Tempat edit Design template

Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Bagian 21

Artikel terkait : Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Bagian 21




Di suatu tempat di seberang pelangi,
Nun jauh dan tinggi
Ada satu tempat yg pernah kudengar hanya dalam lullaby...


"Lo pernah nggak sih Ri bertanya dalam hati lo," kata Meva memecah kesunyian dan kedinginan yg sempat menyelimuti kami.

Sudah hampir jam dua pagi dan kami masih bertahan di beranda.

"Tanya apa?" gw balik tanya. Jari-jari gw udah berasa kebas buat memetik senar gitar dalam pelukan gw.

Meva diam sejenak. Wajahnya nampak sedikit lelah tapi sedikitpun itu nggak merusak penampilannya pagi ini. Beberapa helai rambut yg acak-acakan justru makin memancarkan sisi feminin nya yg selama ini jarang gw lihat.

"Menurut lo, pelangi itu nyata atau nggak sih?" lanjutnya datar.

Sesaat gw diam lalu tertawa kecil.

"Kebiasaan nih, kalo udah malem kayak gini pasti deh bakal muncul pertanyaan-pertanyaan aneh lo," kata gw.

Meva cemberut.

"Ya abisnya gw mau tanya ke siapa lagi kalo bukan ke elo? Satu-satunya yg kenal gw kan cuma elo..." katanya dengan nada merajuk.

"Iya tapi pertanyaannya tuh yg biasa aja lah. Gw suka bingung deh kalo udah ditanya yg kayak ginian."

"Ah, pertanyaan biasa kan cuma dijawab sama orang biasa. Kalo lo kan bukan orang biasa, yaah katakanlah lo tuh 'orang tua' yak jadi kan udah banyak pengalaman dibanding gw yg masih muda plus imut kayak gini.."

"Kita cuma beda dua taun doank!"

"Tetep aja tua an elo kan?!"

"......."

"Udah jawab ajah, menurut lo pelangi itu beneran nyata nggak?"

Gw gelengkan kepala.

"Enggak. Pelangi kan cuma efek pembiasan cahaya. Jadi gimana yak. Duh gw bukan ilmuwan sih jadi nggak bisa jelasinnya."

Meva tersenyum.

"Kenapa?" tanya gw.

"Enggak papa. Pas tadi lo bilang soal hujan yg reda dan pelangi setelahnya, gw jadi inget waktu kecil dulu..." Meva mulai curhat. "Dulu, sebelum tidur gw sering didongengin banyak cerita sama nyokap gw. Dan ada satu cerita favorit gw, cerita tentang pelangi."

Meva melirik gw, mengecek apakah gw tertarik mendengar kelanjutan ceritanya. Gw mengangguk sebagai tanda gw tertarik.

"Dongeng China kuno, tentang sepasang kekasih bernama Hsienpo dan Yingt'ei. Pernah denger?"

Gw menggeleng.

"Mereka berdua adalah sepasang kekasih yg terpisah dan harus menunggu ada pelangi supaya bisa bertemu. Dan pada akhirnya Hsienpo menjadi warna merah dalam pelangi sementara Yingt'ei menjadi warna biru. Mereka hidup bahagia selamanya."

"......."

"Gw suka nangis loh waktu dulu denger dongeng ini," dia tertawa pelan mengenang masa lalunya. Matanya menatap kosong langit hitam di depan kami.

Gw terdiam. Baru pertama kali ini gw denger dongeng pelangi.

Di suatu tempat di seberang pelangi,
Langit selalu biru
Dan apapun yg kau impikan
Menjadi nyata di situ...


"Masa belum pernah denger sih?" tanya Meva lagi.

"Yah waktu gw kecil mah paling juga didongengin si kancil sama si keong yg lomba balap karung. Nggak pernah gw dapet dongeng kayak gitu."

Kami berdua tertawa.

"Dulu gw pengeeen banget bisa terbang dan pergi ke pelangi!" lanjut Meva antusias. "Gw pernah baca, menurut orang Yunani, pelangi adalah jembatan yg dipake Dewi Iris untuk bertemu Dewa di langit. Sampe sekarang pun gw kadang masih suka berkhayal seandainya gw bisa ke pelangi..."

Gw tertawa mendengarnya.

"Ada-ada aja ah lo," komentar gw.

"Biarin. Namanya juga mengkhayal, kan bebas? Gratis juga!"

"Hehehe. Iya iya. Tapi sayang yak di sini nggak pernah muncul pelangi bulan."

"Pelangi bulan?"

"Iya, pelangi bulan. Kalo pelangi yg muncul setelah hujan kan namanya Rainbow, nah kalo yg ini namanya Moonbow. Munculnya di malam hari. Katanya sih lebih indah dari pelangi biasa. Nggak tau deh gw juga belum pernah liat soalnya."

Meva memandang takjub.

"Pasti indah yaaa..." gumamnya. Dia memandang berkeliling ke penjuru langit, berharap secara ajaib moonbow muncul tiba-tiba. Meva langsung tersenyum begitu tau yg diharapkannya nggak mungkin terjadi.

"Ri," katanya. "Kalo gw adalah pelangi, lo jadi apanya?" tanya Meva tiba-tiba.

"......."

"Ayo jawab.."

"Duh yak gw mana bisa jawab kalo lo nanya tapi muka lo sedeket ini sama muka gw??" gw dorong wajahnya menjauh.

Meva cuma nyengir lebar.

"Ayo jawab laah.."

"Emh jadi apa yak? Kayaknya gw jadi manusia biasa aja deh."

"Lho, kenapa? Lo jadi hujan nya atau apanya kek! Nggak ada romantisnya banget ah dodol!"

Gw tersenyum lalu menjawab.

"Gw pilih jadi manusia biasa, karena dengan begitu gw akan selalu bisa menikmati keindahan sang pelangi kapanpun dia muncul."

"......."

Kedua pipinya bersemu merah. Sebelum dia sempat bicara gw bilang gini.

"Boleh gw nyanyiin lagu buat lo?"

Meva mengangguk semangat.

"Lagu apa?" tanyanya.

"Over The Rainbow..."

Dan akhirnya malam valentine yg panjang itu pun ditutup dengan nyanyian fals gw...


Di suatu tempat di seberang pelangi,
Burung-burung biru beterbangan datang dan pergi..
Bila burung-burung kecil itu dg gembira beterbangan melampaui jembatan pelangi,
Mengapa aku tak bisa ?..........
Dan benar bahwa hidup memang nggak selalu seperti yg kita inginkan. Karena Tuhan menciptakan segala sesuatunya berpasangan. Seperti halnya nggak ada hujan yg nggak reda, maka nggak ada kemarau yg selamanya kering.

Di suatu malam gw terjaga di tengah derasnya hujan yg menderu atap kamar. Mungkin suara berisiknya yg membuat gw terjaga di jam dua pagi ini. Gw terduduk lemas sandarkan punggung di dinding kamar. Dada gw terasa sesak. Ditambah dingin yg menusuk dada, rasanya kepala gw seperti mau pecah.

Gw merangkak ke dispenser. Menuang segelas air hangat dan segera meminumnya untuk sekedar mengurangi rasa dingin dalam tubuh gw. Gw terduduk lagi. Diam. Cuma deru hujan yg terdengar meredam kamar yg gelap ini.

Gw pejamkan mata. Mencoba sesegera mungkin terlelap, tapi yg muncul di benak gw adalah kejadian tiga hari yg lalu. Ketika gw duduk dengan lemas di kursi favorit gw di pantry.....

Jam kantor sudah berlalu hampir satu jam yg lalu. Tinggal gw dan beberapa orang lagi di kantor yg hari ini lembur. Seperti biasa, ditemani secangkir teh manis hangat gw duduk memandang langit di balik jendela.

Gw kangen keluarga gw di rumah. Sudah hampir dua tahun gw nggak mudik. Cukup lama buat seorang perantau seperti gw. Maklumlah beberapa waktu terakhir memang lagi banyak job. Libur lebaran pun terpaksa lembur demi beberapa lembar rupiah.

Gw lagi asyik mengenang masa-masa kecil gw bareng temen SD dulu, ketika handphone gw bergetar. Sms dari Lisa. Dia nanyain gw di mana, gw jawab kalo gw lagi di pantry. Dia bales lagi minta gw ke tempatnya sekarang.

"Ada apa?" tanya gw sesampainya di kursi gw.

Lisa masih cukup sibuk menyelesaikan laporannya.

"Enggak papa. Gw khawatir aja," jawabnya memandang gw tersenyum.

Ah, senyum yg paling manis yg pernah gw liat dari seorang Lisa.

"Perhatian banget lo sama gw," kata gw sedikit menggoda.

"Yaiyalah gw kan emang baik hati dan tidak sombong? Rajin nabung pula," balasnya. Dia meng close tab yg belum selesai dikerjakannya. "Jadi gimana?" lanjutnya.

"Gimana apanya?"

"Hasilnya laah.."

"Duh hasil apaan? Yg jelas atuh nanyanya," gw iseng maen hamsterball.

"Hasil medical check up kemaren. Gimana, oke kan? Kita jadi berangkat bareng kan ke Jepang??" tanya Lisa semangat.

Bola hamster gw jatuh dan pecah.

"Mmmh....." gw ketukkan jari-jari gw di meja.

"......."

"Justru itu..."

"Justru itu kenapa? Sekarang lo yg nggak jelas ah!"

"Gw nggak lolos Lis. Hasil medical kemaren jelek," kata gw hambar.

Lisa terdiam saking kagetnya.

"Ah elo becanda aja!" dia menepuk pundak gw pelan. Gw diam. Lagi nggak semangat gw.

"Gw beneran Lis."

"Masa sih? Kok bisa?? Gw liat elo sehat banget kok! Apanya yg salah???"

Gw tersenyum kecut. Pembicaraan gw dan Pak Agus beberapa jam yg lalu di ruangannya terngiang di telinga gw.

"Ginjal gw Lis," kata gw sedikit ragu.

"Ginjal?" Lisa belum menemukan benang merah pembicaraan kami.

Gw mengangguk pelan.

"Dari hasil medical check up kemaren, katanya gw punya kelainan di ginjal gw..."

"......."

"Gw serius Lis. Lo tau kan abis makan siang tadi gw dipanggil Pak Agus ke ruangannya? Kita ngomongin itu."

"Gw belum percaya ah! Lo yg sehat kayak gini kok punya kelainan ginjal?"

"Hmm...kadang sesuatu yg keliatan baik di luar, nggak seperti itu di dalamnya," gw lebih terdengar menghibur diri sendiri.

"......."

"Mungkin belum rejekinya gw kali. Ya udahlah gw terima aja kok."

"Yaaah...nggak bisa gitu lah! Masa gw sendirian ke sananya?"

"Kan masih ada yg laen? Lo nggak sendirian kok."

"Iya tapi beda lah! Duh tau gini mah mending gw ngundurin diri dari awal aja!" Lisa tampak sedih.

"......."

"......."

Kami terdiam beberapa saat.

"Gw kecewa nih.." kata Lisa.

"Sama Lis. Gw juga. Tapi yg bikin gw down sebenernya bukan karena gw gagal ke Jepang. Tapi yaah gw sendiri nggak nyangka aja ternyata gw punya penyakit yg gw sendiri nggak pernah menduga kalo gw mengidap penyakit itu!"

"Apa separah itu ya?"

"Nggak tau. Gw harus konsultasi langsung ke dokter. Semoga aja nggak papa yah..."

"Harus lah! Gw yakin lo baik-baik aja!" Lisa menyemangati gw, meskipun itu nggak berhasil menutupi kesedihannya.

"Semoga," gw mengamini.

Kabar tadi siang benar-benar cukup mengejutkan. Sebuah shocktherapy yg sangat memacu jantung gw. Untunglah setelah beberapa cangkir teh hangat gw habiskan, sekarang sudah agak mendingan.

"Lo harus ke dokter, malem ini." kata Lisa lagi. "Pastikan kalo penyakit yg lo punya itu nggak mempengaruhi keadaan lo sekarang. Oke?"

"Iya, rencananya Sabtu ini gw mau ke dokter."

"Nggak bisa. Harus malem ini. Balik lembur gw anter deh ya?!"

Gw tersenyum dan akhirnya mengangguk.

"Gw yakin lo baik-baik aja Ri," kata Lisa sambil menepuk bahu gw pelan...


Sudah hampir satu jam gw terjaga. Keringat dingin mulai bercucuran dari tubuh gw. Hujan di luar belum juga reda. Malah sekarang makin deras.

Gw pejamkan lagi mata gw. Dan dalam kegelapan itu, yg terbayang di benak gw cuma sesosok wanita berkaos kaki hitam.

Entah Meva...

Ah, atau Lisa......?

"Ri bangun Ri," sebuah suara lembut tapi agak sengau di telinga membangunkan gw. Ada tangan hangat yg menepuk pipi gw.

"Bangun dulu minum obat..." lanjutnya lagi.

Gw terjaga dan nampak Meva duduk di sebelah gw sambil pegangi segelas air putih.

"Minum obat yuk," kata Meva lagi begitu melihat gw terjaga.

Gw bangun. Mencoba duduk tapi mendadak semua terasa berputar. Gw segera sandarkan punggung ke dinding.

"Lo kayaknya parah banget yak Ri," Meva berkomentar.

"Gw nggak papa kok," jawab gw. Sebuah jawaban yg bodoh tentu saja.

"Halaah tepar gituh masih ajah nggak ngaku." Meva tersenyum dengan manisnya, meskipun itu nggak menutupi wajahnya yg pucat.

Jam dinding menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Jendela kamar gw masih tertutup tapi gw bisa merasakan hangatnya sinar matahari masuk ke kamar gw. Sangat kontras dengan keadaan semalam.

"Udah ah, nih sarapan dulu abis itu minum obat," Meva menyodorkan sesendok bubur ke mulut gw.

"Lo sendiri udah makan belum?"

Meva menggeleng pelan.

"Gampang lah gw mah.." katanya.

"Ya udah lo makan aja dulu deh entar aja gw mah, lagi nggak nafsu makan."

"Duh yak orang sakit mana ada sih nafsu makan kalo nggak dipaksa??" sendok bubur itu masih di depan mulut gw. "Buruan makan! Beberapa sendok aja deh."

"......." Gw paksakan menelan suapan bubur dari Meva.

Meva terbatuk-batuk beberapa kali.

"Tuh kan elo sendirinya juga lagi sakit, buruan makan bareng deh..." kata gw prihatin.

Meva tertawa kecil dan mulai makan buburnya.

"Kita tuh lucu yak!" ucapnya kalem. Rambutnya yg masih kusut karena belum mandi tergerai di dua bahunya. Gampang banget buat tahu kalo dia lagi sakit. Apalagi Meva pake sweater tebal warna putih.

"Lucu di mana nya ya mbak??? Orang kesiksa gini dibilang lucu!"

"Ya lucu ajah! Mana ada coba orang sakit barengan gini??"

"Barengan? Gw ralat yak, kita tuh enggak barengan. Lo yg nularin sakit ke gw."

"Apaan? Itu mah lo nya aja bodo, udah tau gw lagi sakit, malah makan sisa mie rebus gw!"

"Ya...yah....ya......ya gw laper soalnya. Males beli ke luar yaudah gw makan aja sisa elo."

"Yaudah jangan salahin gw atuh."

"Iya iya iya. Tapi gw sengaja sakit kok, biar bisa senasib sepenanggungan gituh sama elo..." gw bohong. Padahal emang gw yg bodoh, kemarin makan sisa mie nya Meva.

"Halaah...bilang aja lo lagi ngerayu biar gw nggak maksa lo buat minum obat. Iya kan??"

"Eh, ternyata selain cantik, elo pinter juga ya Va...baru tau gw."

"Haduh! Jangan banyak omong deh, orang udah dua hari nggak mandi gini mana ada cantiknya sih?! Udah buruan makan lagi."

"Oiya? Tapi kok elo kayak bukan yg dua hari nggak mandi ya? Kayak yg udah bertahun-tahun nggak ketemu air gitu!"

Dan sebelum sempat ketawa Meva keburu menjejalkan bubur ke dalam mulut gw. Dengan susah payah gw memakannya.

Sebenernya gw setuju sama Meva. Ini cukup bisa dikatakan lucu. Dua hari yg lalu gw dapati Meva terbaring lemas di kasurnya. Dia demam cukup tinggi. Mungkin karena terlalu memporsir tenaganya buat menyelesaikan tugas kuliah yg makin menumpuk. Eh, sekarang giliran gw yg ketularan Meva gara-gara makan sisa mie rebusnya. Sebenernya bukan mutlak gara-gara itu. Tubuh gw memang lagi nggak fit. Ditambah virus dari mie rebus tadi, ya jadilah gw kayak gini.

"Thanks deh udah nemenin gw sakit," ujar Meva.

"......."

"Ntar sore kita periksa bareng yah ke dokter," saran Meva.

Gw setuju aja. Baru tiga hari yg lalu gw cek up ke rumah sakit bareng Lisa, dan hasilnya baru akan keluar hari Senin nanti. Yah gw berharap semoga semua baik-baik aja.

Pagi itu gw dan Meva barengan menghabiskan sepiring bubur. Karena belum sempat ke dokter, kami minum obat warung seadanya.

"Gw tidur di sini yah?" Meva rebahkan diri di kasur.

"Yaudah tidur aja, gw mau nelpon bos dulu lapor hari ini nggak masuk kerja."

"Yaudah atur aja deh, asal jangan nelpon ke kantor imigrasi aja. Hehehe."

"......." Sempet-sempetnya Meva becanda di saat kayak gini! Badan lemes, kepala pening plus kaki pada pegel-pegel. Gw memang butuh banyak istirahat kayaknya.

Gw telpon Pak Agus dan mengabarkan keadaan gw sekarang. Sementara Lisa pas gw telepon, dia marah-marah karena gw nggak segera ngasih kabar kalo gw sakit. Sore ini dia mau nengok gw ke kosan.

"Lisa perhatian banget ya sama elo Ri," kata Meva tanpa membuka matanya. Dia pasti tadi nguping pembicaraan kami. Ya iyalah secara Meva ada di sebelah gw.

"......."

"Pasti seneng banget yah punya orang yg bener-bener care sama kita?"

"Ah ngomong apa sih loe? Mulai ngelantur deh kalo demamnya kambuh kayak gini," gw pegang leher Meva. Panas banget.

"Ri, kalo ada dua cewek yg sama-sama care ke elo, tapi dengan latar belakang yg sangat berbeda. Yg satu perfect, dan yg satu bukan apa-apa. Lo akan pilih yg mana?"

"Hmmm..." gw berpikir keras. "Rahasia perusahaan deh! Hehehe."

"Dih nggak lucu pisan!" Meva ngambek. Dia melempar bantal ke gw. Setelah itu dia sembunyi di balik selimut.

Selama beberapa saat gw diam melamun sebelum akhirnya terlelap lagi.....

Gw bangun sore harinya ketika jam di kamar menunjukkan pukul lima lewat beberapa menit. Gw langsung keingetan Meva karena kami punya janji berobat ke dokter sore ini. Meva nggak ada di sebelah gw, kayaknya dia udah balik ke kamarnya. Meski dengan lemasnya buru-buru gw cuci muka plus gosok gigi lalu keluar hendak ke kamar Meva. Tapi ternyata gw tertahan di depan kamar gw.

Meva ada di beranda. Dia lagi duduk di tembok pembatas. Tapi bukan dia yg membuat gw terkejut, melainkan orang di sebelahnya.

Seorang wanita dengan setelan kemeja putih panjang dipadukan rok abu-abu sopan dengan stoking hitam. Lisa langsung tersenyum melihat gw.

"Hai Ri," sapanya. "Udah bangun loe?"

"Eh, udah....." gw masih belum percaya dengan yg gw lihat. Gw perhatikan lagi ekspresi wajah kedua cewek di hadapan gw. Canggung, malu, tapi tetap tenang dan seolah nggak ada apa-apa. Yah mungkin memang nggak ada apa-apa?

"Ng...dateng jam berapa?" tanya gw ke Lisa.

"Belum lama kok. Pas bel balik gw langsung ke sini. Ketemu sama Meva di sini," dia melirik Meva yg membalasnya dengan senyum malu. "Yah gw tanya-tanya gimana keadaan loe. Terus lo nya bangun deh."

Gw lirik Meva. Dia tampak seperti seorang mahasiswa yg baru kepergok nyontek pas ujian. Gw baru sadar kedua pipinya bersemu merah.

"Kita nggak ngomongin yg macem-macem kok! Beneran! Sumpah!" Meva nyerocos tanpa gw tanya. Jawaban yg justru menimbulkan kecurigaan.

"Yaah terserah kalian kok mau ngomongin apa juga," kata gw kalem. Duh bingung juga kalo keadaannya kayak gini. "Eh, elo tadi masuk kerja Lis?"

Lisa kernyitkan dahinya.

"Kan lo liat nih gw masih pake pakean kayak gini emangnya abis dari mana?"

Duh sorry gw hilang konsentrasi!

"Oh.." gw nyengir malu.

"Lo udah minum obat?" tanya Lisa.

"Udah," jawab gw.

"Boong tuh Lis. Terakhir minum tuh pas pagi. Itu juga susahnya minta ampun kudu dipaksa dulu!" Meva menyela dengan nadanya yg khas.

"Yg penting kan diminum obatnya?" sergah gw.

"Iya tapi susah!" Meva mulai nyolot lagi kayak biasa.

Lisa cuma diam memperhatikan kami dengan tatapan heran sekaligus tertarik. Baru tau dia gimana gw sama Meva kalo ngobrol.

"Eh mau ngobrol di dalem?" gw menawarkan sekedar mencairkan suasana yg agak kaku.

Lisa dan Meva kompakan geleng kepala.

"Di sini aja," jawab Lisa.

Gw duduk di kursi. Makin lama berdiri kaki gw makin lemes.

"Kalian mau ke dokter kan?" kata Lisa lagi. "Gw anter aja gimana?"

Gw kernyitkan dahi.

"Gw bawa mobil kantor kok," Lisa menjawab tatapan heran gw. "Dari awal gw emang berniat nganter lo ke dokter, makanya gw pinjem mobil kantor. Tapi ternyata yg sakitnya ada dua. Yaudah sekalian gw anter deh ya?" dia mengakhiri dengan senyuman lebar di bibirnya.

Gw dan Meva sejenak saling pandang. Gw buru-buru alihkan pandangan gw sebelum kami saling lempar sendal.

"Nggak ngerepotin elo emangnya?" gw basa-basi.

"Ya enggak lah," jawaban yg udah gw duga sebelumnya.

"Gimana Va?" tanya gw ke Meva.

"Boleh aja. Biar lebih cepet juga."

"Yaudah bentar yah gw ganti baju dulu."

Gw ke kamar, ganti pakean sambil dalam hati bertanya-tanya kok bisa yak? Meva sama Lisa keliatan akur, biarpun masih dengan sangat jelas ada kecanggungan diantara mereka.

Dalam sedan Mitsubishi hitam yg membawa kami bertiga ke rumah sakit, gw nggak hentinya geleng kepala. Meva duduk di bangku depan di samping kemudi sementara gw sendirian di belakang. Mereka berdua ngobrol-ngobrol mengakrabkan diri. Dan parahnya, kadang-kadang mereka kayak nganggep kursi belakang kosong! Nggak ada gw!

Datang di rumah sakit kami langsung ke ruangan dokter kenalannya Lisa. Gw dan Meva diperiksa bergantian. Dan benar, kami kena penyakit yg sama. Selesai berobat kami langsung balik ke kosan. Karena sudah malam Lisa memutuskan langsung balik tanpa mampir dulu ke kosan.

"Cepet sembuh ya biar bisa maen hamster lagi," kata Lisa sebelum pergi.

Gw dan Meva berdiri diam memandangi mobil yg melaju meninggalkan kami di depan gerbang. Gw lirik Meva. Dia, yg memang punya insting tajam seperti elang, langsung menangkap lirikan gw.

"Ngapain liatin gw kayak gitu?" tanyanya sok ketus.

"Ge-Er," balas gw.

Meva melet lalu balikkan badan berjalan masuk ke kosan. Gw menyusulnya di belakang.

"Va gw mau tanya donk?" kata gw tanpa menghentikan langkah.

"Tanya apa?" sahutnya tanpa menoleh.

"Sebelum gw bangun tidur, lo sama Lisa ngobrol apa aja? Ngomongin gw yah?"

Meva berhenti, menghadap gw, lalu kepala gw ditoyornya.

"Ge-Er," jawabnya singkat. Dia berbalik lagi dan lanjutkan naik tangga.

"Ya terus ngomongin apa donk? Nggak mungkin juga kan kalian ngomongin soal sejarah terciptanya bumi?"

"Ngawur lo!"

"Ya makanya bilang aja apa susahnya sih?"

"Buat apa? Nggak penting juga kali. Lagian mau tau aja loe ah."

"......."

Gw dan Meva sampai di kamar jam tujuh lewat limabelas menit. Gw memutuskan nggak ngebahas lagi soal Lisa. Meva juga demikian. Kami makan bubur yg tadi dibeli dalam perjalanan pulang, lalu minum obat dan setelah itu duduk nonton tivi sampe malem...



Next Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Bagian 22
Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Adalah Novel Karya Ariadi Ginting a.k.a Pujangga.Lama.

Artikel Kabuh.net Lainnya :

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Kabuh.net