Tempat edit Design template

Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Bagian 10

Artikel terkait : Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Bagian 10


Gw baru beberapa langkah keluar dari gerbang ketika dari belakang terdengar bunyi klakson motor. Gw menepi, dan pengendara motor itu tersenyum lalu hentikan motor di depan gw.

"Mau bareng?" tanya Lisa. "Gw juga lewat Teluk Jam*e."

"Nggak ngerepotin nih?" kata gw memastikan.

"Enggak lah... Lo kayak sama siapa aja sih pake basa-basi. Udah tinggal naek aja."

Dan nggak butuh dua kali berpikir buat gw menyetujui niat baiknya. Maka sore itu gw pun diantar pulang oleh Lisa, temen kerja gw. Lumayan lah skali-kali ngirit ongkos. Hehehe..

Motor berhenti tepat di depan gerbang kosan. Gw turun dan bersiap mengucapkan terimakasih, sebelum Lisa juga turun dan membuka pintu lalu memarkir motornya ke dalam.
"Gw mampir ke kosan lo, boleh khan?" katanya menjawab pandangan heran gw.

"Oh, boleh kok. Enggak papa," ujar gw.

Lisa tersenyum senang.

"Gw bosen di rumah terus, skali-kali refreshing," katanya. "Kamer lo yg mana?"

"Kamer gw di atas. Paling atas."

Dan kami segera menuju lantai atas. Saat itu kosan sudah mulai ramai karena rata-rata penghuninya balik kerja jam-jam segini. Jujur aja, gw sedikit malu karena ini pertama kalinya gw "bawa" cewek ke kosan. Yah walaupun dalam konotasi yg sedikit berbeda, gw nggak enak aja membalas senyuman temen-temen yg liat gw jalan sama Lisa.

Lisa adalah cewek periang yg punya pandangan luas tentang hidupnya. Selalu berpikir kritis, dan tentu saja, dia sedikit banyak bawel. Buat gw Lisa adalah orang yg cocok sebagai partner kerja. Dia giat dan beberapa kali malah dia yg menyelesaikan job gw di kantor, tentu saja tanpa sepengetahuan bos. Hehehe.

"Capek juga ya tiap hari mesti naik tangga kayak gini," Lisa berkomentar.

Kami sampai di lantai atas. Sebagai catatan, gw nggak pernah mengunci kamar gw ketika gw pergi. Kalaupun dikunci, gw taroh di lubang fentilasi, tempat yg sudah bukan rahasia buat Indra dan Meva. Maka gw nggak begitu terkejut ketika mendapati Meva ada di dalam kamar gw sedang tiduran di kasur sambil maen gamewatch. Ekspresi yg berbeda ditunjukkan Lisa.

"Eh, lo udah balik Ri.." Meva bangun dan menatap gw dan Lisa sedikit gugup.

Gw tersenyum.

"Ini..." kata Lisa menunjuk Meva. Kelihatannya dia nggak biasa liat cewek di dalem kamer cowok.

"Oh, kenalin. Ini Meva," gw memperkenalkan. "Meva, ini Lisa.."

"Ooh...ini Lisa, yg di sms itu ya?" kata Meva, ingat sms yg dibacanya di handphone gw. "Hay.."

Meva menyodorkan tangan, mengajak salaman.

"Eh, hay.." sahut Lisa. Mengacuhkan ajakan Meva berjabat tangan.

Gw mulai merasa nggak enak di sini. Meva berusaha menutupi kekesalannya, menarik tangannya dan nyengir lebar.

"Gw udah beliin mie ayam buat lo Ri, tuh di atas galon. Piringnya juga udah gw cuciin tuh, tinggal makan aja," katanya. "Gw ke kamer dulu deh."

Lalu Meva bergegas keluar menuju kamarnya.

"Ehm, mau di sini atau ngobrol di luar aja?" kata gw ke Lisa.

"Di sini aja deh," Lisa duduk di lantai.

Gw merapikan beberapa barang yg berserakan di lantai. Nggak begitu berantakan sih sebenernya, karena Meva pasti sudah merapikannya.

"Cewek yg tadi siapa sih?" tanya Lisa.

"Meva."

"Maksud gw, dia itu siapa nya lo? Kok ada di kamer lo?"

"Seperti yg lo liat, dia penghuni kamer depan gw. Dia cuma temen kok."

"Oiya?? Dia temen yg baik yah, sampe beliin lo makan dan nyuciin piring?" kata Lisa lagi dengan nada menyindir.

"Udah biasa kok."

"Hebat! Kalo gw, gw nggak biasa tuh ada cowok tiduran di dalem kamer gw. Nggak tau deh kalo lo gimana.."

Nada bicaranya nggak enak banget. Kayaknya lebih baik nggak memperpanjang pembicaraan ini.

"Lo mau teh?" gw menawarinya.

"Boleh. Eh, ada kopi nggak? Kopi aja deh, kalo ada."

Gw mengangguk dan mempersiapkan dua gelas kecil buat gw dan Lisa.

"Sejak kapan lo kenal sama cewek itu?" tanya Lisa. Dia sepertinya masih tertarik membahas soal Meva.

"Udah lama. Sejak gw kerja di sini."

"Kalian udah deket banget ya?"

"Yah begitulah."

"Sedeket apa?"

"Emmh..ya pokoknya deket ajah. Temen gw juga bukan dia aja."

"Apa dia cewek lo?"

"Maksudnya?"

"Pacar. Apa si Meva itu pacar loe?"

Gw tertawa kecil.

"Bukan. Dia cuma temen kok."

Lisa berdiri.

"Numpang ke kamer mandi yah?" katanya.

"Oh, boleh.."

Lisa masuk ke kamar mandi, sementara gw sudah selesai dengan kopi dan teh di tangan gw.

"Sebenernya hubungan kalian tuh apa sih?" kata Lisa begitu keluar dari kamar mandi. Di kedua tangannya ada sesuatu yg seharusnya cuma ada di kamer cewek, karena itu memang punya cewek. "Ini punya dia kan?"

"Eh..mungkin tadi dia numpang nyuci di sini. Iya, pasti gitu."

Lisa menarik nafas berat.

"Oke. Kalian emang deket banget kayaknya," katanya lagi. Melempar 'punya' Meva ke kasur lalu duduk di dekat gw.

"Kami emang deket, tapi cuma sebatas temen."

"Enggak papa kok, nyantai aja. Nggak masalah."

Dia tersenyum seperti biasanya. Sempat sedikit kikuk, lalu suasana mencair kembali.

Dan akhirnya kami ngobrol-ngobrol ringan sampai sore hampir habis. Lisa pamit pulang saat matahari sudah benar-benar terbenam..
"Ciiiiieeeeeeeee..!!" suara Meva terdengar memekakan sebelah telinga gw. Dia bergelayutan di punggung gw, nyaris membuat gw terpelanting ke belakang. Untung gw masih bisa meraih gagang pintu.

"Udah gede ya lo sekarang," katanya mengacak rambut gw. "Udah ngerti pacaran."

"Ekh...tokh...log....tagam..lokh...." leher gw tercekik. Kayaknya gw udah deket sama malaikat pencabut nyawa.

"Ups, sorry." Meva melepaskan tangannya dari leher gw.

"Lo mau ngebunuh gw ya??" gw usapi leher gw yg memerah.

"Hehehe.." Meva malah tertawa tanpa rasa bersalah. Eh, lebih tepatnya bodoh. "Dia ke mana? Udah balik?"

"Udah, baru aja tuh."

Gw buka pintu kamar. Dan Meva menyelinap mendahului gw masuk. Ketika dilihatnya barang miliknya tergeletak di kasur, buru-buru dia ambil dan sembunyikan di balik badannya. Dia nyengir lebar.

"Kok bisa ada di luar sih? Perasaan gw taro di dalem kamer mandi deh," katanya malu.

"Gw yg ngeluarin," kata gw bohong.

"Hah? Buat apaan?"

"Apa yak? Sedikit berimajinasi aja siih."

"Whats? Maksud loe??" dua mata Meva melotot ke gw.

Gw tertawa lebar.

"Laen kali jangan gantung barang-barang kayak gitu di kamer mandi gw."

"Iya iya sorry gw lupa tadi mah."

"Pikun lo. Kalo aja kepala nggak nempel di leher, kayaknya sekarang lo lagi sibuk nyariin kepala lo deh. Sekarang lo cocok dipanggil Nenek Meva deh.."

"Enak aja! Nggak mau!"

Gw duduk di samping galon. Membuka bungkusan mie ayam yg belum sempat gw makan.

"Ri," kata Meva. "Tadi kayaknya Lisa nggak suka ya sama gw?"

"Kata sapa? Dia fine-fine aja kok. Malah sering nanya soal lo." Gw bohong lagi.

"Masa? Tapi tadi nggak gitu deh yg gw liat."

"Lo mah liat semut aja dibilang gajah."

"Ih, serius gw Ri!" Meva ngotot. "Tadi itu keliatan banget dia nggak suka sama gw."

"Terus kenapa? Itu hak dia kan? Sama kayak elo, lo juga berhak buat nggak suka sama dia.."

"Ah, enggak ah. Entar lo nya marah sama gw."

"Marah kenapa? Nggak ada hubungannya sama gw."

"Ya ada lah! Lo kan pacarnya!"

"Udah berapa kali sih gw bilang dia itu bukan siapa-siapa gw."

"Enggak... Mata lo. Gw bisa baca hati lo, dari tatapan mata lo."

"Wah, jangan-jangan lo bisa liat tembus pandang lagi?"

Meva tertawa.

"Ngawur lo," katanya.

Hampir setengah mangkok mie sudah gw habiskan.

"Oiya, si Indra mana? Kok sekarang dia jarang keliatan ya?" tanya Meva.

"Lagi sibuk dia.. Namanya juga orang penting."

"Eh iya ya, dia sekarang udah jadi bos."

"Begitulah."

"Lo gimana? Kapan lo jadi bos? Perasaan gw liat lo nggak ada bosennya jadi anak buah."

"Haha.. Enggak papa deh. Belum waktunya kali. Biar aja, kalo gw emang takdirnya jadi orang gede ya nggak akan kemana. Kalo enggak, ya itu berarti gw emang nggak punya bakat jadi orang sukses."

Meva tertawa lagi.

"Eh eh, balik ke topik semula!" katanya lagi. "Soal Lisa!"

Gw meliriknya sebentar. Kayaknya hari ini Lisa jadi trending topic.

"Udah berapa lama kalian jadian?"

"Udah berapa lama gw bilang kalo gw sama dia nggak punya hubungan khusus?"

"Ah, sejak kapan lo jadi pembohong?"

"Dan sejak kapan lo jadi o-o-n?"

Meva mencibir.

"Gw tau kok Ri, lo suka kan sama dia?"

"Tau dari mana?"

"Kayak yg udah gw bilang, gw bisa baca pandangan mata lo."

"Kalo gitu sama kayak yg gw bilang, apa lo bisa liat gw tembus pandang?"

"Enggak bisa!"

"Oooh..." gw mengangguk pelan. "Kalo gw bisa."

"Hah?? Asli nggak??" Meva menarik selimut di kasur menutupi badannya.

Gw terkikih.

"Jadi selama ini...loe..."

"Enggak lah! Gw becanda! Punya ilmu dari mana sih gw bisa liat kayak gituan? Hehe.."

"Oh, kirain!" dia melempar selimut ke kasur.

Mie sudah habis. Meskipun rasanya agak sedikit aneh dan lembek gara-gara terlalu lama didiamkan, perut gw lumayan kenyang.

"Oiya, kan lo bilang tadi bisa baca isi hati orang dari tatapan matanya?" kata gw. Meva mengangguk. "Kalo gitu coba tebak isi hati gw, dari cara gw ngeliat loe. Bisa?"

Sejenak gw dan Meva saling adu pandang.

"Gw tau yg lo pikirin," katanya.

"Apa coba?"

Dia tersenyum.

"Ada deeh....." kata Meva lagi.

"Jiaah, dasar. Bilang aja nggak bisa."

Malam baru saja beranjak datang. Masih terlalu sore buat gw tidur. Dan waktu Meva mengajukan usul maen catur, tanpa ragu gw setujui usulnya. Kebetulan akhir-akhir ini kami memang jarang tanding catur lagi. Dan rupanya Meva makin jago aja.

Berkali-kali menteri gw diteror, nyaris mati kalau saja gw nggak mengorbankan dua luncur yg gw punya untuk menyelamatkannya. Meva juga punya strategi baru. Dia secara frontal mengejar menteri gw dan membuatnya tersudut, sangat berambisi memakannya.

Daaan......hasil pertandingan malam ini adalah : 5-0 !! YESSS !!! Gw kalah lagi !!

Saking kecewanya gw sampe lupa kalo gw belum mandi dari sore.

Huaah...malam ini kerasa panjang banget. Gw baru selesai maen catur pas jam setengah duabelas malam. Sempat gitar-gitaran juga sebelum akhirnya gw beranjak ke kasur.

Satu hal yg gw sadari malam itu adalah, gw nggak pernah bisa ngalahin Meva maen catuur !!

Waktu bergulir begitu cepat. Nggak kerasa udah nyampe pertengahan tahun. Kehidupan anak kos di tempat gw juga mulai berubah. Beberapa orang temen memutuskan pindah ke kosan yg lain. Diganti dengan orang baru yg tentunya butuh adaptasi lagi sama orang lama kayak gw. Begitu juga Indra. Setelah sekian lama jarang bertemu, di satu sore yg panas dia menemui gw dengan membawa sebuah kabar.

"Gw mau beli rumah Ri," katanya bersemangat ke gw yg waktu itu lagi ngadem di balkon sepulang kerja.

"Wah serius tuh??" kata gw hampir nggak percaya, tapi dari dalam hati gw ikut gembira denger kabar itu.

Indra mengangguk.

"Insya Allah bulan depan gw udah pindah ke rumah baru gw itu. Lagi diproses sama bank yg bersangkutan, dan planning nya beres akhir bulan ini."

Gw berdecak kagum.

"Beli rumah dimana lo dul?" gw tetep manggil dia seperti itu meski sekarang potongan rambut dia sudah sangat mirip dengan Nirvana.

"Di Kara*a. Enggak cash sih belinya. Ikut program dari perusahaan aja."

"Mau cash ataupun nyicil, yg penting punya rumah," kata gw. "Hebat lo Dul, gw ikut seneng deh."

Indra tertawa pelan.

"Thanks Ri. Gw udah mulai mikirin hidup gw ke depan soalnya.."

"Tunggu dulu," potong gw. "Maksud lo mikirin hidup ke depan itu ada hubungannya sama KUA?"

Dia tertawa lagi, kali ini sambil anggukkan kepala beberapa kali.

"Kurang lebih begitu..." katanya.

"Wah udah punya calonnya emang? Kok nggak pernah cerita siih?"

"Haha.. Gw bukan artis Ri. Ngapain juga gw cerita-cerita soal kehidupan pribadi?"

"Ya seenggaknya sama gw laah. Masa temen sendiri nggak tau lo mau married? Lo juga sih ngilang mulu."

"Iya Ri gw terlalu sibuk ama kerjaan soalnya. Lumayan lah nambah-nambah buat modal nikah nanti."

"Kapan lo nikahnya? Gw diundang nggak nih?"

"Pasti lah. Masa temen sebelah segitu deketnya nggak diundang?"

"Jadi kapan waktunya?"

"Emmh...keluarganya cewek gw sih pengennya sebelum tahun depan kita udah resmi. Gw setuju-setuju aja. Paling lambat akhir tahun lah. Masih dalam tahap perundingan, gw juga kudu ketemu langsung sama orangtua gw. Nyari hari baiknya kapan. Kan gitu tradisi orang Jawa."

Gw tersenyum.

"Sama orang Jawa juga?" tanya gw.

"Enggak," dia menggeleng. "Orang sini kok. Anak Klari."

Gw tarik napas panjang. Baru denger kabar temen married aja gw udah seneng, gimana seandainya gw yg married yah?? Haha... Gw ketawa sendiri dalam hati.

Jujur aja sekarang-sekarang ini gw belum terlalu kepikiran jauh ke depan, dalam hal ini soal nikah. Tapi liat Indra udah seserius itu, gw juga jadi mulai berandai-andai. Kapan gw nikah? Dan siapa pasangan yg tepat buat gw? Begitu nyampe di pertanyaan kedua, yg terbayang di benak gw adalah Echi. Hati gw mencelos. Seperti ada sebalok es batu yg meluncur dalam perut gw tiap kali inget dia. Biar gimanapun kami pernah merencanakan mimpi yg sama buat masa depan kami. Mungkin karena itu juga gw belum berani memikirkan yg jauh-jauh. Gw masih menikmati masa-masa lajang dan bebas. Bebas memilih, bebas melakukan apapun bareng temen-temen, dan tentu saja bebas menentukan kapan waktunya gw mengakhiri kebebasan ini.

"Lo nggak kepikiran buat married Ri?" tanya Indra. Sama persis dengan yg lagi gw pikirin.

"Bukan 'enggak' tapi 'belum' aja. Gw belum siap," kata gw apa adanya.

"Terus kapan siapnya? Umur lo udah tua juga. Ditunda-tunda entar malah jadi bujang lapuk loh."

"Haha.. Insya Allah enggak. Gw juga nggak tua-tua amat kok. Baru juga 22 tahun. Masih mau nikmatin hidup sama temen-temen. Belum mau terikat aja. Kan kalo udah punya bini pasti susah tuh buat sekedar nongkrong sama temen-temen? Nggak bebas aja. Beda sama lo, kalo lo kan udah kepala tiga umurnya."

"Busseett!! Gw baru dualima Ri. Emang tampang gw ketuaan banget yah?"

Gw mengangguk bersemangat.

"Sialan lo," gerutunya. "Tapi kapanpun lo siap, jangan lupa undang gw. Gw akan bantu lo sebisa gw. Ya mungkin gw bisa berbagi pengalaman sama lo nantinya. Pokoknya tenang aja deh, lo itu bestfriend gw. Apapun gw lakuin buat bantu lo."

"Hahaha.. Thanks dul," gw menjabat tangannya.

Kami sama-sama tertawa bahagia.

"Tapi pasti nanti kosan ini bakal sepi tanpa loe.." kata gw.

"Kan masih ada Meva?"

"Jiaah, beda itu mah. Temen cowok sama temen cewek beda laah. Kalo sama cowok kan bisa bebas becanda dan ngomong apa juga, nggak kayak sama cewek, mereka lebih sensi soalnya."

"Lo bisa ikut gw kok. Kan gw nikahnya masih lama, jadi lo bisa bareng sama gw di rumah gw, kalo lo mau. Sampe nanti gw married?"

Gw berpikir sejenak.

"Gw di sini aja deh, takut ngerepotin lo kalo gw numpang di rumah lo."

"Hahaha.. Kayak sama siapa aja."

Dan sore itu, gw bener-bener menikmati momen itu. Becanda bareng, ngobrol-ngobrol tentang impian kami ke depan. Dan di titik ini jg gw mulai sadar, hidup setiap orang pasti akan berubah. Nggak mungkin selamanya melajang. Nggak mungkin juga terus-terusan jdi anak kos yg males-malesan. Harus ada titik balik untuk membangun kehidupan bersama keluarga kelak. Dan semoga udah gw siap untuk itu kalau waktunya tiba nanti.

Di suatu malam minggu yg cerah. Waktu itu sekitar seminggu menjelang kepindahan Indra ke rumah barunya. Gw dan beberapa temen mengadakan semacam acara perpisahan. Dengan beberapa botol soft drink dan makanan ringan sebagai pelengkap menu ikan bakar malam itu acara berlangsung sederhana tapi menyenangkan. Mulai bakar ikan jam sembilan dan baru bisa disantap sekitar jam sebelas. Cukup lama juga buat memastikan ikannya bener-bener mateng.

Ini bukan acara resmi. Nggak ada MC, nggak ada undangan, semuanya berjalan apa adanya. Kabar tentang acara ini pun cuma menyebar dari mulut ke mulut sesama anak kos. Yg punya waktu silakan ngeramein, begitu kesepakatannya. Dan yg namanya anak kos, kapan sih kita nggak punya waktu?? Selain dua kamar di atas yg terpaksa menyesali ketidakhadirannya demi loyalitas lembur, ada juga beberapa temen yg sudah punya jadwal mudik ataupun ngapel, jadi nggak bisa ikut. Selebihnya semua yg gw kenal hadir. Ada Raja, Hilman, Akbar, Miko dan Iwan dari lantai bawah dan juga Nendra dan Teguh serta Kurniawan dari lantai dua.

Semua hadir, kecuali Meva. Sejak selepas isya, pintu kamarnya tertutup rapat. Gw tahu dia ada di dalam dan tentu saja dia juga mendengar suara-suara kami yg cukup berisik. Becanda, nyetel lagu lewat speaker aktif di kamernya Indra dan nyanyi-nyanyi nggak jelas diiringi gitar tua milik Indra, kurang lebih begitulah susunan acara malem itu. Acaranya sendiri diadakan di depan kamer gw karena kamer gw yg paling ujung, dan berakhir begitu ikan bakarnya habis dan temen-temen mulai balik ke kamernya masing-masing menjelang dini hari. Kurniawan dan Teguh bilang mau begadang sampe pagi, tapi baru jam satu mereka udah tepar dan akhirnya balik ke kamer mereka.

Tinggal gw dan Indra di balkon, ditemani tumpukan piring kotor bekas makan tadi, hasil minjem dari temen-temen juga. Indra duduk tenang di tembok balkon sementara gw membereskan panggangan ikan, arangnya ada yg berserakan di lantai dan bekas asapnya tadi meninggalkan jejak hitam di dinding balkon.

"Biar nanti gw aja yg cuci piringnya," kata Indra tetap pada posisinya.

"Oke. Gw cuma beresin bekas bakar ikannya," sahut gw. Setelah selesai berbenah gw ke kamer mandi, cuci tangan, kemudian balik lagi ke balkon.

Suasananya beda banget. Tadi rame dan berisik, sekarang bahkan suara jangkrik di rerumputan belakang kosan ini pun terdengar nyaring. Gw duduk di tembok juga. Dan saat itulah terdengar derit pintu terbuka dari kamar Meva. Yg sebenernya gw harap ikut ngeramein acara tadi akhirnya nongol juga. Gw sih maklum Meva nggak muncul pas bakaran ikan, dia memang nggak suka ada di tengah keramaian kayak tadi. Dan kemunculannya pagi ini gw anggap sebagai bentuk penghormatan kepada Indra yg punya gawe, seenggaknya Meva tetep hadir.

Dia tersenyum pada kami berdua lalu duduk di kursi kecil di depan kamer gw.

"Udah beres yaah acaranya?" katanya.

"Belum kok. Masih ada segmen ke dua, khusus buat lo," sahut Indra.

"Wah yg benerr?" Meva terlihat seneng.

"Iya. Tuh," Indra menunjuk tumpukan piring dengan dua jarinya yg mengepit batang rokok. "Namanya segmen cuci piring."

"Maksudnya, gw nyuciin piring gitu?" ekspresinya mendadak berubah.

Gw dan Indra sontak tertawa.

"Enak aja!" cibir Meva.

"Lo sih malah ngumpet. Nggak kebagian kan jadinya," kata gw.

"Gw kan udah bilang gw nggak akan ikut kalo ramean kayak tadi."

Indra mengangguk.

"Udah gw sisain kok, ada ikan bakarnya satu di kamer gw." katanya.

"Enggak usah Ndra, gw nggak doyan makan ikan," Meva menolak halus.

"Loh, terus siapa dong yg mau ngabisin ikannya?"

"Ari aja tuh," Meva menunjuk gw.

"Enggak ah gw udah kenyang. Perut gw mau meledak malah," gw juga menolak.

Kami bertiga diam.

"Ya udah buat sarapan pagi gw aja deh," kata Indra.

Dia embuskan asap putih dari mulutnya. Dan saat itulah mendadak gw merasa suatu hari nanti gw pasti akan kangen dengan momen-momen kebersamaan seperti ini. Apalagi tadi sempet ada temen-temen yg lain. Kita emang jarang banget kumpul kayak tadi.

"Gw bakal kangen nih sama kosan ini," kata Indra seolah ikut ada dalam pikiran gw. "Sama kalian berdua juga pastinya."

Gw tersenyum.

"Lo bisa ke sini kapanpun lo mau kok dul," kata gw.

Indra balas tersenyum. Dari sela bibirnya keluar asap putih.

"Yah seenggaknya sampe beberapa bulan lagi, sampe gw married. Lo ngerti lah, gw bakal susah ngelayab kalo ada bini di rumah. Hehehe.."

Gw tertawa.

"Huh, kayaknya waktu berjalan cepet banget..." lanjutnya. "Gw pikir baru kemaren gw lulus sekolah, sekarang udah mau married aja."

Gw ngerti yg Indra rasain. Dia orang pertama yg gw kenal di kosan ini. Dia temen terdekat gw. Wajar lah kalo gw bakal kangen sama becandaannya yg kadang-kadang garing. Indra juga baik, jadi menurut gw cewek yg jadi istrinya nanti adalah cewek paling beruntung di dunia ini.

Gw, Indra maupun Meva memilih diam. Kami sedang larut dalam pikiran kami. Tapi gw yakin, kami merasakan hal yg sama pagi itu. Rasa yg sudah selayaknya dimiliki seorang sahabat.

I love friendship.................

"Kayaknya asyik ya kalo kita bisa ngeliat masa depan kita kayak apa," tiba-tiba Meva nyeletuk memecah kesunyian pagi.

Gw melirik ke arahnya dan tersenyum lebar.

"Bener banget tuh Va," sahut gw. "Gw pengen liat siapa bini gw di masa depan nanti."

Dan gw tertawa.

"Bukannya sekarang lo udah liat yaa??" Indra menyenggol kaki gw. Melirik Meva, lalu ke gw lagi, dan akhirnya nyengir nggak jelas.

Gw sih ngerti maksud senggolan dan lirikan Indra itu. Itu yg bikin gw tertawa lagi.

"Kalian kenapa??" Meva bingung.

"Ah, enggak enggak. Nggak usah dipikirin," gw langsung berfikir mencari topik lain.

"Emangnya," Indra memotong. "Apa yg mau lo liat dari masa depan?" tanyanya ke Meva. Dia mendapatkan topik pengalih yg tepat.

"Emmmhh...kalo gw yaa, gw pengen tau, jadi apa gw setelah lulus kuliah??" jawab Meva sumringah.

"Oke, kalo lo Ri?" tanya Indra ke gw.

"Udah gw bilang tadi," jawab gw.

"Oke. Jadi gini loh," katanya. "Menurut gw, bisa ngeliat masa depan tuh nggak sepenuhnya baik buat kita."

"Kenapa nggak baik? Bukannya justru itu bagus ya? Kan kita bisa mencegah sesuatu yg buruk yg terjadi di masa depan?" sergah gw. Gw nggak setuju dengan pendapat Indra.

"Ari bener banget tuh. Gw setuju," kata Meva.

Indra tertawa pelan.

"Oke. Sekarang gini, misalnya lo tau, di masa yg akan datang, tahun 2020 misalnya, akan ada wabah penyakit yg mematikan di negeri ini... Apa yg akan lo lakuin? Yah anggep aja lo adalah presiden."

"Gw," gw berpikir. "Kalo gw, gw akan mengumpulkan semua orang sakit di negeri ini untuk diobati. Jadi, wabah itu nggak akan pernah ada. Gw berhasil mencegahnya sebelum terjadi. Itu yg gw maksud 'melihat masa depan' dul!"

Indra tersenyum senang.

"Gw setuju sama Ari," kata Meva.

"Nggak kreatif ah daritadi lo cuma bilang setuju aja," ujar gw.

Meva nyengir bloon.

"Nah kalo loe Va," Indra bertanya ke Meva. "Seandainya lo tau sepuluh tahun yg akan datang lo akan jadi wanita karir yg sukses, apa yg akan lo lakukan sekarang?"

"Jelas gw enjoy laah!" jawab Meva bersemangat. "Gw bisa lebih santai ngejalanin hidup. Gw bisa sedikit males-malesan. Toh gw udah dapet kepastian gw akan jadi orang sukses nantinya."

"Gw setuju sama Meva," kata gw disambut cibiran Meva.

Indra malah ketawa.

"Nggak ada salahnya kalian berpendapat kayak gitu," katanya. "Tapi apa kalian sadar sesuatu yg penting, dari 'melihat masa depan'? Ketika kita tau ada sesuatu yg buruk yg terjadi di masa depan, yg kita lakukan sekarang justru adalah mewujudkannya terjadi, bukan mencegahnya. Dan ketika kita mendapatkan kabar baik, justru kita malah membuatnya nggak terjadi."

Gw dan Meva diam.

"Maksud lo? Gw belum ngerti," komentar gw.

"Dengan mengumpulkan semua orang sakit di seluruh negeri, itu bukan mencegah, tapi justru dari situlah wabah mematikan itu lahir. Iya kan? Ribuan virus yg orang-orang sakit itu bawa, akan bercampur dan jadi wabah mematikan. Itu dia yg gw maksud, kita malah membuat itu benar-benar terjadi," Indra menjelaskan panjang lebar. "Nah, soal wanita karir yg sukses.. Dengan lo malas-malasan kayak yg lo bilang itu Va, apa mungkin dengan malas lo akan bisa jadi orang sukses di masa depan?"

Meva menggelengkan kepala.

"Mana ada orang males bisa sukses? Iya kan?" lanjut Indra.

Gw merasakan kebenaran dari penjelasan Indra barusan.

"Lo bener juga dul.." kata gw.

Indra tersenyum penuh kemenangan. Gw lirik Meva. Nampaknya dia satu pikiran dengan gw.

"Dari dulu gw benci sama yg namanya peramal," kata Indra. "Menurut gw, masa depan itu adalah misteri. Jadi dengan memberitahukan masa depan orang lain, justru dia merampas harapan orang itu untuk berusaha mewujudkannya. Iya kan?"

Lagi-lagi gw terdiam. Gw setuju banget kali ini.

"Buat gw, lebih baik nggak pernah tau apa yg akan terjadi di masa depan. Karena dengan begitu gw masih punya harapan tentang misteri hidup gw. Gw masih bebas berharap, akan jadi apa gw kelak. Dan gw juga bisa bebas memilih impian gw."

Well, pagi ini gw seperti sedang mendengar motivator yg bicara, dan bukan sahabat gw.

"Buat sebagian orang, hidup itu berawal dari mimpi," lanjutnya. "Tapi buat gw, hidup justru berawal ketika gw baru memejamkan mata. Gw yg memilih mau mimpi apa gw malam ini. Gw yg menentukan mimpi buat hidup gw, bukan mimpi yg menentukan hidup gw."

Gw dan Meva saling pandang. Cukup lama, kami mencoba menelaah omongan Indra tadi.

"Ah, ngomong apa sih gw??" Indra tertawa lagi. "Udahlah anggep aja gw tadi lagi mabok dan ngoceh nggak jelas. Nggak usah terlalu dipikirin lah."

"Thanks dul buat sedikit wejangannya. Emang ya, yg namanya orang tua itu pasti banyak pengalamannya?"

"Maksud lo, gw tua dong??"

Kami bertiga tertawa. Dan setelah sedikit membahas tentang masa depan yg tadi dijelaskan Indra, kami mulai ngobrol nggak jelas. Ketawa-ketiwi sesukanya, sejenak melupakan bahwa momen kebersamaan ini mungkin akan segera berakhir. Tapi satu yg gw yakini, semua akan berakhir indah nantinya...............

Jumat sore di minggu yg sama...

Gw baru balik kerja. Tiba di lantai atas gw mendapati Indra sedang berdiri membelakangi gw. Menyandarkan kedua tangannya di tembok balkon, dia menatap kosong ke sawah-sawah luas yg letaknya sekitar tigaratus meter dari sini. Pakaiannya sudah rapi. Di bawahnya, di lantai tepat di samping kakinya tergeletak sebuah tas ransel berisi pakaian.

"Lo udah siap pindahan?" tanya gw.

Dia cukup terkejut. Menatap kaget gw lalu mengangguk pelan.

"Gw udah beresin semuanya. Udah gw pindahin juga barang-barang gw," ujarnya. "Tinggal gw nya aja yg pindah."

"Oke. Gw mandi dulu ya?" gw bergegas ke kamer gw.

Sore ini emang rencananya gw mau nganter Indra pindah ke rumahnya. Dia dapet jatah shif malem, kayaknya dia udah pindahin barangnya sebelum gw balik. Lagipula barangnya nggak seberapa kok. Cuma perlengkapan standar anak kos.

Limabelas menit kemudian gw udah siap. Gw berdiri di depan pintu kamar yg sudah gw kunci.

"Oke, gw siap." kata gw. "Gw nggak sabar pengen tau rumah lo dul.."

Indra tersenyum. Senyum yg aneh menurut gw. Senyum yg nggak biasanya. Sebuah senyum yg menandakan dengan jelas bahwa si pemiliknya begitu berat untuk melakukan itu. Gw maklum. Sama seperti Indra, gw juga sedih kok temen kos gw selama dua tahun ini pergi.

"Boleh gw bicara sama lo dulu, sebelum pergi?" ujar Indra. Mendadak dia mellow gimana gitu.

"Ngomong aja," kata gw berusaha memberikan ekspresi yg menenangkannya.

Indra terdiam. Jelas ada satu beban yg tergambar jelas di kedua matanya. Beban yg mungkin selama ini dipikulnya. Apa terlalu berat kepindahan ini sampe dia sebegitunya? Gw rasa enggak. Jadi gw mulai menebak-nebak beberapa pertanyaan yg mendadak muncul di otak besar gw.

Indra masih diam. Saat itulah gw menyadari secarik kertas di tangan Indra. Kertas lusuh yg sepertinya gw kenal. Gara-gara kertas itukah? Masa sih? Apa hebatnya kertas itu sampe bikin Indra merasa terbebani gitu? Jujur aja, gw masih belum tau apa kaitannya tingkah Indra yg aneh sore ini dengan kertas itu, yg pasti beberapa kali Indra melirik kertas di tangannya lalu menarik napas berat. Napas yg sepertinya cuma bisa tertahan di tenggorokan tanpa mampu mengalir keluar. Dan gw semakin yakin, ada lebih dari sekedar beban berat yg ada di hatinya. Ada sesuatu yg harus sesegera mungkin diungkapkan.

"Ada apa sih dul?" gw menunggu dengan sabar tiap kata yg akan dikatakan Indra.

Dia menatap gw, lalu kembali menatap kertas di tangannya, dan seketika tubuhnya bergetar hebat. Kertas di tangannya sampe terjatuh. Indra menangis!

"Lo kenapa dul?" gw heran dengan perubahan sikapnya. Dalam hati gw berharap semoga ini bukan pertanda buruk.

Indra masih terisak. Benar dugaan gw. Ada sesuatu yg mungkin selama ini dipendamnya. Dan ketika sekarang harus diungkapkan, itu terasa amat berat. Gw bisa melihatnya. Tapi gw nggak tahu harus berbuat apa. Terakhir kali gw berhadapan dengan perubahan mendadak ekspresi seperti ini adalah waktu Natal tahun lalu.

"Kalo memang ada yg mau lo bagi," kata gw. "Cerita aja. Gw akan dengerin kok."

Indra menggeleng. Dia menyeka kedua matanya. Tapi dengan deras airmatanya jatuh lagi.

"Ada...ada yg harus gw bilang ke elo Ri..." dia berusaha mengatakannya.

"Oke. Bilang aja nggak papa kok."

Apa perpisahan ini terlalu berat buat Indra? Gw rasa nggak segitunya ah. Karaba sama Teluk Jambe deket. Dia bisa mampir ke kosan ini kapanpun dia mau. Dia juga punya motor, jadi nggak ada kesulitan akses menurut gw. Lalu apa yg sebenernya mau dikatakan Indra?

Gw masih berdiri. Maaf gw ralat. Kami masih berdiri dalam diam. Gw lebih memperhatikan sohib gw yg sekarang sedang bergulat dengan isak tangisnya ketimbang menengok barang sebentar saja kertas yg tergeletak di lantai. Indra menunduk, berjongkok pelan mengambil kertas itu. Jari-jarinya gemetaran memegangnya. Lalu dia menunjukkan kalimat yg tertera di atas kertas.

Bukan kalimat. Cuma rangkaian huruf dan angka. Gw kenal tulisan itu. Ya, gw yg nulis sendiri makanya gw kenal.

"Ada apa sama plat nomor itu dul?" gw membaca lagi perlahan nomor polisi kendaraan yg gw tulis di kertas. Ah, bahkan gw sendiri sebenernya nggak tahu kertas itu masih ada sampe sekarang.

N 6689 M, plat nomor kendaraan asal kota Malang.

"Maafin gw Ri....." Indra tampak begitu frustasi. Gw sangat iba dengannya sekarang.

"Maaf untuk apa?" tanya gw masih belum mengerti arah pembicaraan Indra.

"Gw yakin lo pasti nggak pernah berharap denger ini," kata Indra kemudian. "Sesuatu yg gw sembunyiin cukup lama. Tapi gw juga yakin, lo harus tahu yg sebenernya. Gw nggak bisa nyimpen rahasia ini selamanya."

"Hey...ada apa sih sama loe dul??" gw makin nggak ngerti. "Apa ini ada hubungannya sama Echi?"

Sekali lagi Indra menarik napas berat. Lalu perlahan dia anggukkan kepala.

"Lo tau tentang identitas pelaku penabrakan Echi setahun yg lalu?" ini seperti mengorek luka lama.

Indra mengangguk lagi.

"Siapa?" lanjut gw.

Indra diam sejenak.

"Gw," kata Indra. "Gw yg menyebabkan kecelakaan maut itu Ri.............."

"Apa maksud lo dul?" gw cukup terkejut setengah mati mendengar pengakuan Indra tadi. "Lo lagi ngelantur kan? Plat nomer motor lo bukan N, seinget gw punya lo tuh W..sesuai kota asal lo, Sidoarjo."

"Maksud lo...ini?" dan selanjutnya Indra memutar posisi kertas di tangannya.

Dalam sekejap hati gw mencelos. Rasanya ada ratusan, bahkan ribuan belati yg menusuk-nusuk ulu hati gw. Sebelumnya, dan selama ini gw selalu yakin pelaku tabrak lari itu meninggalkan jejak yaitu plat nomor "N 6689 M". Tapi hari ini....

"W 6899 N???" napas gw tertahan membaca tulisan yg sekarang tampak di kertas putih yg lusuh itu. "Ini kaan..."

"Ya, ini plat nomer motor gw," kata Indra. Dia belum berhenti menangis.

Gw menggeleng nggak percaya. Benar-benar nggak percaya!

"Mungkin saksi mata waktu malem itu ngebaca dalam posisi terbalik, asal lo tau motor gw waktu itu emang sempet kolaps di tengah jalan," lanjutnya. "Lo bisa cek motor gw di bawah kalo lo nggak percaya."

"Gw nggak percaya!! Mana mungkin???"

"Terima aja Ri, ini kenyataannya. Gw yg menyebabkan kecelakaan itu!"

"Iya. Tapi bukan lo yg nabrak Echi, Ndra!"

Ada suara ke tiga. Bukan Indra, juga bukan gw. Seketika itu gw dan Indra menoleh ke asal suara. Ada Raja, temen kami yg ngekos di lantai bawah. Dia berdiri di ujung tangga. Gw nggak pernah menyadari keberadaannya.

"Udah gw bilang berapa kali ke elo, berhenti menyalahkan diri lo sendiri!!" Raja setengah berteriak.

"Emang gw yg bersalah!" balas Indra nggak kalah sengit. "Motor yg dipake nabrak Echi itu motor gw! Dan yg minta si Benny nganter gw malem itu, gw kan?? Siapa lagi yg layak disalahkan kalo bukan gw??"

"Iya, tapi yg nabrak itu Benny dan bukan elo!?"

Hey, apa lagi ini!!! Gw makin bingung.

"Please....." kata gw antara pasrah dan bingung. "Jelasin ke gw, apa yg sebenernya terjadi?"

Indra diam. Dia masih sesenggukan sambil tangannya meremas kertas di genggamannya. Raja menatap gw iba. Dia tampak berpikir sebelum mengucapkan apa yg akan dikatakannya.

"Gw yg ngebunuh cewek lo Ri..." kata Indra lemah.

"Tolong kasih gw kesempatan buat jelasin yg sebenernya ke Ari," sela Raja. "Dia berhak tau yg sebenernya."

Gw diam. Entah apa yg saat ini gw rasakan. Gw sendiri malah bingung sedang apa gw di sini.

"Malem waktu terjadi kecelakaan itu," Raja mulai bercerita. "Indra minta Benny, lo kenal Benny kan, anak bawah, buat nganter dia ke tempat kerja. Waktu itu Indra baru aja ngalamin kecelakaan kerja dan belum bisa bawa motor. Singkat aja deh, sepulangnya nganter Indra, Benny bermaksud balik ke kosan. Dan di perjalanan balik itulah semuanya terjadi...."

Gw diam mendengarkan. Entah apa yg harus gw lakukan saat itu.

"Benny nabrak seorang cewek, yg belakangan diketahui adalah Echi. Benny kabur, nggak mau mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bahkan malem itu dia nggak balik ke kosan. Dia sempet balik beberapa hari kemudian, tapi itu buat melarikan diri. Dia bener-bener kabur.

"Gw dan Indra yg tau kejadian sebenernya, langsung lapor ke pihak Polisi yg menangani kasus ini. Benny, dia ketangkep dalam razia di jalanan Gucci. Tentu saja, ini berkat kerjasama pihak polisi di sini dengan polisi di Gucci."

Gw tertunduk lesu. Bener-bener bingung sekaligus speechless gw dengernya. Beberapa kali bahkan gw memaki dalam hati. Kenapa gw harus tahu ini? Padahal gw udah anggap semuanya berakhir, dan gw nggak mau ngungkit lagi masalah ini. Tapi dengan tahu cerita sebenernya, ini bener-bener seperti mengorek luka yg sudah tertutup rapat. Napas gw tercekat di tenggorokan. Gw bener-bener speechless!

"Indra selalu ngerasa bahwa dia yg menyebabkan semua malapetaka itu, cuma karena motor yg dipake Benny adalah motornya. Kalo lo tau Ri, Indra udah cukup merasa bersalah selama lebih dari setahun ini."

Gw menarik napas berat. Kali ini gw berhasil mengembuskannya.

"Kenapa kalian berdua nyembunyiin semua ini dari gw?" tanya gw akhirnya.

Indra mengangkat wajahnya.

"Sumpah demi Tuhan Ri, gw nggak punya maksud nyembunyiin ini semua dari lo," katanya. "Gw cuma nggak mau nambah beban pikiran lo waktu itu. Gw udah janji akan kasihtau yg sebenernya, kalo situasinya udah memungkinkan. Dan gw pikir saat ini waktu yg tepat. Saat lo udah dapet semangat baru, ini waktu yg tepat."

"Gw masih nyimpen koran Komp*s edisi Agustus tahun kemaren yg memuat berita penangkapan Benny. Gw yakin lo akan butuh itu buat ngeyakinin bahwa pelaku tabrakan itu udah mendapat balasan yg setimpal.." kata Raja. "Korannya ada di kamer gw. Sengaja gw rawat baik-baik."

Huffft...entah apa yg harus gw katakan saat ini. Sakit, bingung dan marah seperti bercampur di hati gw.

"Maafin gw Ri..." ucap Indra.

"Lo nggak perlu minta maaf dul," jawab gw. "Bukan lo yg bikin Echi pergi."

"Iya, tapi..."

"Gw udah ikhlasin Echi. Itu alasan yg kuat buat gw nggak perlu ngungkit masalah ini. Okay?"

Indra tersenyum senang lalu dia merangkul gw. Beberapa kali dia meminta maaf. Gw cuma balas dengan anggukan pelan. Entah kenapa saat ini gw justru kangen banget sama Meva.




Next Novel Sepasang Kaos Kaki Bag 11
Novel Sepasang Kaos Kaki Hitam Adalah Novel Karya Ariadi Ginting a.k.a Pujangga.Lama. 

Artikel Kabuh.net Lainnya :

0 Komentar:

Post a Comment

Copyright © 2015 Kabuh.net