleset, tak ada ketergesa-gesaan, tak ada keraguan sedikit pun.
"Seratusssss!" balas Benyamin S. sambil menggeleng-gelengkan kepalanya karena takjub melihat kecepatan daya pikir Lintang. Pendukung kami bersorak sorai histeris gegap gempita. Mereka mendesak maju karena perlombaan semakin seru. Ayah, Ibu, dan adik-adik Lintang berusaha berdiri dan bergabung dengan pendukung kami yang lain. Mereka tersenyum lebar dan kulihat ayah Lintang, pria cemara angin itu, wajahnya berseri-seri penuh kebanggaan pada anaknya, matanya yang kuning keruh berkaca-kaca.
Sementara para peserta lain terpana dan berkecil hati. Lintang menjawab kontan, bahkan ketika mereka belum selesai menulis soal itu dalam kertas catatan yang disedia-kan panitia. Beberapa di antaranya membanting pensil tanpa ampun.Trapaniyang kalem mengangguk-angguk pelan. Pak Harfan bertepuk tangan girang sekali seperti anak kecil, wajahnya menoleh kesanakemari. "Lihatlah murid-muridku, ini baru murid-muridku ...," itu mungkin makna ekspresi wajahnya. Bu Mus bergerak maju ke depan, wajah kusutnya telah sirna menjadi cerah. Sekarang beliau berani mengangkat wajahnya, matanya juga berkaca-kaca dan bibirnya bergumam, "Subhanallah, subhanallah ……."
Ibu jas merah muda berupaya keras mene-nangkan penonton yang riuh dan berdecak-decak kagum, terutama menenangkan pendukung kami yang tak bisa menguasai diri. Beliau melanjutkan pertanyaan.
"Selain menggunakan teknik radiocarbon untuk
menentukan usia sebuah temuan arkeologi, para ahli juga .,…"
Kring! Khiiiiiiingggg!
Kembali Lintang mengamuk, dan ia menjawab lantang.
"Thermoiuminescent dating1.Penentuan usia melalui pelepasan energi sinar dalam suhu panas!"
"Seratussss!"
Berikutnya hanyalah kejadian yang persis sa-ma dengan pertanyaan itu. Wanita cantik berjas merah muda itu tak pernah sempat menyelesaikan pertanyaannya. Lintang menyambar setiap soal tanpa memberikan kesempatan sekali pun pada peserta lain.
Ratusan penonton terkagum-kagum. Warga Muhammadiyah di ruangan itu berjingkrak-jingkrak sambil saling memeluk pundak. Vang paling bahagia adalah Harun. Dia memang senang dengan keramaian. Aku melihatnya bertepuk-tangan tak henti-henti, berteriak-teriak memberi semangat, tapi wajahnya tak melihat ke arah kami, ia menoleh keluar jendela. Kiranya ia sedang memberi semangat kepada sekelompok anak perempuan yang sedang bermain kasti di halaman.
Di tengah hiruk pikuk para penonton aku sem-pat mendengar jawaban-jawaban tangkas Lintang: "Vincent Van Gogh, menyasszonytanc , The Hunch back of Notredame, paradoks air, Edgar Alan Poe, medula spinalis, Dian Fossey, artropoda, 300 ribu kilometer per detik. Basedow, dacty/orhiza mocu-iata, ancyostoma duodenaie, Stone Henge, Platy-helminthes, endoskeleton, Serebrum, Langerhans, fiuoxetine hydrochioride, 8,5 menit cahaya, extremely low frequency, molekul chirai
...."
Ia tak terbendung, aku merinding melihat kecerdasan sahabatku ini. Peserta lain terpesona dibuatnya. Mereka seperti terbius sebuah kharisma kuat kecerdasan murni dari seorang anak Melayu pedalaman miskin, murid sekolah kampung Muhammadiyah yang berambut keriting merah tak terawat dan tinggal di rumah kayu doyong beratap daun nun jauh terpencil di pesisir.
Parapeserta sekolah PN merasa geram karena tak kebagian satu pun jawaban. Maka mereka mencoba berspekulasi. Tujuannya bukan untuk menjawab tapi untuk menjegal Lintang. Mereka berusaha secara tidak rasional memencet tombol secepat mungkin. Sebuah tindakan tolol yang berakibat denda karena tak mampu menginter-pretasikan seluruh konteks pertanyaan. Sedangkan Lintang, seperti dulu pernah kuceritakan, anak ajaib kuli kopra ini, memiliki kemampuan yang menga-gumkan untuk menebak isi kepala orang.
Dominasi Lintang membuat beberapa penonton terusik egonya dan penasaran ingin menguji Einstein kecil ini maka insiden pun terjadi. Ketika itu juri menanyakan:
"Terobosan pemahaman ilmiah terhadap konsep warna pada awal abad ke-16 memulai penelitian yang intens di bidang optik. Ketika itu banyak ilmuwan yang percaya bahwa campuran cahaya dan kegelapanlah yang menciptakan warna, sebuah pendapat yang rupanya keliru. Kekeliruan itu dibuktikan dengan memantulkan cahaya pada sekeping lensa cekung .,„¦"
Khiiiiing! Kriiiiing! Kring! Lintang menyalak-nyalak.
"Cincin Newton!"
"Seratussss!"
Sekali lagi suporter kami bergemuruh jumpali-tan, tapi tiba-tiba seseorang di antara penonton menyela, "Saudara ketua! Saudara ketua! Saudara ketua dewan juri! Saya kira pertanyaan dan jawaban itu keliru besar!"
Seluruh hadirin sontak diam dan melihat ke a-rah seorang pemuda yang kecewa ini. Oh, Drs. Zulfikar, guru fisika teladan dari sekolah PN itu. Gawat! Urusan ini bisa runyam. Sekarang pan-dangan seluruh hadirin menghunjam ke arah guru muda yang otak cemerlangnya sudah kondang ke mana- mana. Untuk diajar privat olehnya bahkan harus antre. la harapan yang akan melanjutkan tradisi lama sekolah PN sebagai pemenang pertama lomba kecerdasan ini dan ia sudah mempersiapkan timnya demikian sempurna. Ia tak ingin dipermalukan dan ia tak pernah berurusan dengan sesuatu yang tidak terbaik. Sekarang apa yang akan ia perbuat? Aku danSaharawaswas tapi Lintang tenang-tenang saja. Drs. itu angkat bicara dengangayaakademisi tulen:
"Percobaan dengan lensa cekung tidak ada kaitannya dengan bantahan terhadap teori awal yang meyakini bahwa warna dihasilkan oleh campuran cahaya dan kegelapan. Dan sebaliknya, pemahaman terhadap penciptaaan warna bukanlah persoalan optik, kecuali dewan juri ingin membantah Descartes atau Aristoteles. Soal optik dan spektrum warna adalah dua macam hal yang berbeda. Situasi ini ambigu, di sini kita menghadapi tiga kemungkin-an, pertanyaan yang salah, jawaban yang keliru, atau kedua-duanya tak berdasar dalam arti tidak kontekstual!"
Aduh...! Komentar ini sudah di luar daya jang-kau akalku, asing, tinggi, dan jauh. Ini sudah semacam debat mempertahankan tesis S2 di depan tiga orang profesor. Tapi tidakkah sedikit banyak kata-kata sang Drs. itu berbentuk U, kritis namun berputar-putar? Dan ia pintar sekali membimbang-kan dewan juri dengan menyintir pendapat Rene Descartes, siapa yang berani membantah sinuhun ilmu zaman lawas itu? Mudah-mudahan Lintang punya argumentasi. Kalau tidak kami akan habis di sini. Aku membatin dengan cemas tapi tak tahu akan berbuat apa. Pak Harfan bertelekan pinggang lalu menunduk dan Bu Mus merapatkan kedua tangannya di atas dadanya seperti orang berdoa, wajahnya prihatin ingin membela kami tapi beliau tak berdaya karena serangan Drs. Zulfikar memang sudah ter-lalu canggih. Bu Mus tampak tak tega melihat kami. Aku memandangSaharadan ia cepat-cepat memalingkan muka, ia menoleh keluar jendela seolah tak mengenal kami. Wajahnya menunjukkan ekspresi bahwa saat itu ia sedang tidak duduk di situ.
Parapenonton dan dewan juri terlihat bingung atas bantahan yang supercerdas itu. Jangankan menjawab bahkan sebagian tak mengerti apa yang dipersoalkan. Tapi seseorang memang harus me - nyelamatkan situasi ini, maka ketua dewan juri bangkit dari tempat duduknya. Lintang masih tenang-tenang saja, ia tersenyum sedikit, santai sekali.
"Terima kasih atas bantahan yang hebat ini, apa yang harus saya katakan, bidang saya adalah pendidikan moral Pancasila ...," kata ketua dewan juri.
Si Drs. bersungut-sungut, ia merasa di atas angin. Ekor matanya seolah mengumumkan kalau ia sudah khatam membaca buku Principia karya Isaac Newton, bahwa ia juga pelanggan jurnal-jurnal fisika internasional, bahwa ia kutu laboratorium yang kenyang pengalaman eksperimen, bahkan seolah fisikawan Christiaan Huygens itu uwaknya. Pria ini adalah seorang fresh graduate yang sombong, ia memperlihatkan karakter manusia sok pintar yang baru tahu dunia. Bicaranya di awang-awang dengangayaseperti Pak Habibie. Ia mengutip buku asing disanasini tak keruan, menggunakan istilah-istilah aneh karena ingin mengesankan dirinya luar biasa. Tapi kali ini, aku jamin dia akan menelan APC, pil pahit segala penyakit andalan orang kampung Belitong yang amat manjur.
Karena merasa sudah menang dengan kritiknya guru muda itu meningkatkan sifat buruk dari sombong menjadi tak tahan pada godaan untuk meremehkan.
"Atau barangkali anak-anak SMP Muhammadi-yah ini atau dewan juri bisa menguraikan pendekatan optik Descartes untuk menjelaskan fenomena warna?"
Keterlaluan! Seluruh hadirin tentu mengerti bahwa kalimat bernada menguji itu sesungguhnya tak perlu. Pak Zulfikar hanya ingin menghina sekaligus melumpuhkan mental kami dan dewan juri karena ia yakin bahwa kami tak mengerti apa pun mengenai Descartes. Dengan demikian ia dapat menganulir pertanyaan awal tadi sekaligus menja-tuhkan martabat majelis ini. Yang menyakitkan adalah ia dengan jelas menekankan kata SMP Muhammadiyah untuk megingatkan semua orang bahwa kami hanyalah sebuah sekolah kampung yang tak penting.
Aku memang tak mengerti pendekatan optik tapi aku tahu sedikit sejarah penemuan fenomena warna. Aku tahu bahwa Descartes bekerja dengan prisma dan lembaran-lembaran kertas untuk menguji warna, bukan murni dengan manipulasi optik.
Newton-lah sesungguhnya sang guru besar optik. Pak Zulfikar jelas sok tahu dan dengan mulut besarnya ia mencoba menggertak semua orang melalui kesan seolah ia sangat memahami teori warna. Aku geram dan ingin membantah Drs. congkak ini tapi pengetahuanku terbatas. Tabiat Pak Zulfikar adalah persoalan klasik di negeri ini, orang-orang pintar sering bicara meracau dengan istilah yang tak membumi dan teori-teori tingkat tinggi bukan untuk menemukan sebuah karya ilmiah tapi untuk membodohi orang-orang miskin. Sementara orang miskin diam terpuruk, tak menemukan kata-kata untuk membantah.
Aku menatap Lintang, memohon bantuannya jika nanti aku angkat bicara melawan kezaliman Drs. itu. Aku sangat perlu dukungannya. Tapi bagaimana nanti kalau ternyata aku yang keliru? Bagaimana kalau aku diserang balik bertubi-tubi? Ah, risikonya terlalu tinggi, bisa-bisa aku dipermalukan. Ini juga persoalan klasik bagi orang yang memiliki penge-tahuan setengah-setengah sepertiku. Maka dadaku berkecamuk antara ingin melawan dan ragu-ragu. Tapi aku sangat marah karena sekolahku dihina dan aku jengkel karena aku tahu bahwa Drs. itu membawa-bawa nama Descartes secara keliru dan tidak adil guna keuntungannya sendiri.
Melihatku demikian gusar Lintang tersenyum kecil padaku. Sebuah senyum damai. Aku tahu, seperti biasa, ia dapat membaca pikiranku dengan benderang. Ia membalas tatapanku dengan lembut seakan mengatakan, "Sabar Dik, biar Abang bereskan persoalan ini ...." Wajahnya tenang sekali. Aku dan Sahara ciut. Kami mengerut di ketiak kiri kanan pendekar ilmu pengetahuan yang sakti mandraguna andalan kami ini.
Mendengar tantangan Pak Zulfikar yang tak bersahabat tadi bapak ketua dewan juri yang baik menarik napas panjang. Beliau menoleh ke arah para koleganya, anggota dewan juri. Semuanya menggeleng-gelengkan kepala. Lalu beliau mencoba menengahi dengan diplomatis dan sangat merendah. "Maafkan Bapak Guru Muda, atas nama dewan juri saya terpaksa mengatakan bahwa pengetahuan kami agaknya belum sampai ke sana."
Kata-katanya demikian bersahaja. Kasihan ba-pak tua itu. Ia seorang guru senior yang rendah hati dan sangat disegani karena dedikasinya selama puluhan tahun di dunia pendidikan Belitong. Beliau tampak malu dan putus asa. Lalu beliau mengalihkan pandangan ke arah regu F, regu kami, Lintang tersenyum dan mengangguk kecil padanya. Tanpa diduga ketua dewan juri mengatakan, "Tapi mungkin anak Muhammadiyah yang cemerlang ini bisa membantu."
Suasana sunyi senyap dalam nuansa yang sangat tidak mengenakkan, dan semakin tidak enak karena sang Drs. kembali mengudara dengan komentar sengak tanpa perasaan.
"Saya harap argumentasi mereka bisa setepat jawabannya tadi!"
Semakin keterlaluan! Ia sengaja memprovokasi Lintang dan kali ini Lintang terpancing, ia angkat bicara.
"Jika bantahan Bapak mengenai pertanyaan yang tidak kontekstual dengan jawaban, mungkin saja bantahan semacam itu bisa diterima. Dewan juri menanyakan sesuatu yang jawabannya sudah tertera di kertas yang dibacakan ibu pembaca soal. Saya yakin di sana tertulis cincin Newton dan kami menjawab cincin Newton, berarti kami berhak atas angka seratus. Maka kalaupun itu memang tidak kontekstual, itu hanya berarti dewan juri menanyakan sesuatu yang benar dengan cara yang keliru ...."
Pak Zulfikar tak terima.
"Dengan kata lain pertanyaan nomor itu gugur karena bisa saja peserta lain menduga arah jawaban yang keliru!" Lintang tak sabar.
"Tidak ada yang keliru! Kecuali Bapak tidak memedulikan substansi dan ingin menggugurkan nilai kami karena persoalan remeh-temeh."
Pak Zulfikar tersinggung, ia menjadi marah, dan suasana berubah tegang.
"Kalau begitu jelaskan pada saya substansinya! Karena bisa saja kalian mendapat nilai melalui kemampuan menebak-nebak jawaban secara untung-untungan tanpa memahami persoalan sesungguhnya!"
Wah, ini sudah kurang ajar. Sahara menyeringai, setelah sekian lama menghilang ke alam lain kini ia kembali dalam penjelmaan seekor leopard, alisnya bertemu. Para penonton dan dewan juri tercengang, terlongong-longong dalam adu argumentasi ilmiah tingkat tinggi yang memanas. Mereka bahkan tak mampu memberi satu komentar pun, persoalan ini gelap bagi mereka. Tapi aku tersenyum senang karena aku tahu kali ini guru muda yang sok tahu ini akan kena batunya.
Bantahannya yang terakhir itu adalah pelecehan. Lintang tersengat harga dirinya, wajahnya merah padam, sorot matanya tak lagi jenaka. Lintang, yang baru sekali ini menginjak Tanjong Pandan, berdiri dengan gagah berani menghadapi guru PN yang arogan jebolan perguruan tinggi terkemuka itu. Sembilan tahun sangat dekat dengan Lintang, baru kali ini aku melihatnya benar-benar muntah, maka inilah cara orang genius mengamuk:
"Substansinya adalah bahwa Newton terang-terangan berhasil membuktikan kesalahan teori-teori warna yang dikemukakan Descartes dan Aristoteles! Bahkan yang pa-ling mutakhir ketika itu, Robert Hooke. Perlu dicatat bahwa Robert Hooke mengadopsi teori cahaya berdasarkan filosofi mekanis Descartes dan mereka semua, ketiga orang itu, menganggap warna memiliki spektrum yang terpisah. Melalui optik cekung yang kemudian melahirkan dalil cincin, Newton membuktikan bahwa warna memiliki spektrum yang kontinu dan spektrum warna sama sekali tidak dihasilkan oleh sifat-sifat kaca, ia semata-mata produk dari sifat-sifat hakiki cahaya!"
Drs. Zulfikar terperangah, penonton tersesat dalam teori fisika optik, sekadar mengangguk sedikit saja sudah tak sanggup. Dan aku girang tak alang kepalang, dugaanku terbukti! Rasanya aku ingin meloncat dari tempat duduk dan berdiri di atas meja mahoni mahal berusia ratusan tahun itu sambil berteriak kencang kepada seluruh hadirin: "Kalian tahu, ini Lintang Samudra Basara bin Syahbani Maulana Basara, orang pintar kawanku sebangku! Rasakan kalian semua!" Sekarang ekspresi Sahara seperti leopard yang sedang mencabik-cabik predator pesaing, ia mengaum, alisnya bertemu seperti sayap elang, dan Lintang masih belum puas.
"Newton mengatakan, kecuali Bapak ingin nyangkal manuskrip ilmiah yang tak terbantahkan selama 500 tahun hasil karya ilmuwan yang disebut Michael Hart sebagai manusia paling hebat setelah Nabi Muhammad, bahwa tebal tipisnya partikel transparan menentukan warna yang ia pantulkan. Itulah persamaan ketebalan lapisan udara antara optik sebagai dasar dalil warna cincin. Semua itu hanya bisa diobservasi melalui optik, bagaimana Bapak bisa mengatakan perkara-perkara ini tidak saling berhubungan?"
Sang Drs. terkulai lemas, wajahnya pucat pasi. Ia membenamkan pantatnya yang tepos di bantalan kursi seperti tulang belulangnya telah dipresto. Ia kehabisan kata-kata pintar, kacamata minusnya merosot layu di batang hidungnya yang bengkok. Ia paham bahwa berpolemik secara membabi buta dan berkomentar lebih jauh tentang sesuatu yang tak terlalu ia kuasai hanya akan memperlihatkan ketololannya sendiri di mata orang genius seperti Lintang. Maka ia mengibarkan saputangan putih, Lintang telah menghantamnya knock out. Ia dipaksa Lintang menelan pil APC yang pahit tanpa air minum dan pil manjur itu kini tersangkut di tenggorokannya. Sekali lagi para pendukung kami berjingkrak-jingkrak histeris seperti doger monyet. Pak Harfan mengacungkan dua jempolnya tinggi-tinggi pada Lintang. "Bravo! Bravo!" teriaknya girang. Bu Mus yang berpakaian paling sederhana dibanding guru-guru lain mengangguk-angguk takzim. Ia terlihat sangat bangga pada murid-murid miskinnya, matanya berkaca-kaca dan dengan haru beliau berucap lirih, "Subhanallah ... Subhanallah ...."
Selanjutnya, mekanisme lomba menjadi monoton, yaitu ibu cantik membacakan pertanyaan yang tak selesai, suara kriiiiiing, teriakan jawaban Lintang, dan pekikan seratussss dari Benyamin S. Aku terpaku memandang Lintang, betapa aku menyayangi dan kagum setengah mati pada sahabatku ini. Dialah idolaku. Pikiranku melayang ke suatu hari bertahun-tahun yang lalu ketika sang bunga pilea ini membawa pensil dan buku yang keliru, ketika ia beringsut-ingsut naik sepeda besar 80 kilometer setiap hari untuk sekolah, ketika suatu hari ia menempuh jarak sejauh itu hanya untuk menyanyikan lagu Padamu Negeri. Dan ha-ri ini ia meraja di sini di majelis kecerdasan yang amat terhormat ini.
Seperti Mahar, Lintang berhasil mengharumkan nama per-guruan Muhammadiyah. Kami adalah sekolah kampung pertama yang menjuarai perlombaan ini, dan dengan sebuah kemenangan mutlak. Air yang menggenang seperti kaca di mata Bu Mus dan laki-laki cemara angin itu kini menjadi butir-butiran yang berlinang, air mata kemenangan yang mengobati harapan, pengorbanan, dan jerih payah.
Hari ini aku belajar bahwa setiap orang, bagai-mana pun terbatas keadaannya, berhak memiliki cita-cita, dan keinginan yang kuat untuk mencapai cita-cita itu mampu menimbulkan prestasi-prestasi lain sebelum cita-cita sesungguhnya tercapai. Keinginan kuat itu juga memunculkan kemampuan-kemampuan besar yang tersembunyi dan keajaiban-keajaiban di luar perkiraan. Siapa pun tak pernah membayangkan sekolah kampung Muhammadiyah yang melarat dapat mengalahkan raksasa-raksasa di meja mahoni itu, tap/ keinginan yang kuat, yang kami pelajah dari petuah Pak Harfan sembilan tahun yang lalu di hari pertama kami masuk SD, agaknya terbukti. Keinginan kuat itu telah mem-belokkan perkiraan siapa pun sebab kami tampil sebagai juara pertama tanpa banding. Maka barangkali keinginan kuat tak kalah penting dibanding cita-cita itu sendiri.
Ketika Lintang mengangkat tinggi-tinggi trofi besar kemenangan, Harun bersuit-suit panjang seperti koboi memanggil pulang sapi-sapinya, dan di sana, di sebuah tempat duduk yang besar, ibu Frischa berkipas-kipas kegerahan, wajahnya menunjukkan sebuah ekspresi seolah saat itu dia
Next Novel Laskar Pelangi Bagian 28 (Societeit de Limpai)
Kembali kami berada dalam sebuah situasi yang mempertaruhkan reputasi. Lom-ba kecerdasan. Dan kami berkecil hati melihat murid-murid negeri dan sekolah PN membawa buku-buku teks yang belum pernah kami lihat. Tebal berkilat-kilat dengan sampul berwarna-warni, pasti buku-buku mahal. Sebagian peserta berteriak-teriak keras menghafal-kan nama-nama kantor berita.
Risikonya tentu jauh lebih besar dari karnaval dulu. Lomba kecerdasan adalah arena terbuka untuk mempertontonkan kecerdasan, atau jika sedang bernasib sial, mempertontonkan ketololan yang tak terkira. Dan semua nasib sial itu akan ditanggung langsung oleh aku,Sahara, dan Lintang. Kami adalah regu F pada lomba memencet tombol ini. Bagaimana kalau kami tak mampu menjawab dan hanya membawa pulang angka nol?
Persoalan klasiknya adalah kepercayaan diri. Inilah problem utama jika berasal dari lingkungan marginal dan mencoba bersaing. Kami telah dipersiapkan dengan baik oleh Bu Mus. Beliau memang menaruh harapan besar pada lomba ini lebih dari beliau berharap waktu kami karnaval dulu. Bu Mus pontang-panting mengumpulkan contoh-contoh soal dan bekerja sangat keras melatih kami dari pagi sampai sore. Bu Mus melihat lomba ini sebagai media yang sempurna untuk menaikkan martabat sekolah Muhammadiyah yang bertahun-tahun selalu diremehkan. Bu Mus sudah bosan dihina. Sayangnya sekeras apa pun beliau membuat kami pintar dan menguatkan mental kami, mendorong-dorong, membujuk, dan mengajari kami agar tegar, kami tetap gugup. Semua yang telah dihafalkan berminggu-minggu lenyap seketika, jalan pikiran menjadi buntu. Aku berusaha menenangkan diri dengan membayangkan duduk bersemadi di ataspadangrumput hijau di tempat yang paling tenang dalam imajinasiku: Edensor, tapi upaya ini juga gagal.
"Persetan kepercayaan diri, pokoknya dengar pertanyaannya baik-baik, pencet tombolnya cepat-cepat, dan jawab dengan benar," demikian kataku.Saharamengangguk, Lintang tak peduli.
Kami duduk menghadapi sebuah meja mahoni yang besar, panjang, indah, dan dingin. Seluruh teman sekelasku dan guru-guru hadir untuk menyemangati kami. Ruangan penuh sesak oleh para pendukung setiap sekolah. Aku, Lintang, danSaharamengerut di balik meja itu. Kami berpakaian amat sederhana dan sepatu cunghai Lintang masih menebarkan bau hangus.
Pendukung yang paling dominan tentu saja pendukung sekolah PN. Jumlahnya ratusan dan menggunakan seragam khusus dengan tulisan mencolok di punggungnya: VINI, VIDI, VICI, artinya AKU DATANG, AKU LIHAT, AKU MENANG. Benar-benar menjatuhkan mental lawan. Sekolah PN mengirim tiga regu, masing-masing regu A, B, dan C. Anggota regu itu adalah yang terbaik dari yang terbaik. Mereka diseleksi secara khusus dengan amat ketat dan standar yang sangat tinggi. Beberapa peserta itu pernah menjuarai lomba cerdas cermat tingkat provinsi bahkan ada yang telah dikirim untuk tingkat nasional. Pakaian anggota regu juga sangat berbeda. Mereka mengenakan jas warna biru gelap yang indah, sepatu yang seragam dengan celana panjang berwarna serasi, dan mereka berdasi.
Tahun ini mereka dipersiapkan lebih matang, sistematis, dan secara amat ilmiah oleh seorang guru muda yang terkenal karena kepandaiannya. Guru ini membuat simulasi situasi lomba sesungguh-nya dengan bel, dewan juri, stop watch, dan antisipasi variasi-variasi soal. Guru yang cemerlang ini baru saja mengajar di PN, dulu ia bekerja di sebuah perusahaan asing di unit riset dan pengembangan kemudian ditawari mengajar di PN dengan gaji berlipat-lipat dan janji beasiswa S2 dan S3. Ia lulus cum laude dari Fakultas MIPA sebuah universitas negeri ternama. Tahun ini ia terpilih sebagai guru teladan provinsi. Ia mengajar fisika, Drs. Zulfikar, itulah namanya.
Pendukung kami dipimpin oleh Mahar dan Flo. Meskipun hanya berjumlah sedikit tapi semangat mereka menggebu. Mereka membawa dua buah bendera besar Muhammadiyah yang telah lapuk dan berbagai macam tabuh-tabuhannya seperti para suporter sepak bola.Parapelajar PN yang menganggap Flo pengkhianat melirik kejam pada-nya, tapi seperti Lintang, Flo juga tak peduli. Walaupun besar sekali kemungkinan tim kami dipermalukan oleh kecerdasan tim PN dalam lomba ini, tapi Flo tak ragu sedikit pun membela habis-habisan sekolahnya, sekolah kampung Muham-madiyah.
Di antara pendukung kami adaTrapanidan ibunya, kedua anak beranak ini saling bergandengan tangan. Aku melihat pelajar-pelajar wanita berbisik-bisik, tertawa cekikikan, dan terus-menerus melirik-nya karena semakin remajaTrapanisemakin tampan. la ramping, berkulit putih bersih, tinggi, berambut hitam lebat, di wajahnya mulai tumbuh kumis-kumis tipis, dan matanya seperti buah kenari muda: teduh, dingin, dan dalam.
Sesungguhnya dalam seleksi tim yang akan mewakili sekolah kamiTrapanitelah terpilih. Skornya lebih tinggi dibanding skorSaharanamun nilai geografinya lebih rendah. Kekuatan tim kami adalah matematika, hitungan-hitungan IPA, biologi, dan bahasa Inggris yang semuanya tak diragukan ada di tangan Lintang. Aku agak baik pada bidang - bidang kewarganegaraan, tarikh Islam, fikih, budipekerti, dan sedikit bahasaIndonesia. Yang paling lemah dalam tim kami adalah geografi dan ahli geografi kami adalahSahara. Maka demi kekuatan timTrapanidengan lapang dada memberi kesem-patan padaSaharauntuk tampil.Trapaniadalah pria muda yang amat tampan dan berjiwa besar.
"Tabahkan hatimu, Ikal ...," itulah nasihatTra-panipelan padaku.
Sementara di meja mahoni yang megah itu Lintang diam seribu bahasa, kelelahan, selayaknya orang yang memikul seluruh beban pertaruhan nama baik. Aku tak henti-henti berkipas, bukan kepanasan, tapi hatiku mendidih karena gentar. Tak pernah sekali pun sekolah kampung menang dalam lomba ini, bahkan untuk diundang saja sudah merupakan kehormatan besar.
Lintang sudah membatu sejak subuh tadi. Di atas truk terbuka yang membawa kami ke ibukotakabupaten ini,Tanjong Pandan,iamembisu seperti orang sakit gigi parah. Ia memandang jauh. Tak mampu kuartikan apa yang berkecamuk di dadanya. Ayah, Ibu, dan adik-adiknya juga ikut. Mereka, termasuk Lintang, baru pertama kali ini pergi ke Tanjong Pandan.
Saharaduduk di tengah. Aku dan Lintang di samping kiri dan kanannya. Ekspresi Lintang datar, ia tersandar lesu tanpa minat. Agaknya ia demikian minder, berkecil hati, dan malu berada di lingkungan yang sama sekali asing baginya. Ia hanya menatap Ayah, Ibu, dan adik-adiknya yang berpakaian amat sederhana, duduk saling merapatkan diri di pojok, tampak bingung dalam suasana yang hiruk pikuk. Aku mencoba berkonsentrasi tapi gagal. Lintang danSaharasudah tak bisa diharapkan.
Kulihat tangan para peserta lain mulai meraba tombol di depan mereka, siap menyalak.Saharakelihatan pucat, seperti orang bingung. la yang telah ditugasi dan dilatih khusus memencet tombol sedikit pun tak mampu mendekatkan jarinya ke benda bulat itu. la sudah pasrah atas kemungkinan kalah mutlak.Saharamengalami demam panggung tingkat gawat. Sementara otakku tak bisa lagi dipakai untuk berpikir. Keributan yang terjadi ketika peserta lain mencoba-coba tombol dan mikrofon terdengar bagaikan teror bagi kami. Kami tak sedikit pun mencoba benda-benda itu. Kami sudah kalah sebelum bertanding.Parapendukung Muhamma-diyah membaca kegentaran kami. Mereka tampak prihatin.
Suasana semakin tegang ketika ketua dewan juri bangkit dari tempat duduknya, memperkenalkan diri, dan menyatakan lomba dimulai. Jantungku berdegup kencang,Saharapucat pasi, dan Lintang tetap diam misterius, ia bahkan memalingkan wajah keluar melalui jendela.
Dan inilah detik-detik kebenaran itu. Pertanya-an ditujukan kepada semua peserta yang harus berlomba cepat memencet tombol agar dapat menjawab dan jika keliru akan kena denda. Aku tak berani melihat para penonton. Dan Bu Mus tak berani melihat wajah kami. Wajahnya dipalingkan ke lampu besar di tengah ruangan yang berjuntai-juntai laksana raja gurita. Baginya ini adalah peristiwa terpenting selamalimabelas tahun karier mengajarnya. Beliau benar-benar menginginkan kami menang dalam lomba ini, karena beliau tahu lomba ini sangat penting artinya bagi sekolah kampung seperti Muhammadiyah. Wajahnya kusut menang-gung beban, mungkin beliau juga telah bosan bertahun-tahun selalu diremehkan.
Tak lama kemudian seorang wanita anggun yang bergaun jas cantik berwarna merah muda berdiri. Beliau meminta penonton agar tenang karena beliau akan mengajukan pertanyaan. Suaranya indah, bertimbre berat, dan tegas seperti penyiar RRI.
Wanita itu mendekatkan wajahnya pada mi-krofon dan menegakkan lembaran kertas di depannya seperti orang akan membaca Pancasila. Detik-detik kebenaran yang hakiki dan men-cemaskan tergelar di depan kami. Seluruh peserta memasang telinga baik-baik, siap menyambar tombol, dan siaga mendengar berondongan perta-nyaan. Suasana mencekam ....
Pertanyaan pertama bergema.
"Ia seorang wanita Prancis, antara mitos dan realita ...."
Kring! Kriiiiiiiingggg! Kriiiiiiiiiiiiinnnggggg!
Wanita anggun itu tersentak kaget karena pertanya-annya secara mendadak dipotong oleh suara sebuah tombol meraung-raung tak sabar. Aku danSaharajuga terperanjat tak alang kepalang karena baru saja sepotong lengan kasar dengan kecepatan kilat menyambar tombol di depan kami, tangan Lintang!
"Regu F!" kata seorang pria anggota dewan juri lainnya. Wajahnya seperti almarhum Benyamin S. la memakai jas dan dasi kupu-kupu.
"Joan D'Arch,Loire Valley,France!" jawab Lin-tang membahana, tanpa berkedip, tanpa keraguan sedikit pun, dengan logat Prancis yang sengau-sengau aduhai.
"Seratusss!" Benyamin S. tadi membalas disam-but tepuk tangan gemuruh para penonton. Kulihat bendera Muhammadiyah berkibar-kibar.
"Pertanyaan kedua: Terjemahkan dalam kalimat integral dan hitung luas wilayah yang dibatasai oleh y = 2x dan x = 5."
Lintang kembali menyambar tombol secepat ki-lat dan jawabannya serta-merta memecah ruangan.
"Integral batas 5 dan 0, 2x minus x kali dx, hasilnya: dua belas komalima!"
Luar biasa! tanpa ada kesangsian, tanpa membuat catatan apa pun, kurang dari 5 detik, tanpa membuat kesalahan sedikit pun, dan nyaris tanpa berkedip.
"Seratussssss!" lengking Benyamin S. Mendengar lengkingan Benyamin S. pendukung kami melonjak-lonjak seperti orang kesurupan. Suara mereka huh rendah laksana kawanan kum-bang kawin. Flo melompat-lompat sambil menge-luarkan jurus-jurus kick boxing.
"Pertanyaan ketiga: Hitunglah luas dalam jarak integral 3 dan 0 untuk sebuah fungsi 6 plus Sx minus x pangkat 2 minus 4 x."
Lintang memejamkan matanya sebentar, ia tak membuat catatan apa pun, semua orang memandangnya dengan tegang, lalu kurang dari 7 detik kembali ia melolong.
"Tiga belas setengah!"
Tak sebiji pun meleset, tak ada ketergesa-gesaan, tak ada keraguan sedikit pun.
"Seratusssss!" balas Benyamin S. sambil menggeleng-gelengkan kepalanya karena takjub melihat kecepatan daya pikir Lintang. Pendukung kami bersorak sorai histeris gegap gempita. Mereka mendesak maju karena perlombaan semakin seru. Ayah, Ibu, dan adik-adik Lintang berusaha berdiri dan bergabung dengan pendukung kami yang lain. Mereka tersenyum lebar dan kulihat ayah Lintang, pria cemara angin itu, wajahnya berseri-seri penuh kebanggaan pada anaknya, matanya yang kuning keruh berkaca-kaca.
Sementara para peserta lain terpana dan berkecil hati. Lintang menjawab kontan, bahkan ketika mereka belum selesai menulis soal itu dalam kertas catatan yang disedia-kan panitia. Beberapa di antaranya membanting pensil tanpa ampun.Trapaniyang kalem mengangguk-angguk pelan. Pak Harfan bertepuk tangan girang sekali seperti anak kecil, wajahnya menoleh kesanakemari. "Lihatlah murid-muridku, ini baru murid-muridku ...," itu mungkin makna ekspresi wajahnya. Bu Mus bergerak maju ke depan, wajah kusutnya telah sirna menjadi cerah. Sekarang beliau berani mengangkat wajahnya, matanya juga berkaca-kaca dan bibirnya bergumam, "Subhanallah, subhanallah ……."
Ibu jas merah muda berupaya keras mene-nangkan penonton yang riuh dan berdecak-decak kagum, terutama menenangkan pendukung kami yang tak bisa menguasai diri. Beliau melanjutkan pertanyaan.
"Selain menggunakan teknik radiocarbon untuk
menentukan usia sebuah temuan arkeologi, para ahli juga .,…"
Kring! Khiiiiiiingggg!
Kembali Lintang mengamuk, dan ia menjawab lantang.
"Thermoiuminescent dating1.Penentuan usia melalui pelepasan energi sinar dalam suhu panas!"
"Seratussss!"
Berikutnya hanyalah kejadian yang persis sa-ma dengan pertanyaan itu. Wanita cantik berjas merah muda itu tak pernah sempat menyelesaikan pertanyaannya. Lintang menyambar setiap soal tanpa memberikan kesempatan sekali pun pada peserta lain.
Ratusan penonton terkagum-kagum. Warga Muhammadiyah di ruangan itu berjingkrak-jingkrak sambil saling memeluk pundak. Vang paling bahagia adalah Harun. Dia memang senang dengan keramaian. Aku melihatnya bertepuk-tangan tak henti-henti, berteriak-teriak memberi semangat, tapi wajahnya tak melihat ke arah kami, ia menoleh keluar jendela. Kiranya ia sedang memberi semangat kepada sekelompok anak perempuan yang sedang bermain kasti di halaman.
Di tengah hiruk pikuk para penonton aku sem-pat mendengar jawaban-jawaban tangkas Lintang: "Vincent Van Gogh, menyasszonytanc , The Hunch back of Notredame, paradoks air, Edgar Alan Poe, medula spinalis, Dian Fossey, artropoda, 300 ribu kilometer per detik. Basedow, dacty/orhiza mocu-iata, ancyostoma duodenaie, Stone Henge, Platy-helminthes, endoskeleton, Serebrum, Langerhans, fiuoxetine hydrochioride, 8,5 menit cahaya, extremely low frequency, molekul chirai
...."
Ia tak terbendung, aku merinding melihat kecerdasan sahabatku ini. Peserta lain terpesona dibuatnya. Mereka seperti terbius sebuah kharisma kuat kecerdasan murni dari seorang anak Melayu pedalaman miskin, murid sekolah kampung Muhammadiyah yang berambut keriting merah tak terawat dan tinggal di rumah kayu doyong beratap daun nun jauh terpencil di pesisir.
Parapeserta sekolah PN merasa geram karena tak kebagian satu pun jawaban. Maka mereka mencoba berspekulasi. Tujuannya bukan untuk menjawab tapi untuk menjegal Lintang. Mereka berusaha secara tidak rasional memencet tombol secepat mungkin. Sebuah tindakan tolol yang berakibat denda karena tak mampu menginter-pretasikan seluruh konteks pertanyaan. Sedangkan Lintang, seperti dulu pernah kuceritakan, anak ajaib kuli kopra ini, memiliki kemampuan yang menga-gumkan untuk menebak isi kepala orang.
Dominasi Lintang membuat beberapa penonton terusik egonya dan penasaran ingin menguji Einstein kecil ini maka insiden pun terjadi. Ketika itu juri menanyakan:
"Terobosan pemahaman ilmiah terhadap konsep warna pada awal abad ke-16 memulai penelitian yang intens di bidang optik. Ketika itu banyak ilmuwan yang percaya bahwa campuran cahaya dan kegelapanlah yang menciptakan warna, sebuah pendapat yang rupanya keliru. Kekeliruan itu dibuktikan dengan memantulkan cahaya pada sekeping lensa cekung .,„¦"
Khiiiiing! Kriiiiing! Kring! Lintang menyalak-nyalak.
"Cincin Newton!"
"Seratussss!"
Sekali lagi suporter kami bergemuruh jumpali-tan, tapi tiba-tiba seseorang di antara penonton menyela, "Saudara ketua! Saudara ketua! Saudara ketua dewan juri! Saya kira pertanyaan dan jawaban itu keliru besar!"
Seluruh hadirin sontak diam dan melihat ke a-rah seorang pemuda yang kecewa ini. Oh, Drs. Zulfikar, guru fisika teladan dari sekolah PN itu. Gawat! Urusan ini bisa runyam. Sekarang pan-dangan seluruh hadirin menghunjam ke arah guru muda yang otak cemerlangnya sudah kondang ke mana- mana. Untuk diajar privat olehnya bahkan harus antre. la harapan yang akan melanjutkan tradisi lama sekolah PN sebagai pemenang pertama lomba kecerdasan ini dan ia sudah mempersiapkan timnya demikian sempurna. Ia tak ingin dipermalukan dan ia tak pernah berurusan dengan sesuatu yang tidak terbaik. Sekarang apa yang akan ia perbuat? Aku danSaharawaswas tapi Lintang tenang-tenang saja. Drs. itu angkat bicara dengangayaakademisi tulen:
"Percobaan dengan lensa cekung tidak ada kaitannya dengan bantahan terhadap teori awal yang meyakini bahwa warna dihasilkan oleh campuran cahaya dan kegelapan. Dan sebaliknya, pemahaman terhadap penciptaaan warna bukanlah persoalan optik, kecuali dewan juri ingin membantah Descartes atau Aristoteles. Soal optik dan spektrum warna adalah dua macam hal yang berbeda. Situasi ini ambigu, di sini kita menghadapi tiga kemungkin-an, pertanyaan yang salah, jawaban yang keliru, atau kedua-duanya tak berdasar dalam arti tidak kontekstual!"
Aduh...! Komentar ini sudah di luar daya jang-kau akalku, asing, tinggi, dan jauh. Ini sudah semacam debat mempertahankan tesis S2 di depan tiga orang profesor. Tapi tidakkah sedikit banyak kata-kata sang Drs. itu berbentuk U, kritis namun berputar-putar? Dan ia pintar sekali membimbang-kan dewan juri dengan menyintir pendapat Rene Descartes, siapa yang berani membantah sinuhun ilmu zaman lawas itu? Mudah-mudahan Lintang punya argumentasi. Kalau tidak kami akan habis di sini. Aku membatin dengan cemas tapi tak tahu akan berbuat apa. Pak Harfan bertelekan pinggang lalu menunduk dan Bu Mus merapatkan kedua tangannya di atas dadanya seperti orang berdoa, wajahnya prihatin ingin membela kami tapi beliau tak berdaya karena serangan Drs. Zulfikar memang sudah ter-lalu canggih. Bu Mus tampak tak tega melihat kami. Aku memandangSaharadan ia cepat-cepat memalingkan muka, ia menoleh keluar jendela seolah tak mengenal kami. Wajahnya menunjukkan ekspresi bahwa saat itu ia sedang tidak duduk di situ.
Parapenonton dan dewan juri terlihat bingung atas bantahan yang supercerdas itu. Jangankan menjawab bahkan sebagian tak mengerti apa yang dipersoalkan. Tapi seseorang memang harus me - nyelamatkan situasi ini, maka ketua dewan juri bangkit dari tempat duduknya. Lintang masih tenang-tenang saja, ia tersenyum sedikit, santai sekali.
"Terima kasih atas bantahan yang hebat ini, apa yang harus saya katakan, bidang saya adalah pendidikan moral Pancasila ...," kata ketua dewan juri.
Si Drs. bersungut-sungut, ia merasa di atas angin. Ekor matanya seolah mengumumkan kalau ia sudah khatam membaca buku Principia karya Isaac Newton, bahwa ia juga pelanggan jurnal-jurnal fisika internasional, bahwa ia kutu laboratorium yang kenyang pengalaman eksperimen, bahkan seolah fisikawan Christiaan Huygens itu uwaknya. Pria ini adalah seorang fresh graduate yang sombong, ia memperlihatkan karakter manusia sok pintar yang baru tahu dunia. Bicaranya di awang-awang dengangayaseperti Pak Habibie. Ia mengutip buku asing disanasini tak keruan, menggunakan istilah-istilah aneh karena ingin mengesankan dirinya luar biasa. Tapi kali ini, aku jamin dia akan menelan APC, pil pahit segala penyakit andalan orang kampung Belitong yang amat manjur.
Karena merasa sudah menang dengan kritiknya guru muda itu meningkatkan sifat buruk dari sombong menjadi tak tahan pada godaan untuk meremehkan.
"Atau barangkali anak-anak SMP Muhammadi-yah ini atau dewan juri bisa menguraikan pendekatan optik Descartes untuk menjelaskan fenomena warna?"
Keterlaluan! Seluruh hadirin tentu mengerti bahwa kalimat bernada menguji itu sesungguhnya tak perlu. Pak Zulfikar hanya ingin menghina sekaligus melumpuhkan mental kami dan dewan juri karena ia yakin bahwa kami tak mengerti apa pun mengenai Descartes. Dengan demikian ia dapat menganulir pertanyaan awal tadi sekaligus menja-tuhkan martabat majelis ini. Yang menyakitkan adalah ia dengan jelas menekankan kata SMP Muhammadiyah untuk megingatkan semua orang bahwa kami hanyalah sebuah sekolah kampung yang tak penting.
Aku memang tak mengerti pendekatan optik tapi aku tahu sedikit sejarah penemuan fenomena warna. Aku tahu bahwa Descartes bekerja dengan prisma dan lembaran-lembaran kertas untuk menguji warna, bukan murni dengan manipulasi optik.
Newton-lah sesungguhnya sang guru besar optik. Pak Zulfikar jelas sok tahu dan dengan mulut besarnya ia mencoba menggertak semua orang melalui kesan seolah ia sangat memahami teori warna. Aku geram dan ingin membantah Drs. congkak ini tapi pengetahuanku terbatas. Tabiat Pak Zulfikar adalah persoalan klasik di negeri ini, orang-orang pintar sering bicara meracau dengan istilah yang tak membumi dan teori-teori tingkat tinggi bukan untuk menemukan sebuah karya ilmiah tapi untuk membodohi orang-orang miskin. Sementara orang miskin diam terpuruk, tak menemukan kata-kata untuk membantah.
Aku menatap Lintang, memohon bantuannya jika nanti aku angkat bicara melawan kezaliman Drs. itu. Aku sangat perlu dukungannya. Tapi bagaimana nanti kalau ternyata aku yang keliru? Bagaimana kalau aku diserang balik bertubi-tubi? Ah, risikonya terlalu tinggi, bisa-bisa aku dipermalukan. Ini juga persoalan klasik bagi orang yang memiliki penge-tahuan setengah-setengah sepertiku. Maka dadaku berkecamuk antara ingin melawan dan ragu-ragu. Tapi aku sangat marah karena sekolahku dihina dan aku jengkel karena aku tahu bahwa Drs. itu membawa-bawa nama Descartes secara keliru dan tidak adil guna keuntungannya sendiri.
Melihatku demikian gusar Lintang tersenyum kecil padaku. Sebuah senyum damai. Aku tahu, seperti biasa, ia dapat membaca pikiranku dengan benderang. Ia membalas tatapanku dengan lembut seakan mengatakan, "Sabar Dik, biar Abang bereskan persoalan ini ...." Wajahnya tenang sekali. Aku dan Sahara ciut. Kami mengerut di ketiak kiri kanan pendekar ilmu pengetahuan yang sakti mandraguna andalan kami ini.
Mendengar tantangan Pak Zulfikar yang tak bersahabat tadi bapak ketua dewan juri yang baik menarik napas panjang. Beliau menoleh ke arah para koleganya, anggota dewan juri. Semuanya menggeleng-gelengkan kepala. Lalu beliau mencoba menengahi dengan diplomatis dan sangat merendah. "Maafkan Bapak Guru Muda, atas nama dewan juri saya terpaksa mengatakan bahwa pengetahuan kami agaknya belum sampai ke sana."
Kata-katanya demikian bersahaja. Kasihan ba-pak tua itu. Ia seorang guru senior yang rendah hati dan sangat disegani karena dedikasinya selama puluhan tahun di dunia pendidikan Belitong. Beliau tampak malu dan putus asa. Lalu beliau mengalihkan pandangan ke arah regu F, regu kami, Lintang tersenyum dan mengangguk kecil padanya. Tanpa diduga ketua dewan juri mengatakan, "Tapi mungkin anak Muhammadiyah yang cemerlang ini bisa membantu."
Suasana sunyi senyap dalam nuansa yang sangat tidak mengenakkan, dan semakin tidak enak karena sang Drs. kembali mengudara dengan komentar sengak tanpa perasaan.
"Saya harap argumentasi mereka bisa setepat jawabannya tadi!"
Semakin keterlaluan! Ia sengaja memprovokasi Lintang dan kali ini Lintang terpancing, ia angkat bicara.
"Jika bantahan Bapak mengenai pertanyaan yang tidak kontekstual dengan jawaban, mungkin saja bantahan semacam itu bisa diterima. Dewan juri menanyakan sesuatu yang jawabannya sudah tertera di kertas yang dibacakan ibu pembaca soal. Saya yakin di sana tertulis cincin Newton dan kami menjawab cincin Newton, berarti kami berhak atas angka seratus. Maka kalaupun itu memang tidak kontekstual, itu hanya berarti dewan juri menanyakan sesuatu yang benar dengan cara yang keliru ...."
Pak Zulfikar tak terima.
"Dengan kata lain pertanyaan nomor itu gugur karena bisa saja peserta lain menduga arah jawaban yang keliru!" Lintang tak sabar.
"Tidak ada yang keliru! Kecuali Bapak tidak memedulikan substansi dan ingin menggugurkan nilai kami karena persoalan remeh-temeh."
Pak Zulfikar tersinggung, ia menjadi marah, dan suasana berubah tegang.
"Kalau begitu jelaskan pada saya substansinya! Karena bisa saja kalian mendapat nilai melalui kemampuan menebak-nebak jawaban secara untung-untungan tanpa memahami persoalan sesungguhnya!"
Wah, ini sudah kurang ajar. Sahara menyeringai, setelah sekian lama menghilang ke alam lain kini ia kembali dalam penjelmaan seekor leopard, alisnya bertemu. Para penonton dan dewan juri tercengang, terlongong-longong dalam adu argumentasi ilmiah tingkat tinggi yang memanas. Mereka bahkan tak mampu memberi satu komentar pun, persoalan ini gelap bagi mereka. Tapi aku tersenyum senang karena aku tahu kali ini guru muda yang sok tahu ini akan kena batunya.
Bantahannya yang terakhir itu adalah pelecehan. Lintang tersengat harga dirinya, wajahnya merah padam, sorot matanya tak lagi jenaka. Lintang, yang baru sekali ini menginjak Tanjong Pandan, berdiri dengan gagah berani menghadapi guru PN yang arogan jebolan perguruan tinggi terkemuka itu. Sembilan tahun sangat dekat dengan Lintang, baru kali ini aku melihatnya benar-benar muntah, maka inilah cara orang genius mengamuk:
"Substansinya adalah bahwa Newton terang-terangan berhasil membuktikan kesalahan teori-teori warna yang dikemukakan Descartes dan Aristoteles! Bahkan yang pa-ling mutakhir ketika itu, Robert Hooke. Perlu dicatat bahwa Robert Hooke mengadopsi teori cahaya berdasarkan filosofi mekanis Descartes dan mereka semua, ketiga orang itu, menganggap warna memiliki spektrum yang terpisah. Melalui optik cekung yang kemudian melahirkan dalil cincin, Newton membuktikan bahwa warna memiliki spektrum yang kontinu dan spektrum warna sama sekali tidak dihasilkan oleh sifat-sifat kaca, ia semata-mata produk dari sifat-sifat hakiki cahaya!"
Drs. Zulfikar terperangah, penonton tersesat dalam teori fisika optik, sekadar mengangguk sedikit saja sudah tak sanggup. Dan aku girang tak alang kepalang, dugaanku terbukti! Rasanya aku ingin meloncat dari tempat duduk dan berdiri di atas meja mahoni mahal berusia ratusan tahun itu sambil berteriak kencang kepada seluruh hadirin: "Kalian tahu, ini Lintang Samudra Basara bin Syahbani Maulana Basara, orang pintar kawanku sebangku! Rasakan kalian semua!" Sekarang ekspresi Sahara seperti leopard yang sedang mencabik-cabik predator pesaing, ia mengaum, alisnya bertemu seperti sayap elang, dan Lintang masih belum puas.
"Newton mengatakan, kecuali Bapak ingin nyangkal manuskrip ilmiah yang tak terbantahkan selama 500 tahun hasil karya ilmuwan yang disebut Michael Hart sebagai manusia paling hebat setelah Nabi Muhammad, bahwa tebal tipisnya partikel transparan menentukan warna yang ia pantulkan. Itulah persamaan ketebalan lapisan udara antara optik sebagai dasar dalil warna cincin. Semua itu hanya bisa diobservasi melalui optik, bagaimana Bapak bisa mengatakan perkara-perkara ini tidak saling berhubungan?"
Sang Drs. terkulai lemas, wajahnya pucat pasi. Ia membenamkan pantatnya yang tepos di bantalan kursi seperti tulang belulangnya telah dipresto. Ia kehabisan kata-kata pintar, kacamata minusnya merosot layu di batang hidungnya yang bengkok. Ia paham bahwa berpolemik secara membabi buta dan berkomentar lebih jauh tentang sesuatu yang tak terlalu ia kuasai hanya akan memperlihatkan ketololannya sendiri di mata orang genius seperti Lintang. Maka ia mengibarkan saputangan putih, Lintang telah menghantamnya knock out. Ia dipaksa Lintang menelan pil APC yang pahit tanpa air minum dan pil manjur itu kini tersangkut di tenggorokannya. Sekali lagi para pendukung kami berjingkrak-jingkrak histeris seperti doger monyet. Pak Harfan mengacungkan dua jempolnya tinggi-tinggi pada Lintang. "Bravo! Bravo!" teriaknya girang. Bu Mus yang berpakaian paling sederhana dibanding guru-guru lain mengangguk-angguk takzim. Ia terlihat sangat bangga pada murid-murid miskinnya, matanya berkaca-kaca dan dengan haru beliau berucap lirih, "Subhanallah ... Subhanallah ...."
Selanjutnya, mekanisme lomba menjadi monoton, yaitu ibu cantik membacakan pertanyaan yang tak selesai, suara kriiiiiing, teriakan jawaban Lintang, dan pekikan seratussss dari Benyamin S. Aku terpaku memandang Lintang, betapa aku menyayangi dan kagum setengah mati pada sahabatku ini. Dialah idolaku. Pikiranku melayang ke suatu hari bertahun-tahun yang lalu ketika sang bunga pilea ini membawa pensil dan buku yang keliru, ketika ia beringsut-ingsut naik sepeda besar 80 kilometer setiap hari untuk sekolah, ketika suatu hari ia menempuh jarak sejauh itu hanya untuk menyanyikan lagu Padamu Negeri. Dan ha-ri ini ia meraja di sini di majelis kecerdasan yang amat terhormat ini.
Seperti Mahar, Lintang berhasil mengharumkan nama per-guruan Muhammadiyah. Kami adalah sekolah kampung pertama yang menjuarai perlombaan ini, dan dengan sebuah kemenangan mutlak. Air yang menggenang seperti kaca di mata Bu Mus dan laki-laki cemara angin itu kini menjadi butir-butiran yang berlinang, air mata kemenangan yang mengobati harapan, pengorbanan, dan jerih payah.
Hari ini aku belajar bahwa setiap orang, bagai-mana pun terbatas keadaannya, berhak memiliki cita-cita, dan keinginan yang kuat untuk mencapai cita-cita itu mampu menimbulkan prestasi-prestasi lain sebelum cita-cita sesungguhnya tercapai. Keinginan kuat itu juga memunculkan kemampuan-kemampuan besar yang tersembunyi dan keajaiban-keajaiban di luar perkiraan. Siapa pun tak pernah membayangkan sekolah kampung Muhammadiyah yang melarat dapat mengalahkan raksasa-raksasa di meja mahoni itu, tap/ keinginan yang kuat, yang kami pelajah dari petuah Pak Harfan sembilan tahun yang lalu di hari pertama kami masuk SD, agaknya terbukti. Keinginan kuat itu telah mem-belokkan perkiraan siapa pun sebab kami tampil sebagai juara pertama tanpa banding. Maka barangkali keinginan kuat tak kalah penting dibanding cita-cita itu sendiri.
Ketika Lintang mengangkat tinggi-tinggi trofi besar kemenangan, Harun bersuit-suit panjang seperti koboi memanggil pulang sapi-sapinya, dan di sana, di sebuah tempat duduk yang besar, ibu Frischa berkipas-kipas kegerahan, wajahnya menunjukkan sebuah ekspresi seolah saat itu dia
Next Novel Laskar Pelangi Bagian 28 (Societeit de Limpai)
Laskar Pelangi Adalah Novel Karya Andrea HirataTanpa Bermaksud Merugikan Sang Penulis,Cuma Sekedar Sharing Saja. Jangan Lupa Silahkan Beli Novel Karya - Karya Beliau.
0 Komentar:
Post a Comment