Tempat edit Design template

Novel Laskar Pelangi Bagian 24 (Tuk Bayan Tula)

Artikel terkait : Novel Laskar Pelangi Bagian 24 (Tuk Bayan Tula)

Novel Laskar Pelangi Bagian 24 (Tuk Bayan Tula)
ANGIN selatan, angin paling jinak, biasa berembus dengan kecepatan maksimum 10 mph. Angin lembut ini tiba-tiba mengamuk menjadi monster puting beliung dengan kecepatan seribu kali lipat, 10.000 mph. Pohon dan mobil-mobil beterbangan seperti bulu, aspal jalan terkelupas. Seluruh bangunan runtuh, bahkan fondasi rumah tercabut, yang tersisa hanya lubang-lubang WC. Tepung sari Camellia dan Buxus yang tumbuh di kebun liar peliharaan alam di puncak Gunung Samak terhambur ke udara, menimbulkan pemandangan menyedihkan seperti nyawa-nyawa muda yang dicabut paksa oleh malaikat maut dari jasad yang segar bugar. 
Semua itu gara-gara pembakaran minyak solar berlebihan selama ratusan tahun dalam eksploitasi timah sehingga menimbulkan gas rumah kaca. Gas itu tertumpuk di atas atmosfer Belitong dan segera menimbulkan efek rumah kaca, menunggu hari untuk menjadi mara bahaya. Lalu senyawa gas rumah kaca itu karbondioksida dan radiasi matahari memicu reaksi kimia yang mengubah tepung sari yang bergentayangan di udara menjadi semacam bubuk mesiu dengan daya ledak sangat tinggi seperti TNT. Karena kuantitasnya telah beraku mulasi demikian lama maka pada suatu tengah hari saat orang-orang Melayu sedang mendengarkan musik pelepas lelah di RRI, tanpa firasat apa pun, terjadilah katastropi itu. Sebuah ledakan yang sangat dahsyat seperti ledakan nuklir menghantam Belitong. 

Orang-orang Belitong mengira kiamat telah datang maka tak perlu menyelamatkan diri. Mereka terduduk pasrah di tangga-tangga rumahnya, melongo melihat ekor ledakan yang kemudian membentuk cendawan raksasa yang menutupi tanah kuno pulau itu sehingga gelap gulita. Dalam waktu singkat ajal yang sebenarnya pun pelan-pelan menjemput, yakni ketika cendawan yang mengandung radio aktif, merkuri, dan amoniak hanyut turun mengejar orang-orang Belitong yang kocar-kacir mencari perlindungan. Mereka menyelinap ke gorong-gorong, menyelam di sungai, sembunyi di dalam karung goni, terjun ke sumur-sumur, dan tiarap di got-got. Tapi semua usaha itu sia-sia karena gas-gas kimia tadi larut dalam udara dan air. Sebagian orang Belitong tewas di tempat, tertungging seperti ekstremis dibedil kompeni, dan mereka yang selamat berubah menjadi makhluk-makhluk cebol berbau busuk. Melihat penampilan orang Belitong seperti itu pemerintah pusat di Jakarta merasa malu kepada dunia internasional dan tak sudi mengakui orang Belitong sebagai warga negara republik. Karena itu Kabupaten Belitong dipaksa rela melakukan referendum. Walaupun hanya sedikit orang Melayu Belitong yang ingin memisahkan diri dari NKRI tapi pemerintah menganggap keputusan manusia-manusia cebol itu sebagai aklamasi sehingga Belitong menjadi negara yang merdeka. Bisa dipastikan bahwa Belitong tidak mampu menghidupi dirinya sendiri. 

Di sisi lain, efek rumah kaca yang demikian tinggi mengakibatkan ekologi di sana tidak seimbang, permukaan air laut naik, dan suhu menjadi terlalu panas. Dan saat itulah kebenaran yang hakiki datang. Bodenga yang telah lama menghilang tiba-tiba muncul mengambil alih pemerintahan kabupaten, ia menindas tandas orang-orang cebol yang telah memper-lakukan ia dan ayahnya dengan tidak adil. Orang-orang cebol itu digiring olehnya dan digelontor ke muara Sungai Mirang agar dimangsa buaya. Orang-orang cebol itu meregang nyawa dan dalam waktu singkat mereka tewas ter-apung-apung seperti ikan kena tuba.

Itulah kira-kira isi kepala seorang pemimpi yang hampir gila karena frustrasi putus cinta pertama.

Aku tak bisa berpikir jernih, bermimpi buruk, berhalusinasi, dan dihantui khayalankhayalan aneh. Jika aku melihat ke luar jendela dan ada pelangi melingkar maka pelangi iu menjadi monokrom. Jika aku mendengar kicauan prenjak maka ia berbunyi seperti burung mistik pengabar kematian. Aku merasa setiap orang: para penjaga toko, Tuan Pos, tukang parut kelapa, polisi pamong praja, dan para kuli panggul telah berkonspirasi melawanku.

Meskipun selama lima tahun aku hanya dua kali berjumpa dengan Michele Yeohku tapi perasaanku padanya melebihi segalanya. A Ling adalah sosok yang dapat menimbulkan perasaan sayang demikian kuat bagi orang-orang yang secara emosional terhubung dengannya. Ia cantik, pintar, dan baik. Cintanya penuh imajinasi dan kejutan-kejutan kecil yang menyenangkan, mungkin itulah yang membuatku amat terkesan. Tapi rupanya ketika ia melepaskan genggaman tangannya minggu lalu, saat itu pula nasib memisahkan kami. Kini dirinya menjadi semakin berarti ketika ia sudah tak ada dan aku merasa getir. Kepergian A Ling meninggalkan sebuah ruangan kosong, rongga hampa yang luas, dan duka lara di dalam hatiku. Dadaku sesak karena rindu dan demi menyadari bahwa rindu itu tak 'kan pernah terobati, aku rasanya ingin meledak. Aku selalu ingin menghambur ke toko kelontong Sinar Harapan, tapi aku tahu tindakan dramatis seperti film India itu akan percuma saja karena di sana aku hanya akan disambut oleh botol-botol tauco dan tumpukan terasi busuk. Aku merana, merana sekali.

Aku merasa tak percaya, amat terkejut, dan tak sanggup menerima kenyataan bahwa sekarang aku sendiri. Sendiri di dunia yang tak peduli. Jiwaku lumpuh karena ditinggal kekasih tercinta, atau dalam bahasa puisi: aku mengharu biru tatkala kesepian melayap mencekam dermaga jiwa, atau: batinku nelangsa berdarah-darah tiada daya mana kala ia sirna terbang mencampak asmara.

Dan juga, laksana film India, perpisahan itu membuatku sakit. Seperti pertemuan pertama dalam insiden jatuhnya kapur di hari yang bersejarah tempo hari, saat itu kebahagiaanku tak terlukiskan kata-kata. Maka kini, saat perpisahan, kepedihanku juga tak tergambarkan kalimat. Beberapa waktu lalu aku pernah menertawakan Bang Jumari yang menderita diare hebat dan menggigil di siang bolong karena cintanya diputuskan oleh Kak Shita, kakak sepupuku. Ketika itu aku tak habis pikir bagaimana kekonyolan seperti itu bisa terjadi. Namun, kini hal serupa aku alami. Hukum karma pasti berlaku!

Selama dua hari aku sudah tidak masuk sekolah. Maunya hanya tergeletak saja di tempat tidur. Kepalaku berat, napasku cepat, dan mukaku memerah. Ibuku memberiku Naspro dan obat cacing Askomin. Tapi aku tak sembuh. Aku menderita panas tinggi.

Setelah Syahdan, Mahar dan pengikut setianya A Kionglah yang datang menjengukku. Mahar memakai jas panjang sampai ke lutut seperti seorang dokter hewan dari Eropa dan A Kiong tergopoh-gopoh di belakangnya menenteng sebuah tas koper laksana siswa perawat yang sedang magang. Koper ini sangat istimewa karena di sana sini ditempeli bekas peneng sepeda dan berbagai lambang pemerintahan sehingga mengesankan Mahar seperti seorang pejabat penting kabupaten.

Syahdan sedang duduk di samping tempat tidurku ketika Mahar masuk ke kamar. A Kiong dan Mahar tak mengucapkan sepatah kata pun, ekspresi mereka datar. Dengan gerakan isyarat Mahar menyuruh Syahdan minggir.

Mahar berdiri persis di sampingku, memandangiku dengan cermat dari ujung kaki sampai ujung rambut. Ia masih tetap tak bicara. Wajahnya serius seperti seorang dokter profesional dan seolah dalam waktu singkat telah menyelesaikan diagnosisnya. Ia menggeleng-gelengkankan kepalanya pertanda kasus yang dihadapi tidak sepele. Ia menarik napas prihatin dan menoleh ke arah A Kiong.

"Pisau!" pekiknya singkat.

A Kiong cepat-cepat memutar nomor kombinasi koper lalu mengeluarkan sebilah pisau dapur karatan. Aku dan Syahdan memerhatikan dengan khawatir. Pisau itu diberikan dengan takzim pada Mahar yang menerimanya seperti seorang ahli bedah. "Kunir!" perintah Mahar lagi, tegas dan keras.

A Kiong kembali merogoh sesuatu dari dalam koper dan segera menyerahkan kunir seukuran ibu jari. Tanpa banyak cingcong Mahar memotong kunir dan dengan gerakan sangat cepat tak sempat kuhindari ia menggerus kunir itu di keningku, melukis tanda silang yang besar. Maka terpampanglah di keningku huruf X berwarna kuning. Lalu, seperti telah sama-sama paham prosedur berikutnya, tanpa dikomando, A Kiong mengambil dahan-dahan beluntas dari dalam koper, melemparkannya kepada Mahar yang menyambutnya dengan tangkas dan langsung menampar-namparkan daun-daun itu ke sekujur tubuhku tanpa ampun sambil komat-kamit.

Bukan hanya itu, sementara Mahar mengibas-ngibaskan daun-daun beluntas dengan beringas, A Kiong serta-merta menyembur-nyemburkan air ke seluruh tubuhku termasuk wajah melalui alat penyemprot bunga, sehingga yang terjadi adalah sebuah kekacauan. Aku jadi berantakan dan basah seperti kucing kehujanan, namun aku tak berkutik karena mereka sangat kompak, cepat, terencana, dan sistematis.

Tak lama kemudian mereka berhenti. Mahar menarik napas lega dan A Kiong dengan wajah bloonnya ikut-ikutan bernapas lega sok tahu. Sebuah sikap gabungan antara kebodohan dan fanatisme. Aku dan Syahdan hanya melongo, terpana, pasrah total. "Tiga anak jin tersinggung karena kau kencing sembarangan di kerajaan mereka dekat sumur sekolah ...," Mahar menjelaskan dengan gaya seolah-olah kalau dia tidak segera datang nyawaku tak tertolong. Tak ada rasa bersalah dan niat menipu tecermin dari wajahnya. Mahar dan A Kiong tampil penuh kordinasi dengan ketenangan mutlak tanpa dosa. Mereka tak sedikit pun ragu atas keyakinanya pada metode penyembuhan dukun yang konyol tak tanggung-tanggung.

"Merekalah yang membuatmu demam panas," sambungnya lagi sambil memasukkan alat-alat kedokterannya tadi ke dalam koper, lalu dengan elegan menyerahkan koper itu pada A Kiong. A Kiong menyambut tas itu seperti anggota Paskibraka menerima bendera pusaka.

"Tapi jangan cemas, Kawan, barusan mereka sudah ku-usir, besok sudah bisa masuk sekolah!"

Lalu tanpa basa-basi, tanpa pamit, mereka berdua langsung pulang. Hanya itu saja katakatanya. Bahkan A Kiong tak mengucapkan sepatah kata pun. Aku terengah-engah.

Syahdan menutup wajahnya dengan tangannya.

Mahar memang sudah edan. Ia semakin tak peduli dengan buku-buku dan pelajaran sekolah. Nilai-nilai ulangannya merosot tajam, bisa-bisa ia tidak lulus ujian nanti. Sebenarnya ia murid yang pandai, belum lagi menghitung bakat seninya, tapi nafsu ingin tahu yang terkekang terhadap dunia gaib membuatnya lebih senang memperdalam hal-hal yang subtil. Belakangan ini keanehannya semakin menjadi-jadi, dan semua itu gara-gara anak Gedong yang tomboi itu Flo atau mungkin gara-gara seorang dukun siluman bernama Tuk Bayan Tula.

Sebulan yang lalu seluruh kampung heboh karena Flo hilang. Anak bengal penduduk Gedong itu memisahkan diri rombongan teman-teman sekelasnya ketika hiking di Gunung Selumar. Polisi, tim SAR, anjing pelacak, anjing kampung, kelompok pencinta alam, para pendaki profesional dan amatir, para petualang, para penduduk yang berpengalaman di hutan, para pengangguran yang bosan tak melakukan apa-apa, dan ratusan orang kampung tumpah ruah mencarinya di tengah hutan lebat ribuan hektare yang melingkupi lereng gunung itu. Kami sekelas termasuk di dalamnya.

Sampai senja turun Flo masih belum ditemukan. Bapak, Ibu, dan saudara-saudaranya berulang kali pingsan. Guru-guru dan teman-teman sekelasnya menangis cemas. Segenap daya upaya dikerahkan tapi belum ada tanda-tanda di mana ia berada. Susah memang, hutan di gunung ini sangat lebat, sebagian belum terjamah, dan hutan itu ber-ujung di lembah-lembah liar yang dialiri anak-anak sungai berbahaya.


Salak anjing, teriakan orang memanggil-manggil, dan suara belasan megafone bertalutalu di lereng gunung. Para dukun tak mampu memberi petunjuk apa pun, ada saja alasannya, tapi umumnya adalah bahwa para jin penunggu Gunung Selumar lebih sakti, sebuah alasan klasik. Dari lengkingan megafone itu kami tahu nama anak perempuan yang sedang hilang: Flo Menjelang sore sebuah lampu sorot besar yang biasa dipakai di kapal keruk dibawa ke lereng gunung untuk memudahkan tim penyelamat. Orang-orang dari kampung tetangga turut bergabung. Sekarang jumlah pencari mencapai ribuan. Hari beranjak gelap dan keadaan semakin meng-khawatirkan. Kabut tebal yang menyelimuti gunung sangat menyulitkan usaha pencarian. Wajah setiap orang mulai kelihatan cemas dan putus asa. Tahun lalu dua orang anak laki-laki juga tersesat,setelah tiga hari mereka ditemukan berpelukan di bawah sebatang pohon Medang, meninggal dunia karena kelaparan dan hipotermia. Sinar merah lampu sirine mobil ambulans yang berputar-putar menjilati sisi pohon-pohon besar, menciptakan suasana mencekam, seperti ada kematian yang dekat.

Sudah delapan jam berlalu tapi Flo masih tak diketahui keberadaanya di tengah hutan rimba gunung ini. Orang tua Flo dan para pencari mulai panik. Malam pun turun.

Kami merasa kasihan pada Flo. Kini ia seorang diri dalam gelap gulita rimba. Ia bisa saja terjatuh, mengalami patah kaki atau pingsan. Atau mungkin saat ini ia sedang terisakisak, ketakutan, lapar dan kedinginan di bawah sebatang pohon besar, dan suaranya telah parau memanggil-manggil minta tolong. Anak perempuan yang seperti anak laki-laki itu tentu tadi pagi tak menyadari konsekuensi keisengannya. Mungkin awalnya ia hanya ingin menggoda teman-temannya. Tapi sekarang, keadaan bisa fatal.

Kontur gunung ini sangat unik. Jika berada di dalam hutannya banyak sekali komposisi pohon dan permukaan tanah yang tampak sama. Maka jika melewati jalur itu seolah seseorang merasa berada di tempat yang telah ia kenal, padahal tanpa disadari langkahnya semakin menjauh tersasar ke dalam rimba. Jika Flo mengalami ini ia akan tersasar jauh ke selatan menuju aliran anak-anak Sungai Lenggang yang sangat deras berjeram-jeram menuju ke muara. Tak sedikit orang yang telah menjadi korban di sana. Pada beberapa bagian di wilayah selatan ini juga terhampar dataran tanah luas yang mengandung jebakan mematikan, yaitu kiumi, semacam pasir hidup yang kelihatan solid tapi jika diinjak langsung menelan tubuh.

Namun, ia akan sial sekali jika tersasar ke utara. Di sana jauh lebih berbahaya. Ia memasuki semacam pintu mati. Ia tak 'kan bisa kembali, sebuah point ofno return, karena lereng gunung di bagian itu terhalang oleh ujung aliran sungai jahat yang disebut Sungai Buta. Sungai Buta adalah anak Sungai Lenggang tapi alirannya putus hanya sampai di lereng utara Gunung Selumar. Sungai itu seperti sebuah gang sempit yang buntu atau seperti jalan yang berakhir di jurang. Orang kampung menamainya Sungai Buta sebagai representasi keangkerannya. Buta lebih berarti gelap, tak ada petunjuk, terperangkap tanpa jalan keluar, dan mati.

Sungai Buta demikian ditakuti karena permukaannya sangat tenang seperti danau, seperti kaca yang diam. Tapi tersembunyi di bawah air yang tenang itu adalah maut yang sesungguhnya, yaitu buaya-buaya besar dan ular-ular dasar air yang aneh-aneh. Buaya sungai ini berperangai lain dan amat agresif, mereka mengincar kera-kera yang bergelantungan di dahan rendah, bahkan menyambar orang di atas perahu. Pohon-pohon tua ru1yang tinggi tumbuh dengan akar tertanam di dasar sungai ini, sebagian telah mati menghitam, membentuk pemandangan yang sangat menyeramkan seperti sosok-sosok hantu raksasa yang merenungi per mukaan sungai dan menunggu mangsa melintas. Sungai Buta berbentuk melingkar, mengurung sisi utara Gunung Selumar. Jika Flo tersesat ke sini ia tak mung-kin dapat kembali mundur karena tenaganya pasti tak akan cukup untuk kembali mendaki punggung granit yang curam. Jika ia memaksa, sangat mungkin ia akan terpeleset jatuh dan terhempas di atas batu-batu karang. Pilihan satusatunya hanya berenang melintasi Sungai Buta yang horor dengan kelebaran hampir seratus meter. Untuk menyeberangi sungai itu ia terlebih dahulu harus menyibaknyibakkan hamparan bakung setinggi dada dan hampir dapat dipastikan pada langkahlangkah pertama di area bakung itu riwayatnya akan tamat. Di sanalah habitat terbesar buaya-buaya ganas di Belitong.

Di tengah kepanikan tersiar kabar bahwa ada seorang sakti mandraguna yang mampu menerawang, tapi beliau tinggal jauh di sebuah Pulau Lanun yang terpencil. Ialah seorang dukun yang telah menjadi legenda, Tuk Bayan Tula, demikian namanya. Tokoh ini dianggap raja ilmu gaib dan orang paling sakti di atas yang tersakti, biang semua keganjilan, muara semua ilmu aneh.

Banyak orang beranggapan Tuk Bayan Tula tak lebih dari sekadar dongeng, bahwa ia sebenarnya tak pernah ada, dan tak lebih dari mitos untuk menakuti anak kecil agar cepat-cepat tidur. Tapi banyak juga yang berani bersaksi bahwa ia benar-benar ada. Bahkan diyakini beliau dulu pernah tinggal di kampung dan sempat menjadi penjaga hutan larangan suruhan Belanda, pernah menjadi carik, dan pernah menjadi nakhoda kapal yang berulang kali memimpin armada melanglang Selat Malaka. Menjadi perompak barangkali.

Konon beliau memang memiliki bakat khusus di bidang ilmu antah berantah, karena dalam usia muda beliau sudah menguasai budi suci. Ilmu ini sangat potensial membuat penganutnya senang memanjat tiang bendera di tengah malam sebab menderita sakit saraf. Jika tak kuat menahankan ilmu gaib budi suci, dalam waktu singkat seseorang bisa menjadi gila. Tapi jika sukses, pemegangnya bisa membunuh orang bahkan tanpa menyentuhnya. Tuk sudah khatam budi suci sejak usia belasan. Dalam usia itu beliau juga sudah bisa mempraktikkan ilmu sekuntak, maka beliau mampu memadamkan bohlam hanya dengan memandangnya sepintas. Namun, seiring tinggi ilmunya ia semakin menjauhkan diri dari masyarakat dan telah berpantang kata untuk menjaga kesaktiannya. Maka Tuk Bayan Tula tak 'kan pernah berucap lagi.

Kini Tuk menyepi di pulau tak berpenghuni. Nama Tuk Bayan Tula sendiri adalah nama yang menciutkan nyali. Tuk adalah nama julukan lama, dari kata datuk untuk menyebut orang sakti di Belitong. Bayan juga panggilan bagi orang berilmu hebat yang selalu memakai nama binatang, dalam hal ini burung bayan. Tula, bahasa Belitong asli, artinya kualat, mungkin jika kurang ajar dengan beliau orang bisa langsung kualat. Sedangkan nama Pulau Lanun tempat tinggal Tuk sekarang juga tak kalah angker. Lanun berarti perompak. Pulau itu tak berani didekati para nelayan karena di sanalah para perompak yang kejam sering merapat. Namun, kabarnya para perompak itu kabur tunggang langgang ketika Tuk Bayan Tula menguasai pulau itu. Banyak yang mengatakan para perompak itu dipenggal Tuk dengan sadis. Kini Tuk tinggal sendirian di sana.

Berbagai cerita yang mendirikan bulu kuduk selalu dikait-kaitkan dengan tokoh siluman ini. Ada yang mengatakan beliau sengaja mengasingkan diri di pulau kecil sebelah barat sebagai tameng yang melindungi Pulau Belitong dari amukan badai. Ada yang percaya ia bisa melayang-layang ringan seperti kabut dan bersembunyi di balik sehelai ilalang. Dan yang paling menyeramkan adalah bahwa dikatakan Tuk telah menjadi manusia separuh peri.

Anehnya, di balik keangkeran cerita yang berbau mistis itu semua orang menganggap Tuk Bayan Tula adalah wakil dari alam bawah tanah dunia putih. Di beberapa wilayah di Belitong beliau dianggap sebagai pahlawan yang telah membasmi para dukun hitam nekromansi yang mengambil keuntungan melalui komunikasi dengan orang-orang yang telah mati. Beliau dianggap ahli menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh praktik klenik jahat untuk mencelakakan orang. Maka Tuk tak ubahnya Robin Hood, pahlawan yang mencuri untuk menolong kaum papa, atau orang yang berbuat baik dengan cara yang salah. Ada pula sebagian orang Belitong yang menganggap beliau bukan dukun, tapi sekadar seorang eksentrik yang dianu-gerahi indra keenam.

Apakah Tuk Bayan Tula seseorang yang mengkhianati ajaran tauhid? Mungkinkah ia

sekadar seorang pahlawan pemusnah santet yang ingin mati sebagai martir? Ataukah ia hanya seorang tua yang memutuskan hidup sendiri ka-rena bermasalah dengan perangkat syahwat? Tak ada yang tahu pasti. Kisah kesaktian, gaya hidup, biografi, dan paradoks kepahlawanan Tuk ketika dikonfrontasikan dengan keyakinan orang awam akan menjadi sebuah misteri. Misteri ini mengandung daya tarik dunia bawah tanah, metafisika, paranormal, fenomena-fenomena janggal, dan ilmu pengetahuan yang membakar rasa ingin tahu sebagian orang. Sebagian dari orang itu adalah Mahar.

Dalam kasus Flo, keadaan paniklah yang menyebabkan orang-orang sudah tidak lagi mengandalkan akal sehat sehingga berunding untuk minta bantuan Tuk Bayan Tula. Kekalutan memuncak karena saat itu sudah tengah malam dan Flo tak juga diketahui nasibnya. Maka diutuslah beberapa orang untuk menemui Tuk Bayan Tula. Utusan ini bukan sembarangan, paling tidak terdiri atas orang-orang yang telah cukup berpengalaman dalam urusan mistik sehingga cukup teguh hatinya jika digertak Tuk. Mereka adalah seorang pawang hujan, seorang dukun angin, kepala suku Sawang, dan seorang polisi senior. Utusan ini berangkat menggunakan speedboat milik PN Timah yang berkecepatan sangat tinggi. Kami waswas menunggu mereka kembali, terutama cemas kalau-kalau keempat orang utusan itu disembelih oleh sang manusia siluman setengah peri.

Ketika matahari pagi mulai merekah, utusan tadi kembali. Kami senang menyambut mereka dengan mengharapkan keajaiban yang tak masuk akal, tapi itu lebih baik dari pada patah harapan sama sekali. Namun utusan ini tak membawa kabar apa-apa kecuali sepucuk kertas dari Tuk Bayan Tula. Puluhan orang mengerumuni cerita mereka yang mencengangkan. Mahar duduk paling depan.

"Ketika perahu merapat, anjing-anjing hutan melolong-lolong seolah melihat iblis beterbangan," kata ketua utusan, seorang pawang hujan. Ia termasuk orang berilmu dan dunia bawah tanah bukan hal baru baginya, tapi terlihat jelas ia takut dan merasa Tuk tidak ada di liganya. Sama sekali bukan tandingannya.

"Tuk Bayan Tula tinggal di sebuah gua yang gelap, di jantung Pulau Lanun. Pulau itu berbelok menyimpang dari jalur nelayan, jadi tak seorang pun akan ke sana. Perahuperahu perompak yang telah beliau bakar berserakan di tepi pantai. Tak ada siapa-siapa di

pulau itu kecuali beliau sendiri dan tak terlihat ada tanaman kebun atau sumur air tawar, tak tahulah Datuk itu makan minum apa."

Kemudian para anggota utusan yang lain sambung-menyambung, "Melihat wajahnya dada rasanya berdetak, sungguh seseorang yang tampak sangat sakti dan berilmu ting-gi. Ketika beliau keluar ke mulut gua seakan seluruh alam menunduk. Di sana kami merasakan udara yang pe-nuh daya magis."

Cerita ini dikonfirmasikan oleh hampir seluruh anggota utusan, bahwa ketika Tuk Bayan Tula berdiri kira-kira lima meter di depan mereka, mereka melihat kaki-kaki datuk itu tak menyentuh bumi. Ia seperti kabut yang melayang.

"Tubuhnya tinggi besar, rambut, kumis, dan jenggot-nya lebat dan panjang, matanya berkilat-kilat seperti burung bayan. Pakaiannya hanya selembar kain panjang yang dililitlilitkan. Ia bertelanjang dada, dan sebilah parang yang sangat panjang terselip di pinggangnya. Aku ketakutan melihatnya."

Kami mendengarkan dengan saksama, terutama Mahar yang tampak terpesona bukan main. Mulutnya ternganga dan raut wajahnya memperlihatkan kekaguman yang amat sangat pada Tuk Bayan Tula. Ia tampak begitu terpengaruh dan siap mengabdi pada superstardunia gaib itu. Inilah fanatisme buta. Dalam imajinasinya mungkin Tuk Bayan Tula sedang duduk di atas singgasana yang dibuat dari tulang belulang musuh-musuhnya. Lalu beberapa ekor dedemit yang telah ditaklukkannya patuh melayaninya dengan limpahan anggur-anggur putih. Ketika itu tak sedikit pun terlintas dalam pikirannya kalau nanti Tuk Bayan Tula akan memutar jalan hidupnya dan jalan hidup perempuan kecil yang sedang tersesat di rimba ini dengan sebuah kisah antiklimaks.

"Di depan mulut gua kami melihat empat lembar pelepah pinang raja tempat duduk telah tergelar, seolah beliau telah tahu jauh sebelumnya kalau kami akan datang. Beliau menemui kami, sedikit pun tidak tersenyum, sepatah pun tidak berkata."

Sang ketua utusan mengusap wajahnya yang masih kelihatan terkesiap karena pertemuan langsungnya dengan tokoh sakti mandraguna Tuk Bayan Tula. Meskipun sudah beberapa jam yang lalu ia masih belum bisa menghilangkan perasaan terkejutnya.

"Kami menceritakan maksud kedatangan kami. Beliau mendengarkan dengan memalingkan muka. Belum selesai kami berkisah beliau langsung memberi isyarat meminta sepucuk kertas dan pena, lalu beliau menuliskan sesuatu. Juga diisyaratkan agar kami segera pulang dan hanya membuka tulisan beliau setelah tiba di sini. Di kertas inilah beliau menulis."

Ketua utusan memperlihatkan gulungan kertas, semua orang merubungnya. Mahar melihat gulungan itu dengan tatapan seperti melihat benda ajaib peninggalan makhluk angkasa luar. Dengan gemetar sang ketua utusan membuka gulungan kertas itu dan di sana tertulis:

INILAH PESAN TUK BAYAN TULA:


JIKA INGIN MENEMUKAN ANAK

PEREMPUAN ITU MAKA CARILAH DIA DI DEKAT GUBUK LADANG YANG

DITINGGALKAN. TEMUKAN SEGERA ATAU

DIA AKAN TENGGELAM DI BAWAH AKAR BAKAU

Sebuah pesan yang mendirikan bulu tengkuk, lugas, dan mengancam atau lebih tepatnya menakut-nakuti. Tapi harus diakui bahwa pesan ini mengandung sebuah tenaga. Pilihan katanya teliti dan menunjukkan sebuah kualitas keparanormalan tingkat tinggi. Jika Tuk Bayan Tula seorang penipu maka ia pasti penipu ulung, tapi jika ia memang dukun maka ia pasti bukan dukun palsu yang oportunistik. Bagaimanapun pesan ini mengandung pertaruhan reputasi yang pasti. Tidak ada kata tersembunyi, tak ada kata bersayap. Intinya jelas: jika Flo tidak ditemukan di dekat gubuk ladang yang telah ditinggalkan pemiliknya atau jika ia tidak ditemukan tewas hari ini di sela-sela akar bakau, maka sang legenda Tuk Bayan Tula tak lebih dari seorang tukang dadu cangkir di pinggir jalan. Semua makhluk yang senang memain-mainkan dadu adalah kaum penipu. Kalau itu sampai terjadi rasanya aku ingin berangkat sendiri ke Pulau Lanun untuk menyita satusatunya kain yang melilit tubuh Tuk. Tapi selain semua kemungkinan itu pesan tadi juga harus diakui telah memberi harapan dan batas waktu, apa yang akan terjadi jika semuanya terlambat?

Kebiasaan berladang berpindah-pindah masih berlangsung hingga saat ini. Namun potensi kesulitan sangat mungkin muncul. Tak mudah menentukan yang mana yang merupakan gubuk ladang. Gubuk telantar banyak terdapat di lereng gunung, yaitu gubuk rahasia para pencuri timah. Para pendulang liar menggali timah nun jauh di lereng gunung secara ilegal dan menjualnya pada para penyelundup yang menyamar sebagai nelayan di perairan Bangka Belitong. Pencuri dan penyelundup timah adalah profesi yang sangat tua. Aktivitas kriminal ini kriminal dari kaca mata PN Timah tentu saja telah ada sejak orang-orang Kek datang dari daratan Tiongkok untuk menggali timah secara resmi di Belitong dalam rangka mengerjakan konsesi dari kompeni, hari-hari itu adalah abad ke-17.

PN Timah memperlakukan pelaku eksploitasi timah ilegal dan penyelundup dengan sangat keras, tanpa perikemanusiaan. Pelakunya diperlakukan seolah pelaku tindak pidana subversif. Di gunung-gunung yang sepi tempat para pendulang timah dianggap pencuri dan di laut tempat penyelundup dianggap perompak, hukum seolah tak berlaku. Jika tertangkap tak jarang kepala mereka diledakkan di tempat dengan AKA 47 oleh manusia-manusia tengik bernama Polsus Timah.

Tim kami berangkat sejak pagi benar di bawah pimpinan Mahar. Kami bergerak ke utara, ke arah jalur maut Sungai Buta. Belasan ladang terutama yang dekat sungai telah kami kunjungi dan gubuknya telah kami obrak-abrik, kami juga mencari-cari di sela-sela akar bakau, tapi hasilnya nihil. Flo raib seperti ditelan bumi. Suara kami sampai parau memanggil-manggil namanya dan satu-satunya megafone yang dibekali posko telah habis baterainya.

Dan pagi pun tiba, pencarian berlangsung terus. Dari walky talky kami pantau bahwa Flo masih tetap misteri. Sekarang baterai walky talky mulai lemah dan hanya dapat memonitor saja. Tidak hanya batu-batu baterai itu, sema-ngat kami pun melemah. Kami mulai dihinggapi perasaan putus asa.

Dari setiap gubuk yang kami kunjungi dan tidak ditemukan Flo di dalamnya maka satu kredit minus mengurangi reputasi Tuk. Sesudah hampir dua puluh gubuk yang nihil, saat itu menjelang tangah hari, reputasi beliau pun makin pudar kalau bukan disebut hancur. Kami mulai meragukan kesaktian dukun siluman itu. Mahar tampak agak tersinggung setiap kali kami mengeluh jika menemukan gubuk yang kosong, apa lagi ada celetukan yang melecehkan Tuk Bayan Tula.

"Kalau dia bisa berubah menjadi burung bayan, tak perlu susah-susah kita mencari-cari seperti ini," desah Kucai sambil terengah-engah.

Berbagai pikiran buruk menghantui kepala yang penat dan tubuh yang lelah. Ke manakah engkau gadis kecil? Mungkinkah anak gedongan itu telah tewas?

Parameter pencarian demikian luas. Flo bisa saja tidak menuruni lereng menuju ke lembah melainkan naik terus ke puncak, atau berjalan berputar-putar mengelilingi lereng, tersesat dalam fatamorgana sampai habis tenaganya. Mungkin juga ia telah tembus di sisi barat daya dan memasuki perkampungan Tionghoa kebun di sana. Atau ia sedang dililit ular untuk dibusukkan dan ditelan besok malam.

Mungkinkah ia telah berenang melintasi Sungai Buta? Bukankah ia anak tomboi yang terkenal nekat tak kenal takut? Selamat atau sudah tamatkah riwayatnya? Perbekal-an air dan makanan kami yang seadanya telah habis. Harun, Trapani, dan Samson sudah ingin menyerah dan menyarankan kami kembali ke posko, tapi Mahar tak setuju, ia yakin sekali pada kebenaran pesan Tuk Bayan Tula. Sebaliknya, bagi kami hanya bayangan penderitaan Flo yang masih menguatkan hati untuk terus mencari. Jika ingat betapa ia ketakutan, kelaparan, dan kedinginan, kelelahan kami rasanya dapat ditahankan.

Menjelang pukul 10 pagi, berarti telah 27 jam Flo lenyap. Kami sudah tak memedulikan pesan Tuk. Bagi kami kecuali Mahar datuk itu tak lebih dari semua dukun-dukun lainnya, palsu dan oportunistik. Kami memperlebar parameter pencarian sampai agak naik ke atas ladang. Di setiap gubuk kami menemukan pemandangan yang sama, yaitu babi-babi hutan yang kawin berpesta pora atau tikus-tikus pengerat bercengkrama di antara dengungan kumbang yang bersarang di tiang-tiang gubuk yang lapuk.

Pukul 11, siang sudah, kami tiba di sebuah batu cadas besar yang menjorok. Kami berkumpul di sana untuk mengistirahatkan sisa-sisa tenaga terakhir. Inilah ujung akhir lereng utara karena setelah ini, nun setengah kilometer di bawah kami adalah wilayah bahaya maut Sungai Buta. Kami tak 'kan turun ke wilayah yang dihindari setiap orang itu, bahkan penjelajah profesional tak berani ke sana. Kami sudah putus asa dan setelah beristirahat ini kami akan segera kembali ke posko. Kami telah gagal, Flo tetap nihil, dan paling tidak di lereng utara Tuk Bayan Tula telah berdusta. Dari walky talky kami memonitor bahwa di barat, timur, dan selatan Flo juga tak ditemukan, berati Tuk Bayan Tula telah berdusta di empat penjuru angin.

Kami diam terpaku menerima berita itu. Wajah Mahar sembap seperti ingin menangis. Ia seumpama kekasih yang dikhianati orang tersayang. Tuk telah melukai hatinya meskipun ia sedikit pun tak kenal tokoh pujaannya itu. Ini risiko keyakinan yang rabun. Dan aku sedih, bukan karena membayangkan kehancuran integritas Tuk atau perasaan Mahar yang kecewa, tapi karena memikirkan nasib buruk yang menimpa Flo. Bisa saja ia tak 'kan pernah ditemukan, hilang, raib. Bisa juga ia ditemukan tapi cuma tinggal berupa kerangka yang dipatuki burung gagak. Ia juga mungkin ditemukan dalam keadaan menyedihkan telah tercabik-cabik hewan buas. Dan yang paling tak tertahankan adalah jika ia mati sia-sia secara memilukan karena pertolongan terlambat beberapa jam saja. Sulit untuk bertahan hidup dalam suhu sedingin malam tadi tanpa makanan sama sekali. Dan saat-saat sekarang ini sudah memasuki keadaan yang mulai terlambat itu. Mengapa anak cantik kaya raya yang hidup di rumah seperti istana, dari keluarga terhormat,tanpa trauma masa kecil, dan yang memiliki limpahan kasih sayang semua orang, serta lingkungan seperti taman eden, ha-rus berakhir di tempat ganas ini? Aku tak sanggup mem-bayangkan lebih jauh perasaan orangtuanya.

Aku terbaring kelelahan memandangi keseluruhan Gunung Selumar yang biru, agung, dan samar-samar. Aku per-nah menulis puisi cinta di puncaknya dan gunung ini pernah memberiku inspirasi keindahan yang lembut. Bahkan di sabana di atas sana tumbuh bunga-bunga liar kuning kecil yang dapat membuat siapa pun jatuh cinta, bukan hanya kepada bunganya, tapi juga kepada orang yang mempersembahkannya. Namun kelembutan gunung ini, seperti kelembutan unsur-unsur alam lainnya, air, angin, api, dan bumi, ternyata menyembunyikan kekejaman tak kenal ampun. Betapa teganya, toh bagaimanapun nakalnya, Flo hanyalah seorang gadis kecil, permata hati keluarganya. Kucai menepuk-nepuk bahu Mahar dan menghiburnya. Mahar memalingkan muka. Ia menunduk diam. Matanya jauh menyapu pandangan ke Sungai Buta dan rawa-rawa bakung di bawah sana. Kami bangkit, membereskan perlengkapan, dan mempersiapkan diri untuk pulang. Sebelum kami melangkah pergi Syahdan yang mengalungkan teropong kecil di lehernya mencoba-coba benda plastik mainan itu. Ia meneropong tepian Sungai Buta. Saat kami ingin menuruni batu cadas itu tiba-tiba Syahdan berteriak, sebuah teriakan nasib.

"Lihatlah itu, ada pohon kuini di pinggir Sungai Buta."

Kami membalikkan badan terkejut dan Mahar serta-merta merampas teropong Syahdan. Ia berlari ke bibir cadas dan meneropong ke bawah dengan saksama, "Dan ada gubuk!" katanya penuh semangat.

"Kita harus turun ke sana!" katanya lagi tanpa berpikir panjang.

Kami semua terperanjat dengan usul sinting itu. Kucai yang dari tadi membisu menganggap kekonyolan Mahar telahmelampaui batas. Sebagai ketua kelas ia merasa bertanggung jawab.

"Apa kau sudah gila!" Ia menyalak dengan galak. Sorot matanya tajam, merah, dan marah, walaupun yang ditatapnya adalah Harun yang berdiri melongo di samping Mahar. "Mari aku jelaskan ke kepalamu yang dikaburkan asap kemenyan sehingga tak bisa berpikir waras. Pertama-tama di bawah sana tak mungkin sebuah ladang. Tak ada orang sinting yang mau berladang di pinggir Sungai Buta kecuali ia ingin mati konyol. Tak tahukah kau cerita pengalaman orang lain, di situ buaya tidak menunggu tapi mengejar. Dan ular-ular sebesar pohon kelapa melingkar-lingkar di sembarang tempat. Kalaupun itu memang gubuk, itu gubuk pencuri timah. Berdasarkan pesan datuk setengah iblis anak gedongan itu hanya ada di gubuk ladang yang ditinggalkan!"

Mahar menatap Kucai dengan dingin, Kucai semakin geram.

"Kalau kita turun ke sana, aku pastikan kita bisa menjadi Flo-Flo baru yang malah akan dicari orang, menambah persoalan, merepotkan semuanya nanti. Tempat itu sangat berbahaya, Har, pakai otakmu! Ayo pulang!!"

Mahar tetap sedingin es, ekspresinya datar. "Lagi pula mana mungkin anak perempuan kecil itu dapat mencapai tempat ini. Batu ini adalah dinding utara terakhir. Kita telah mendatangi puluhan gubuk ladang yang ditinggalkan, hasilnya nol, mendatangi satu gubuk pencuri timah hasilnya akan tetap sama, ayolah pulang, Kawan, terimalah kenyataan bahwa Tuk telah menipu kita, ayolah pulang, Kawan ..,," Kucai merendahkan suaranya, mungkin ia sadar membujuk orang setengah gila tidak bisa dengan marah-marah. Tapi Mahar tetap membatu, ia seperti menhir, masih belum bisa diyakinkan. Ia tak 'kan menyerah semudah ini. Syahdan ikut menasihati dengan kata-kata pesimis.

"Sudah hampir tiga puluh jam Flo hilang, kita harus belajar realistis, mungkin ia memang ditakdirkan menemui ajal di gunung ini. Tuhan telah memanggilnya dan gunung ini pun mengambilnya."

Mahar tak bergerak. Kami beranjak meninggalkan tempat itu. Lalu dengan dingin Mahar mengatakan ini, "Kalian boleh pulang, aku akan turun sendiri...."

Maka turunlah kami semua walaupun kami tahu tak 'kan menemukan Flo di pinggir Sungai Buta. Hal itu sangat muskil, sangat mustahil. Semuanya menggerutu dan kami mengutuki Syahdan yang tadi iseng-iseng meneropong dengan teropong plastik jelek mainan anak-anak itu. Dia menyesal. Tapi semuanya telah telanjur, sekarang kami pontang panting menuruni punggung lereng yang curam, berkelak-kelok di antara batubatu besar dan menerabas kerimbunan gulma yang sering menusuk mata.

Kami menuju ke sebuah gubuk pencuri timah di wi-layah maut pinggiran Sungai Buta hanya untuk menemani Mahar, menemani ia memuaskan egonya, membuktikan padanya bahwa insting tidak harus selalu benar, dan melindunginya dari ketololannya sendiri. Walaupun kami benci pada kefanatikannya tapi ia tetap teman kami, anggota Laskar Pelangi, kami tak ingin kehilangan dia. Kadang-kadang persahabatan sangat menuntut dan menyebalkan. Pelajaran moral nomor lima: jangan bersahabat dengan orang yang gila perdukunan.

Kira-kira satu jam kemudian, tepat tengah hari, kami telah berada di lembah Sungai Buta. Wilayah ini merupakan blank spot untuk frekuensi walky talky sehingga suara kemerosok yang sedikit menghibur dari alat itu sekarang mati dan tempat ini segera jadi mencekam. Untuk pertama kalinya aku ke sini dan rasa angkernya memang tidak dibesar-besarkan orang. Kenyataannya malah terasa lebih ngeri dari bayanganku sebelumnya. Kami memasuki wilayah yang jelas-jelas menunjukkan permusuhan pada pendatang. Wilayah ini seperti dikuasai oleh suatu makhluk teritorial yang buas, asing, dan sangat jahat. Kerasak-kerasakgelap di pokok pohon nipah yang digenangi air seperti kerajaan jin dan tempat sarang berkembang biaknya semua jenis bangsa-bangsa hantu. Biawak berbagai ukuran melingkar-lingkar di situ, sama sekali tak takut pada kehadiran kami, beberepa ekor di antaranya malah bersikap ingin menyerang.

Hanya sedikit orang pernah ke sini dan di antara yang sedikit itu dan yang paling tolol adalah kami. Kami berjalan dalam langkah senyap berhati-hati. Semuanya mengeluarkan parang dari sarungnya dan terus-menerus menoleh ke kiri dan kanan serta membentuk formasi untuk melindungi punggung orang terdekat. Kami mendengar suara sesuatu ditangkupkan dengan sangat keras dan mengerikan disertai suara kibasan air yang besar. Kami diam tak membahas itu, kami tahu suara itu tangkupan mulut buaya yang besarnya tak terkira. Ada juga suara bayi-bayi buaya yang berkeciak dan pemandangan beberapa ekor ular bergelantungan di dahan-dahan pohon. Kami terus merangsek maju seperti sedang mengintai musuh.

Pondok itu kira-kira seratus meter di depan kami. Semakin dekat, semakin jelas dan mencengangkan karena tempat itu agaknya memang bekas sebuah ladang yang ditinggalkan. Kami menemukan kawat-kawat bekas pagar dan dari kejauhan melihat pohon-pohon kuini, jambu bol, dan sawo. Siapa orang luar biasa yang berani berladang di sini?

Jarak ladang ini dekat sekali dengan pinggiran Sungai Buta, bisa dipastikan sangat berbahaya. Pemiliknya pasti ingin mendekati air tanpa mempertimbangkan keselamatan. Sebuah tindakan bodoh. Atau mungkinkah karena ketololannya itulah maka riwayat sang pemilik telah berakhir di tepi sungai ini sehingga ladangnya sekarang tak bertuan? Tapi ada hal lain, yaitu siapa pun pemilik tersebut terutama jika ia masih hidup maka ia pasti tak sanggup memelihara ladang ini karena hama perompak tanaman juga luar biasa di sini. Kawanan kera sampai mencapai lima kelompok, saling berebutan lahan dengan  serakah. Belum lagi tupai, lutung, babi hutan, musang, luak, dan tikus pengerat, hewanhewan ini sudah keterlaluan.

Kami berjingkat-jingkat tangkas di atas akar-akar bakau yang cembung berselang-seling. Akar-akar ini seperti menopang pohonnya yang rendah. Tak kami temukan Flo tersangkut di bawah akar-akar itu, satu lagi konfirmasi penipuan Tuk Bayan Tula. Setelah yakin Flo tak ada di bawah akar bakau, kami pelan-pelan mendekati ladang.

Semakin dekat ke lokasi ladang kami dapat melihat dengan jelas sebuah gubuk beratap daun nipah. Lalu ada suatu pemandangan yang agak menarik, yaitu salah satu dahan pohon jambu mawar yang berdaun amat lebat bergoyang-goyang hebat seperti ingin dirubuhkan. Jambu mawar itu tumbuh persis di samping gubuk. Pastilah itu ulah lutung besar yang sepanjang waktu selalu lapar.

Kami mendekati pohon jambu mawar itu dengan waspada. Kami menyusun semacam strategi penyergapan untuk memberi pelajaran pada lutung rakus itu. Kami mengendapendap seperti pasukan katak baru keluar dari rawa untuk merebut sebuah gudang senjata.

Di ladang telantar ini tumbuh subur ilalang setinggi dada dan pohon-pohon singkong yang sudah centang perenang dirampok hewan-hewan liar. Buah-buah sawo yang masih muda, putik-putik jambu bol, dan buah kuini muda juga berserakan di tanah karena dijarah secara sembrono oleh hama hewan-hewan itu. Bahkan buah-buahan ini tak sempat masak. Binatang-binatang tak tahu diri!

Lutung besar yang sedang berpesta pora di dahan jambu mawar itu tak menyadari kehadiran kami. Ia semakin menjadi-jadi, mengguncang-guncang dahan jambu itu hingga daun dan bakal buahnya berjatuhan, kurang ajar sekali. Kami semakin dekat dan berjinjitjinjit tak menimbulkan suara. Kami ingin menangkapnya basah sehingga ia semaput

ketakutan, inilah hiburan kecil di tengah ketegangan menyelamatkan nyawa manusia. Setelah tiba saatnya kami bersama-sama menghitung hingga tiga dan melompat serentak, menghambur ke bawah dahan itu sambil bertepuk tangan dan berteriak sekeras-kerasnya untuk mengejutkan sang lutung. Tapi tak sedikit pun diduga situasi berbalik seratus delapan puluh derajat, karena sebaliknya, ketika kami menyerbu justru kami yang terkejut setengah mati tak alang kepalang, rasanya ingin terkencing-kencing. Kami tak percaya dengan penglihatan kami dan terkaget-kaget hebat karena persis di atas kami, di sela-sela dedaunan yang sangat rimbun, bertengger santai seekor kera besar putih yang tampak riang gembira menunggangi sebatang dahan seperti anak kecil kegirangan main kuda-kudaan, wajahnya seperti baru saja bangun tidur dan belum sempat cuci muka. Ia tertawa terbahak-bahak sampai keluar air matanya melihat wajah kami yang terbengongbengong pucat pasi. Flo yang berandal telah ditemukan!



Next Novel Laskar Pelangi Bagian 25 (Rencana B)
Laskar Pelangi Adalah Novel Karya Andrea Hirata
Tanpa Bermaksud Merugikan Sang Penulis,Cuma Sekedar Sharing Saja. Jangan Lupa Silahkan Beli Novel Karya - Karya Beliau.

Artikel Kabuh.net Lainnya :

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Kabuh.net